Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ketentuan Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 dinilai bertentangan dengan UU Pemilu dan UUD.
Ribuan caleg perempuan tak bisa ikut Pemilu 2024 dengan adanya ketentuan Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
Diduga ada pesanan untuk tidak merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023.
JAKARTA – Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan (MPKP) mendesak Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mendorong Komisi Pemilihan Umum merevisi Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia, Mike Verawati, menilai PKPU ini mencederai semangat demokrasi, khususnya keterwakilan 30 persen perempuan dalam jabatan publik. "PKPU ini mengabaikan hak politik perempuan," kata Mike kepada Tempo, Selasa, 23 Mei 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mike juga meminta Bawaslu mengajukan uji materi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung jika KPU tak juga merevisinya. Salah satu pasal yang dimintakan untuk diuji materi adalah Pasal 8 ayat 2, yang mengatur pembulatan ke bawah apabila penghitungan 30 persen keterwakilan perempuan menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima. Misalnya, dia menjelaskan, di suatu daerah pemilihan terdapat delapan calon legislator, maka 30 persen keterwakilan perempuan adalah 2,4. Pasal 8 ayat 2 PKPU ini mengatur pembulatan ke bawah, sehingga keterwakilan perempuan hanya dua orang. "Dua dari delapan caleg itu setara dengan 25 persen. Jadi, sebetulnya tidak memenuhi minimum keterwakilan perempuan sebesar 30 persen," ujar Mike.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menilai ketentuan Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 jelas bertentangan dengan Pasal 245 Undang-Undang Pemilu dan Pasal 28H ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan keterwakilan perempuan sebesar 30 persen.
Sengkarut kuota keterwakilan perempuan sebagai bakal calon anggota legislatif bermula ketika KPU menerbitkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 pada 17 April 2023. Keberadaan PKPU ini sekaligus mencabut PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD maupun PKPU Nomor 31 Tahun 2018, yang merupakan perubahan PKPU Nomor 20. Dibanding regulasi pada pelaksanaan pemilu sebelumnya, berapa pun angka desimal di belakang koma dibulatkan ke atas.
Aksi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menolak PKPU Nomor 10 Pasal 8 ayat 2 di kantor Bawaslu RI, Jakarta, 8 Mei 2023. TEMPO/Febri Angga Palguna
Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menguatkan pendapat Mike itu. Titi mengatakan ketentuan dalam Pasal 8 ayat 2 PKPU Nomor 10 Tahun 2023 membuat berkurangnya calon anggota legislatif perempuan di daerah pemilihan dengan jumlah calon legislator 4, 7, 8, atau 11 orang pada Pemilu 2024. Ia mencatat ada 34 dari total 84 daerah pemilihan untuk pemilihan anggota DPR yang mempunyai calon legislator sebanyak 4, 7, 8, atau 11 orang. "Calon anggota legislatif perempuan akan berkurang satu di setiap daerah pemilihan dari 34 dapil tersebut," kata Titi, kemarin.
Dia menjelaskan, jika setiap partai politik menghilangkan satu caleg perempuan di setiap daerah pemilihan tersebut, berarti ada ribuan caleg perempuan, baik pada pemilihan DPR maupun DPRD, yang tak bisa ikut mendaftar pada Pemilu 2024 dengan adanya ketentuan tersebut.
Sependapat dengan Titi, pegiat pemilu Wahidah Suaib mengatakan ketentuan dalam PKPU Nomor 10 Tahun 2023 sudah menghambat pembangunan nasional, khususnya agenda kesetaraan gender di jabatan publik. Kesetaraan gender ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. "Selain itu, bisa mengganggu agenda pembangunan berkelanjutan, khususnya keterwakilan perempuan dalam jabatan politik,” kata Wahidah.
Latar Belakang Somasi
Mike Verawati menuturkan, saat audiensi dengan Bawaslu pada 8 Mei lalu, anggota Bawaslu, Lolly Suhenty, berjanji membawa usul revisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 ini dalam rapat tripatrit antara Bawaslu, KPU, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Dua hari berikutnya, ketiga lembaga itu menggelar rapat tripartit yang kesimpulannya semua setuju untuk merevisi PKPU tersebut.
Namun, kata Mike, sikap ketiga lembaga itu justru berubah saat mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan Kementerian Dalam Negeri pada 17 Mei lalu. Rapat dengar pendapat ini menyimpulkan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tidak perlu direvisi. Perubahan sikap ketiga lembaga itulah yang mendorong Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan—koalisi dari sejumlah lembaga masyarakat sipil—melayangkan somasi kepada Bawaslu, Sabtu pekan lalu.
Menurut Mike, KPU terkesan menuruti keinginan partai politik. Sebab, keputusan tidak merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023 berawal dari penolakan semua fraksi di Komisi Pemerintah DPR atas usul revisi. "Padahal KPU seharusnya mengikuti aturan yang ada dan sudah dilaksanakan pada pemilu sebelumnya," kata Mike.
Gedung Komisi Pemilihan Umum di Jakarta, 16 Desember 2022. Dok. TEMPO/Muhammad Ilham Balindra
Ketua KPU periode 2004-2007, Ramlan Surbakti, menduga ada pesanan untuk tidak merevisi PKPU Nomor 10 Tahun 2023. Ia mengatakan keputusan KPU mencabut PKPU Nomor 20 Tahun 2018 dan PKPU Nomor 31 Tahun 2018 bukan berbasis hasil evaluasi. "KPU tak melakukan evaluasi terhadap penyelenggara Pemilu 2019. Jadi, apa dasar peraturan dibuat? Apa berdasar pesanan?" ujar Ramlan.
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako), Feri Amsari, yakin penyelenggara pemilu sudah membaca dan memahami ketentuan konstitusi maupun Undang-Undang Pemilu mengenai keterwakilan 30 persen perempuan. Namun mereka justru kini hendak mengaburkannya. "Hal tersebut terlihat saat penyelenggara pemilu menerima usul DPR," kata Feri.
Feri berpendapat, uji materi ke Mahkamah Agung harus segera diajukan Bawaslu. Namun ia khawatir akan hasil uji materi itu karena proses sidang permohonan uji materi di Mahkamah Agung berlangsung tertutup. "Kita bisa bawa juga ke Pengadilan Tata Usaha Negara karena bisa 'bertarung' dalam persidangan secara terbuka," ujar Feri.
Anggota Bawaslu, Totok Hariyono, mengatakan sudah menerima somasi tersebut. Dia menyarankan meminta konfirmasi ke Lolly Suhenty yang membidangi urusan itu. "Sila ke Bu Lolly," kata Totok. Adapun Lolly belum menjawab permintaan konfirmasi dari Tempo.
Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia Tandjung, juga belum merespons pertanyaan Tempo soal ini. Sebelumnya, politikus Partai Golkar itu mengatakan PKPU Nomor 10 Tahun 2023 tak perlu diubah karena masih relevan dengan Undang-Undang Pemilu. Adapun komisioner KPU, Idham Holik dan August Mellaz, serta Sekretaris Jenderal KPU, Bernad Dermawan Sutrisno, juga belum menjawab permintaan konfirmasi Tempo hingga berita ini ditulis.
HENDRIK YAPUTRA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo