Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Pemerintah mulai mengencangkan ikat pinggang mengingat ancaman resesi global sudah di depan mata. Pelemahan perekonomian global akibat tekanan inflasi berkepanjangan dan kenaikan suku bunga ekstrem di banyak negara sepanjang tahun ini diprediksi berubah menjadi resesi pada 2023.
Presiden Joko Widodo menyadari risiko tersebut berpotensi membuat semua negara berada dalam posisi sulit karena perekonomian menjadi tidak bisa diprediksi. Jokowi pun memastikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) senantiasa dikelola dengan hati-hati. “Negara memerlukan daya tahan yang panjang. Ini yang selalu saya sampaikan kepada Menteri Keuangan. APBN kita dieman-eman (disayang-sayang), dijaga, dan hati-hati. Mengeluarkannya harus untuk hal yang produktif dan memunculkan hasil yang jelas,” ujarnya, kemarin.
Menurut Jokowi, perekonomian Indonesia saat ini relatif masih kuat setelah sempat tertekan pandemi Covid-19 dan perlahan mulai pulih. Hal itu tampak dari pertumbuhan ekonomi yang terjaga di atas 5 persen seiring dengan tumbuhnya penerimaan negara hingga Purchasing Managers Index (PMI) yang masih berada di level akseleratif atau di atas angka 50.
Perekonomian domestik yang tetap sehat itu pun tak lepas dari kebijakan fiskal Kementerian Keuangan dan moneter oleh Bank Indonesia untuk mewujudkan APBN yang berkelanjutan. “Kita memiliki amunisi, tapi harus betul-betul dijaga. Tidak boleh berpikir uang hanya untuk hari ini atau tahun ini karena tahun depan prediksinya lebih gelap,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proyek Infrastruktur Jalan Terus
Walau mengakui keadaan sedang sulit dan meminta APBN dihemat, Jokowi menegaskan akan melanjutkan pembangunan infrastruktur. Dia beralasan, infrastruktur adalah fondasi untuk pembangunan jangka menengah dan panjang. "Kita tidak bisa bersaing kalau konektivitas kita tidak baik. Jalan, bandara, pelabuhan, dan pembangkit listrik itu kunci dasar kalau ingin bersaing dengan negara lain," kata Presiden.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan situasi ekonomi dunia memang akan sangat menantang pada tahun depan. Strategi untuk mengantisipasi resesi pun disiapkan melalui APBN untuk tetap mempertahankan momentum pemulihan ekonomi domestik. Adapun defisit anggaran 2023 ditetapkan turun menjadi 2,85 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Peran APBN, kata Sri Mulyani, akan difokuskan untuk menjaga permintaan domestik dan daya beli masyarakat di tengah kondisi perekonomian global yang lesu. “APBN harus tetap menjadi instrumen yang menahan berbagai guncangan agar bisa melindungi daya beli,” ujarnya. Salah satunya adalah mengedepankan belanja bantuan sosial ataupun percepatan pembangunan infrastruktur dan revitalisasi industri yang bernilai tambah. Adapun total belanja negara dalam APBN 2023 direncanakan sebesar Rp 3.061,2 triliun dan anggaran perlindungan sosial mencapai Rp 479,1 triliun. Dana tersebut naik dari anggaran perlindungan sosial pada 2021 yang sebesar Rp 431,5 triliun.
Di sisi lain, pemerintah juga akan berfokus mencapai target penerimaan negara 2023 yang sebesar Rp 2.463 triliun. Sri Mulyani mengatakan untuk mencapai target bukan hal mudah. Dinamika harga komoditas yang berisiko menurun akan berimbas pada pencapaian seluruh komponen target pendapatan, baik dari pajak, kepabeanan, maupun cukai. “Sejauh ini optimistis dapat dicapai, tapi kami tetap mempersiapkan mekanisme untuk mengamankan APBN 2023 apabila harga komoditas tidak setinggi asumsi.”
Anggaran Bantuan Sosial Minim
Pembuatan sepatu di Tigaraksa, Tangerang, Banten. Dokumentasi TEMPO/Ahmad Tri Hawaari
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara, berujar bahwa postur APBN 2023 masih memerlukan sejumlah penyesuaian untuk mengantisipasi resesi global. “Belanja birokrasi masih cukup besar, seperti untuk gaji pegawai dan belanja barang,” katanya. Adapun anggaran perlindungan sosial yang membutuhkan program spesifik dan menjangkau masyarakat luas terbilang kecil. Padahal tantangan di depan mata adalah ancaman tingkat kemiskinan ekstrem.
“Dana perlindungan sosial Rp 479,1 triliun itu baru sekitar 2,5 persen dari PDB. Angka itu kecil sekali, tidak cukup, seharusnya minimum 4-5 persen.”
Hal senada diungkapkan oleh anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat, Kamrussamad. Menurut dia, alokasi bantuan sosial dalam APBN 2023 perlu ditingkatkan karena ancaman tahun depan tidak lebih ringan dari sebelumnya. “Ini sebagai upaya untuk meringankan beban pengeluaran keluarga miskin dan rentan, serta untuk mengakselerasi penurunan tingkat kemiskinan dan ketimpangan,” ucapnya. Bansos diharapkan terus menjadi pos belanja prioritas untuk mengantisipasi risiko inflasi yang diprediksi tetap tinggi, baik inflasi pangan maupun energi.
CAESAR AKBAR | NABILLA ALYA | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo