Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah DKI Jakarta dan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya memperluas kawasan penerapan ganjil-genap dari 13 menjadi 25 ruas jalan.
Di Jalan Sudirman, ruas jalan yang menerapkan sistem ganjil-genap, masih mengalami kemacetan.
Pengamat menilai sistem ganjil-genap belum efektif dalam mengatasi kemacetan di Jakarta.
JAKARTA – Pada tengah hari bolong di kawasan Semanggi, Jakarta, Jalan Sudirman arah Bundaran Senayan dipenuhi mobil dan sepeda motor. Kemacetan merupakan pemandangan harian Ricky Irawan, petugas keamanan Plaza Sentral, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Ricky, yang bekerja di sana sejak 10 tahun lalu, kemacetan terjadi hampir setiap hari. “Jam makan siang dan pulang kerja selalu macet,” kata dia kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ricky mengatakan kemacetan terjadi sejak pukul 10.00 ke atas. Pada masa pandemi, dia melanjutkan, jalanan Sudirman sempat sepi. “Setelah Lebaran kemarin, mulai macet lagi,” ujarnya.
Bus Transjakarta pun tak berdaya menghadapi kemandekan lalu lintas. Ricky menceritakan pengalamannya naik bus milik pemerintah provinsi tersebut untuk pulang kerja. Saat itu bus yang ia tumpangi terjebak kemacetan sampai dua jam. “Capek sekali saya berdiri,” kata dia.
Dedi Mulyadi, pedagang kopi keliling di Taman Semanggi, turut menjadi saksi di Jalan Sudirman. “Saya merasa mobil semakin banyak,” kata dia. “Kemacetan juga terus meningkat.”
Menurut Dedi, satu-satunya momen Jalan Sudirman sepi adalah saat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). “Yang bikin lancar Covid doang,” kata dia. Pemberlakuan sistem ganjil-genap (gage), dia melanjutkan, tidak berpengaruh terhadap kemacetan di Jalan Sudirman. “Gage malah bikin jalan alternatif jadi macet,” kata Dedi.
Polisi lalu lintas yang bertugas di Jalan Sudirman menyebut kondisi itu sebagai “ramai lancar”. Menurut dia, kemacetan hanya terjadi saat akhir pekan panjang. “Seperti Kamis kemarin saat tanggal merah (Kenaikan Isa Almasih), malamnya macet.”
Kendaraan melintas di bawah papan informasi digital terkait Ganjil-Genap di Jenderal Sudirman, Jakarta. TEMPO/ Hilman Fathurrahman W
Polisi itu menilai pengendara di sana mematuhi aturan ganjil-genap. “Pengendara sudah baik, sudah tertib,” kata dia. “Kalau yang di kawasan pinggir, kurang tahu.”
Jalan Jenderal Sudirman merupakan salah satu ruas jalan yang memberlakukan aturan ganjil-genap. Pembatasan berdasarkan pelat nomor ini dilakukan untuk mengurangi volume mobil pribadi. Pada 6 Juni mendatang, kawasan pemberlakuan gage diperluas dari 13 menjadi 26 ruas jalan. “Dari hasil rapat pada 25 Mei dengan stakeholder, diputuskan bahwa kawasan gage ditambah menjadi 26 ruas jalan,” kata Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Sambodo Purnomo Yogo, kemarin.
Jalan Salemba Raya termasuk dalam daftar itu. Berdasarkan pantauan Tempo kemarin petang, jalan utama di Jakarta Pusat itu mulai padat sekitar pukul 16.00. Semakin malam, semakin sesak. Menjelang magrib, bunyi klakson pengendara yang kehabisan kesabaran tak henti bersahut-sahutan. Ruas busway, yang seharusnya steril, dipenuhi mobil, sepeda motor, bajaj, serta truk.
Rudi, pedagang kopi keliling di sana, menyebutkan Jalan Salemba memang macet, bahkan pada saat pandemi. “(Saat pandemi) memang tidak terlalu, tapi tetap macet,” kata dia. Setelah Lebaran, dia melanjutkan, Jalan Salemba kembali macet seperti saat sebelum masa pandemi. “Kalau lagi macet-macetnya, bisa sampai jam 9 malam.”
Data TomTom Traffic Index menyatakan kemacetan di Jakarta meningkat sejak September 2021. Pada saat itu, angka penyebaran Covid-19 mulai menurun. Namun Jakarta masih menerapkan PPKM level 3.
Pengendara melewati gerbang electronic Road Pricing (ERP) di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, 2 Maret 2019. TEMPO/Magang/Faisal Akbar
Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran), Deddy Herlambang, mengatakan sistem gage tidak efektif dalam mengurangi kemacetan. “Kalau ganjil-genap, orang bisa beli dua mobil dengan pelat ganjil dan genap,” kata dia. Sistem gage, kata dia, seharusnya diganti dengan electronic road pricing (ERP).
ERP adalah sistem pungutan terhadap pengendara di tempat tertentu dengan cara membayar secara elektronik. Menurut Deddy, sistem ini terbukti berhasil saat diterapkan di negara lain, seperti Singapura. “Itu terbukti efektif mengurangi volume kendaraan,” kata dia. “Nanti dana yang masuk bisa digunakan untuk subsidi transportasi publik.”
Deddy turut menyoroti sistem gage yang hanya berlaku pada jam-jam tertentu. Sistem ganjil-genap itu berlaku pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 16.00-21.00. Waktu operasional gage, dia melanjutkan, harus lebih dioptimalkan. “Kalau hanya part time, percuma,” kata dia.
Deddy menyarankan agar durasi car-free day diperpanjang sampai sehari penuh. “Full dari jam 6 pagi sampai 9 malam,” ujarnya. Dia menerangkan, dengan pengoptimalan jam ganjil-genap, tidak ada pengendara yang antre masuk ke Jakarta setelah pukul 10.00.
Dia menegaskan, kemacetan di Jakarta turut menjadi pertanda untuk membenahi sistem transportasi publik. Ketersediaan dan keterjangkauan transportasi publik, dia melanjutkan, perlu diperbaiki. “Pergerakan perjalanan di Jakarta mencapai 10 juta orang,” kata Deddy. “Yang menggunakan angkutan umum masih sekitar 20 persen. Kalau mau ideal, seharusnya di atas 50 persen,” kata Deddy.
IMA DINI SYAFIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo