Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi diharap tak tergoda menunda Pemilu 2024 maupun memperpanjang masa jabatannya.
Alasan ekonomi dan pandemi Covid-19 dianggap tak masuk akal untuk menunda Pemilu 2024.
Agenda penundaan Pemilu 2024 merupakan metamorfosis dari isu presiden tiga periode.
JAKARTA – Sikap diam Presiden Joko Widodo mengenai usul penundaan Pemilu 2024 mengundang pertanyaan. Berbagai kalangan menganggap sikap diam Jokowi itu multitafsir, yang bisa saja dianggap mendukung agenda penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan seolah-olah Presiden tidak mau padahal kita tahu (penundaan pemilu) yang paling diuntungkan adalah Presiden,” kata Feri Amsari, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Feri berpendapat Jokowi seharusnya menyatakan penolakannya terhadap ide penundaan Pemilu 2024 jika memang tak tergoda untuk memperpanjang masa jabatannya. Apalagi agenda penundaan pemilu justru mengemuka dari partai pendukung pemerintah. “Jokowi mesti menunjukkan jiwa negarawan dengan melindungi nilai-nilai konstitusi dan memastikan penyelenggaraan Pemilu 2024 tetap berlangsung,” ujar Feri.
Usul penundaan Pemilu 2024 dilontarkan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa, Muhaimin Iskandar, pada Rabu pekan lalu. Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat itu menjelaskan beberapa alasan Pemilu 2024 mesti ditunda, di antaranya berdasarkan pertimbangan ekonomi.
Muhaimin Iskandar dan anggota Fraksi PKB di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, 23 Februari 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Muhaimin menyatakan kondisi ekonomi tengah bergeliat setelah dua tahun terpuruk akibat pandemi Covid-19. Dia khawatir momentum ini terganggu oleh hiruk-pikuk pemilihan umum. Muhaimin mengaku ide penundaan pemilu ini merupakan aspirasi kalangan pengusaha dan masyarakat. “Usulan ini akan saya sampaikan ke pimpinan partai dan Presiden,” kata dia.
Sehari setelahnya, giliran Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan yang menggelindingkan agenda penundaan pemilu. Airlangga mengaku mendapat aspirasi soal perpanjangan masa jabatan Jokowi dari para petani sawit di Kabupaten Siak, Riau. Menteri Koordinator Perekonomian ini mengklaim para petani sawit di sana ingin pemerintahan Presiden Jokowi berlanjut hingga tiga periode. Sebab, mereka merasa kebijakan Jokowi telah meningkatkan kesejahteraan petani sawit.
Pernyataan Airlangga itu bersahutan dengan pengakuan Gubernur Riau Syamsuar. Ketua pengurus Golkar di Riau itu mengatakan keinginan serupa disampaikan oleh Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR)—organisasi sayap Partai Golkar. “MKGR juga mengharapkan perpanjangan masa kepemimpinan Presiden Jokowi untuk dapat melanjutkan pembangunan yang telah berhasil,” kata Syamsuar, Kamis pekan lalu.
Zulkifli Hasan dan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, 14 Oktober 2019. BPMI Setpres/Rusman
Adapun Zulkifli Hasan menambahkan alasan lain untuk mendukung agenda penundaan pemilu. Di samping pertimbangan ekonomi, ia berdalih invasi Rusia ke Ukraina, yang berlangsung sejak 24 Februari lalu, bisa berdampak ke Indonesia.
Feri Amsari mengatakan sulit mempercayai narasi yang berkembang belakangan yang menyebutkan ide perpanjangan masa jabatan presiden merupakan inisiatif para pentolan partai koalisi. Dia malah menduga sebaliknya, ketiga pimpinan partai itu sudah membaca keinginan Jokowi untuk melanjutkan kekuasaan setelah masa jabatannya berakhir pada 2024. “Jangan Presiden sembunyi tangan tapi lemparannya dilakukan ketua umum partai, menteri, dan ketua ormas,” kata Feri.
Feri mengatakan godaan untuk terus berkuasa pernah terjadi pada Presiden Sukarno dan Presiden Soeharto. Sukarno menjadi presiden selama 22 tahun, 1945-1967, dan Soeharto selama 31 tahun, 1967-1998. Ia sangat berharap sejarah kelam itu tidak terulang.
Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto, menganggap agenda penundaan Pemilu 2024 merupakan metamorfosis dari isu presiden tiga periode yang disuarakan elite oligark sejak berakhirnya Pemilu 2019. Kedua wacana itu merupakan upaya untuk memperpanjang kekuasaan dengan tidak demokratis.
Menurut Wijayanto, alasan elite partai untuk menunda pemilu tak masuk akal. Misalnya, alasan tidak ada dana seharusnya tidak terjadi karena, buktinya, pemerintah tetap memaksakan proyek besar pemindahan ibu kota. Pemerintah merencanakan proyek ibu kota baru ini membutuhkan dana Rp 466 triliun—sebanyak 20 persen akan diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
“Jika alasannya krisis ekonomi, justru pemilu bisa menjadi cara untuk menghukum pemimpin yang tidak mampu membenahi ekonomi,” kata Wijayanto.
Dia menambahkan, alasan pandemi Covid-19 untuk menunda pemilu juga tak masuk akal. Sebab, pemerintah terus mengklaim wabah tertangani dengan baik, termasuk dengan mempersiapkan peta jalan perubahan status bencana kesehatan ini menjadi endemi.
Alasan pandemi juga bertentangan dengan sikap pemerintah saat memaksakan pemilihan kepala daerah serentak pada 2020. Padahal saat itu penularan pandemi di Indonesia sedang menanjak. “Jika penundaan pemilu benar-benar terjadi, meski lewat amendemen konstitusi, Indonesia tidak bisa disebut sebagai negara demokrasi,” ujar Wijayanto.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang Wiratraman, mengatakan konstitusi memungkinkan penundaan pemilu jika dalam keadaan bahaya. Saat ini, situasi relatif aman. “Pandemi sudah mereda. Tidak seperti pada 2020 di mana wabah meningkat, namun pemerintah tetap memaksakan pilkada,” kata dia.
Adapun pendiri Lembaga Survei Kedai Kopi, Hendri Satrio, mencurigai agenda penundaan pemilu justru digulirkan oleh elite partai yang belum siap. “Ini refleksi partai politik yang tidak percaya diri untuk Pemilu 2024,” katanya.
Hendri berpendapat alasan ekonomi dan tingkat kepuasan publik terhadap Presiden Jokowi tak dapat dijadikan pijakan menunda pemilu. “Survei Kedai Kopi mendapat jawaban bahwa kekurangan pemerintah sangat banyak,” ujar Hendri.
Hingga kemarin, Presiden Jokowi belum angkat bicara soal gagasan penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden. Sebelumnya, Jokowi tiga kali menyatakan menolak agenda perpanjangan masa jabatan presiden menjadi tiga periode, yaitu pada 2 Desember 2019, 15 Maret 2021, dan 15 September 2021. “Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak juga berminat menjadi presiden tiga periode,” kata Jokowi pada 15 Maret 2021.
Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Jaleswari Pramodhawardani, mengatakan Presiden Jokowi sudah berulang kali mengatakan tidak menghendaki amendemen konstitusi untuk memperpanjang masa jabatan presiden menjadi tiga periode. “Presiden patuh pada konstitusi dan undang-undang,” kata Jaleswari.
Ia memastikan pemerintah tidak memiliki agenda untuk menunda Pemilu 2024. Pemerintah justru mendukung pelaksanaan Pemilu 2024 dengan menyetujui penetapan hari pencoblosan pemilu pada 14 Februari 2024.
MAYA AYU PUSPITASARI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo