Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELEPAS lelah setelah seharian mengotak-atik mesin bahan bakar hidrogen di sedan Mitsubishinya, Eko Saputro dan Sony Adi Setyawan mengobrol di angkringan Manahan, Solo. Eko Saputro atau biasa disapa Koko adalah anak sulung Teguh Slamet Rahardjo, pendiri grup lawak paling tua di Tanah Air, Srimulat.
Obrolan pada pengujung 2007 itu berlanjut membahas penulisan buku Srimulat. Sony Adi Setyawan alias Sony Set, penulis skenario tayangan komedi televisi ini, melontarkan niat menuliskannya. Koko setuju. "Saat menulis buku itulah muncul ide membuat acara audisi pelawak baru Srimulat," kata Sony kepada Tempo, awal Agustus lalu. Ide itu dituangkan ke salah satu bab buku yang direncanakan jadi trilogi.
Sony bercerita mengenai penyusunan buku itu kepada Head of Corporate Communication PT XL Axiata, Febrianti Nadira. Ia memang dekat dengan XL, yang pernah memberinya penghargaan Indonesia Berprestasi buat gerakan yang diprakarsainya, Jangan Bugil di Depan Kamera. Sony juga sempat menggarap program off-air milik perusahaan operator telepon seluler itu.
Penerbitan dan promosi buku itu akhirnya disokong oleh XL Axiata. "Siapa yang tidak kenal Srimulat?" kata Febrianti. "Rasanya sayang kalau Srimulat yang legendaris itu terlupakan begitu saja."
Karena pelanggannya mayoritas anak muda, Febrianti bercerita, perusahaannya mencari cara agar buku Srimulat bisa klop dengan dunia remaja—berselera Android dan Apple. "Karena mereka ada di dunia digital dan media sosial, produk dan promosinya juga harus di dunia itu."
Selain berencana menyebarkan karya Sony dalam bentuk e-book, Febrianti mengenalkan duet Koko dan Sony kepada pengelola Salingsilang.com, perusahaan teknologi informasi yang sering "membunyikan" rupa-rupa kampanye di dunia maya. Buku Srimulat pun nantinya bakal diluncurkan pada acara Obrolan Langsat yang dikelola Salingsilang.com.
Langgam penyusunan buku dengan promosi wah ditambah ide audisi pelawak itu akhirnya sampai ke Deputi Direktur Produksi ANTV Herty Paulina Purba. Sony juga bukan orang asing di Divisi Produksi ANTV. Sebelumnya, ia mengurusi program Kampung Sehat milik ANTV pada 2009, yang juga menampilkan pelawak senior Srimulat, Eko D.J. dan Tarzan.
Koko dan Sony sempat tak yakin Srimulat bisa diterima ANTV. Sebelumnya, mereka sempat menawarkan Srimulat dengan pelawak junior ke stasiun televisi Trans7. Acara bertajuk 90% Horor itu memakai lakon horor yang selalu jadi resep sukses Srimulat. Nahas, rekaman demo acara lawak ini kandas saat seleksi program. Yang mengalahkan mereka? Opera van Java.
Kali ini Koko dan Sony datang dengan buku yang siap terbit. Langkah mereka mulus. "Menyodorkan buku sepertinya memang lebih ampuh daripada mengajukan proposal tertulis menjelaskan konsep acara," ujar Sony. "Jadi, sukses masuk ANTV bisa dibilang kebetulan yang direncanakan."
Herty Purba tak memungkiri saat itu mereka memang butuh tayangan komedi buat mengimbangi Opera van Java. "Srimulat dengan nama besarnya akan memudahkan kami menggarap programnya," kata Herty.
Namun regenerasi tak bisa memakai cara tradisional Srimulat, yang menyelipkan anak baru di antara pelawak senior. Selain makan waktu lama, biayanya kelewat besar. Akhirnya Srimulat Mencari Bakat memakai model kontes ala American Idol, lengkap dengan sistem karantina dan eliminasi setelah pentas di panggung.
Mendengar audisi Srimulat Mencari Bakat siap dimulai, Salingsilang.com menawarkan diri membuat situs untuk peserta audisi mendaftar online. Kabar seputar audisi atau cerita pengalaman pesertanya juga bisa dimuat di situs itu. "Srimulat adalah kekayaan Indonesia, sehingga sejalan dengan misi kami menambah khazanah Indonesia di Internet," kata Head of Brand and Business Development Salingsilang.com Syafiq Pontoh.
April lalu, Sony dan Agung Purwandono meluncurkan buku Srimulat: Aneh yang Lucu di Obrolan Langsat sekaligus mempromosikan acara Srimulat Mencari Bakat. Audisi pun bergulir di Jakarta, Surabaya, Solo, dan Bandung. Setidaknya 200 peserta mengikuti audisi di tiap kota itu.
Muhammad Ghufron, 25 tahun, dikontak kawan-kawan lamanya sesama alumnus Pondok Pesantren Ngalah, Purwosari, Jawa Timur. Mereka minta ia kembali ke grup lawak Abioso yang ditinggalkan karena guru kelas XII sekolah menengah atas ini harus menyusun skripsi di Universitas Negeri Malang. "Berat memilih antara guru dan ngguyu," kata Mamad, begitu ia memilih nama beken.
Namun Mamad sadar bakatnya memang melawak. Ia ingat santri Pondok Pesantren Ngalah sering diminta mengisi acara. Diminta berceramah agama, ia menyerah, tapi kalau mengocok perut, ia berani.
Karena itu, saat ada Audisi Pelawak TPI gelombang keempat, ia mendaftar. Menjadi pemenang kedua, grup lawak Abioso malang melintang di berbagai panggung di Jawa Timur, sebelum akhirnya Mamad pulang kandang ke kampus.
Begitu ujian nasional kelar, Mamad berangkat ikut audisi Srimulat Mencari Bakat di Surabaya. Tak dinyana, semua personel Abioso berhasil tembus ke Jakarta. Malah tiga dari lima anggotanya, Mamad, Sarip, dan Amin, terpilih masuk Srimulat Junior.
Mereka bergabung dengan Sarju dari Surabaya dan Agus dari Jakarta serta Mamit, Fryant, dan Meo dari Solo. Ditambah Barlin dan Vica dari Bandung, total ada sepuluh pemenang Srimulat Mencari Bakat.
Mamad dan kawan-kawan tak kesulitan lolos seleksi Srimulat. Pasalnya, mereka sudah gemar Srimulatan sejak di pesantren. Gaya dan referensi lawak Abioso, kata Mamad, adalah Srimulat.
Meski prosesnya kilat, Mamad menolak disebut pelawak karbitan. "Kelihatannya kami memang lulusan kontes yang cuma tiga bulan," kata Muhammad Ghufron. "Tapi kami sudah berpengalaman melawak dari panggung ke panggung."
Anwari, yang meneliti Srimulat dan menuangkannya dalam buku Indonesia Tertawa: Srimulat Sebuah Subkultur, menilai gaya lawak Srimulat memang mudah ditiru. Anwari menjelaskan, cara lawak mereka yang tak memakai skenario dan mengutamakan improvisasi di atas panggung jadi formula yang mudah dan murah direplikasi semua pelawak.
Ketika Opera van Java melambung, Koko melihatnya sebagai berkah buat Srimulat, karena pada dasarnya lawakan Sule dan kawan-kawan adalah gaya Srimulat. Menurut Tri Retno Prayudati, Srimulat justru diabadikan oleh grup lawak yang muncul setelahnya. "Gaya melucu Sule, Azis, dan Andre di Opera van Java itu sebenarnya Srimulatan," kata perempuan yang lebih dikenal sebagai Nunung Srimulat ini. "Jadi, secara tak langsung, gaya Srimulat terpelihara dan terangkat lagi oleh mereka."
Pakar folklore Universitas Indonesia, James Danandjaja, menilai pesona Srimulat bertahan lama karena memadukan teater modern dan teater rakyat. Manajemen panggungnya boleh modern dengan cerita kontemporer berbasis skenario seadanya, tapi mereka tetap teater rakyat karena memakai humor spontan dan penonton boleh ikut berkomentar.
James melihat umur grup lawak buatan Teguh ini masih sangat panjang. "Mereka yang kini naik ke kelas menengah atas tidak dapat melupakan tontonan kegemarannya di masa kecil," tulis James dalam pengantar buku Anwari tadi. Jadi, "Srimulat adalah nostalgia di masa lalu."
Tapi, buat menyamai pesona para seniornya, Eko Saputro alias Koko Srimulat menilai anak asuh barunya itu masih perlu menggandakan jam terbang. Buat menajamkan urat humor, mereka bersekolah lagi lewat tayangan sketsa atau lawakan pendek yang rencananya mulai tayang di ANTV pada September mendatang. "Dalam siklus televisi, perlu waktu setahun buat mengenalkan bintang baru," kata Herty. "Kalau bertahan, tiga tahun setelah pertama kali muncul barulah mereka bisa ngetop."
- Nazar: Halo ini Nazar saya mau buka-bukaan silakan disiarkan.
+ Timbul: Loh kok buka-bukaan kok liwat tilpun, apa bisa? Saya kan tidak bisa lihat yang Bapak buka.
- Nazar: Begini lho, saya merasa dipojokkan.
+ Timbul: Di pojok mana?
- Nazar: Maksudnya, fitnah terhadap saya sudah kelewatan.
+ Timbul: Kelewatan? Lewat mana kok saya tidak lihat?
Pembicaraan imajiner itu muncul Kamis malam lewat akun Twitter @srimulatism. Tak lama setelah perbincangan itu muncul di lini masa, pengikut akun ini membalas dengan gaya tertawa khas di dunia maya: LOL alias ngakak sekeras-kerasnya.
Akun ini dikelola sendirian oleh Thrio Haryanto. "Awalnya iseng saja karena saya memang suka Srimulat," kata karyawan biro iklan di daerah Harmoni, Jakarta Pusat, itu.
Thrio tak berani memakai nama Srimulat karena itu merek resmi. Memakai Srimulatan kok kurang bunyi buat anak muda. "Akhirnya saya pilih Srimulatism yang terdengar lebih keren," kata pria 35 tahun ini.
Menonton Srimulat sejak 1980-an di TVRI, Thrio fasih lawakan Srimulat. Menjelang tidur dan saat jeda di kantor, ia mengetik naskah lawak di BlackBerry. Sebagian lawakan asli buatannya, tapi ada juga yang ia transkrip dari pentas Srimulat di Indosiar pada akhir 1990-an.
Sejak April 2011, lawakan Srimulat dalam 140 karakter tersiar setiap hari. Suplai tawa itu menggila saban Kamis malam, hari yang dalam sejarah Srimulat selalu jadi pementasan paling padat penonton. Kini akun ini punya lebih dari 7.000 pengikut. Besarnya sambutan itu bikin Thrio bungah. "Itu artinya banyak penggemar Srimulat seperti saya yang ingin melihat lagi mereka manggung," ujarnya.
Sumbangan bahan lawak pun berdatangan dari pengikut yang pernah menonton langsung pementasan Srimulat. Ada penyusun tesis soal Srimulat membagikan bahan penelitiannya. Bahkan cucu "drakula" legendaris asal Srimulat, Paimo, juga menyumbangkan cerita lewat akun Twitternya.
Tak lama, Thrio bertemu dengan Sony, yang menyuplai serba-serbi soal Srimulat. Sony juga mengenalkannya dengan Eko Saputro. "Sejak itu, saya tambah bersemangat karena mendapat restu langsung dari Srimulat."
Mengelola akun Twitter ini bukannya tanpa kesulitan. Sering dia diprotes pengintil atau follower. Mereka memprotes karena dia menyandingkan pelawak beda generasi seperti Gepeng dan Basuki. Lain hari, ia dikritik karena membuat dagelan soal politik seperti percakapan Nazar-Timbul tadi. Srimulat menjauhi sentilan politik, yang dinilai Thrio wajar karena pada era Orde Baru itu sama saja dengan bunuh diri. "Tapi sekarang zaman sudah berubah dan seharusnya Srimulat juga berubah," kata Thrio. "Anak muda sekarang tak takut bicara politik, dan kalau Srimulat mau masuk ke anak muda, ya, harus bicara politik juga."
Seruan perubahan Srimulat juga datang dari ANTV. Herty Purba mendorong Srimulat berubah jadi perusahaan. "Kalau dulu yayasan, sekarang harus jadi perusahaan modern," kata Herty.
Menurut peneliti dan penulis buku Srimulat, Anwari, suramnya masa depan Srimulat tak lepas dari pengelolaannya yang masih menggunakan cara tradisional. "Karena tak punya sistem itulah regenerasi tak terpikir oleh mereka," ujarnya.
Kini, setelah mengurusi Srimulat Junior, Srimulat pun bersalin rupa jadi manajemen artis profesional. Keperluan mengurusi keuangan dan membayar pajak pun akhirnya mendorong Srimulat perlahan-lahan jadi perusahaan. Sumber-sumber Tempo menyebutkan pengelolaan modern itu membuat investor datang. "Bisnis online pun sedang dikembangkan bersama investor yang baru masuk," ujar sumber itu.
Koko mengatakan Srimulat memang harus merangkul teknologi. Masa depan Srimulat ada di bisnis konten seperti video streaming lawak yang mulai populer. "Bersama anak-anak Srimulat Junior ini, kami akan bergerak ke sana sambil terus menggarap televisi."
Srimulat bangkit kembali, meminjam ucapan khas pelawak Srimulat Asmuni, bukanlah "hil yang mustahal".
Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo