Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Vera Wollenberger adalah prototip seorang pemberontak Jerman Timur. Ayahnya pejabat Stasi. Tapi ia meninggalkan rumah sejak usia 18 tahun. Vera, idealis dan seorang aktivis pembela kepentingan masyarakat. Ia mulanya percaya pada janji-janji indah komunisme dan bergabung dengan partai berkuasa. Namun, belakangan ia tahu bahwa janji-janji itu hanya manipulasi politik. Belakangan ia berang dan berjuang di sisi lain. Pikiran-pikirannya tentunya dianggap terlalu bebas dan karena itu ia dipecat dari partai. Tahun 1982 Wollenberger menjadi aktivis yang memprotes munculnya peluru kendali nuklir Soviet di Jerman Timur. Tahun berikutnya ia membela "Gereja Dari Bawah" dengan bendera hak-hak asasi manusia. Akibat segala kegiatan itu kehidupan Vera tidak lagi menjadi milik pribadinya. Tiap langkahnya dibayang-bayangi agen-agen Stasi. Dan teror pun menjadi bagian hidupnya. Satu kali ia ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Lepas dari sel, ia menganggur. Ia dipecat dari tempat ia bekerja -- sebuah lembaga penelitan pemerintah. Vera Wollenberger muncul sebagai pahlawan pergerakan ketika pemerintah komunis runtuh. Tahun 1990 ia memenangkan pemilihan anggota Parlemen untuk wilayah Bonn. Di Bonn, ia berjuang untuk menggolkan sebuah undang-undang baru. Di bawah peraturan baru inilah dokumen-dokumen Stasi yang lama dirahasiakan diperbolehkan dibongkar pada 2 Januari lalu. Setiap korban kini berhak membaca seluruh arsip organisasi yang berada di bawah naungan Departemen Pertahanan Negara Jerman Timur. Termasuk laporan yang diserahkan mata-mata dan informan. Tapi ketika satu per satu warga mulai membongkar arsip itu masyarakat Jerman Timur terkejut. Rakyat syok. Banyak rahasia terbongkar dan banyak kehidupan yang kemudian hancur, termasuk kehidupan Vera. "Aku tak ingin orang lain mengalami apa yang telah kualami. Musuh terbesarku pun jangan," kata aktivis itu setelah mempelajari dokumen-dokumen tentang dirinya. Arsip tentang Vera setumpuk. Seluruhnya laporan yang ditulis lebih dari 60 agen dan informan Stasi. Namun, laporan terlengkap, termasuk catatan seluruh kegiatan anti-pemerintahnya dan detil kehidupan yang paling pribadi, datang dari seorang dengan nama sandi "Donald". Siapa Donald ? Menilik mutu laporan itu Vera sampai pada kesimpulan, hanya ada satu kemungkinan. Meskipun dengan hati yang nyeri ia tahu bahwa pengkhianat bernama Donald itu tak lain suaminya sendiri, Knud, ayah kedua putranya. Waktu ia melabrak Knud, suaminya bersumpah demi anak-anak, ia tak bersalah. Namun, dokumen itu membuktikan bahwa Knud berdusta. Mereka berpisah -- dan kini sudah bercerai. Knud pindah ke apartemen tanpa telepon di kota kecil Thuringian. "Kini aku tahu, perbuatanku patut dicela," Knud mengaku. "Saya telah bermain-main dengan nasib." Meski Vera kemudian mengatakan kejadian itu sebagai tragedi pribadi, ia bukan satu-satunya orang malang. Negeri yang dulu bernama Jerman Timur itu tengah dilanda tragedi massal setelah organisasi polisi rahasia negeri itu dibongkar. Hampir setiap hari dokumen Stasi mengungkapkan detil baru, kasus baru, persekongkolan baru. Data dari laporan-laporan itu telah menghancurkan karier politik sejumlah tokoh, menceraikan persahabatan yang tak terhitung jumlahnya, dan menjerumuskan banyak orang Jerman Timur ke dalam krisis kemarahan dan depresi. Seluruh Jerman tertohok oleh drama yang disebut oleh majalah Der Spiegel sebagai "Dokumen Horor". Stasi secara rahasia memiliki enam juta laporan tentang penduduk Jerman Timur -- sepertiga dari seluruh warga negeri itu. Sebagian besar keterangan itu dikumpulkan bukan oleh mata-mata profesional tapi informan sambilan -- ratusan ribu rakyat biasa yang oleh satu sebab menjadi pengkhianat teman-temannya untuk kepentingan politik. Dokukem-dokumen yang dibeberkan kini menyebabkan korban-korban Stasi dapat menemukan siapa di antara kawan-kawan, tetangga, sejawat, dan keluarga yang mencurangi mereka. Untuk kedua kalinya, dalam setengah abad, masyarakat Jerman menghadapi dilema: mendukung sebuah pemerintahan penindas. Topeng Musuh dalam Selimut Setelah keruntuhan komunis di Jerman Timur, dua tahun lalu, orang-orang yang berkampanye anti-Stasi memenuhi markas pusat polisi rahasia itu di Normannenstrasse di Berlin. Dinding-dindingnya dipenuhi tulisan slogan, seperti "Stasi berbau busuk," atau "Terlalu lama kau memata-matai kami." Namun, slogan yang mencerminkan keinginan jutaan orang segera muncul di dinding-dinding sepanjang negeri: "Kembalikan dokumenku." Memang banyak orang yang sudah mahfum bahwa rezim komunis memelihara polisi rahasia yang bekerja sangat giat. Tapi hanya sedikit yang bisa membayangkan seberapa banyak informasi yang sudah dikumpulkan atau seberapa banyak orang yang bersekongkol dengan pejabat-pejabat polisi rahasia itu. Ketika peneliti dari kelompok anti-Stasi mulai menganalisa dokumen-dokumen di Berlin dan kota lainnya mereka menghadapi kejutan pertama: jumlah arsip. Kalau seluruh lemari arsip Stasi dijajarkan, panjangnya mencapai 125 mil atau sekitar 200 km. Rak-rak yang memenuhi tiap mil isinya sekitar 17 juta lembar kertas dengan berat hampir 50 ton. Ini menjadi "pekerjaan rumah" anggota parlemen setelah Jerman bersatu. Mau diapakan gunungan kertas itu? Sebagian politisi berpendapat, dunia bisa geger kalau arsip-arsip itu dibaca pemiliknya masing-masing. Lebih baik dibakar saja. Tapi banyak juga anggota masyarakat yang penasaran dan menginginkan dokumen-dokumen itu disegel selama beberapa tahun dan dibuka sebagian demi sebagian. Agen-agen Stasi yang melarikan diri berusaha menghancurkan dokumen-dokumen yang paling berbahaya, seperti arsip yang menyokong Faksi Tentara Merah Jerman Barat dan grup teroris lain. Sisa arsip lainnya di bawa pulang. Mungkin untuk keamanan diri atau dijual untuk usaha-usaha pemerasan. Pembongkaran arsip itu membuka topeng sejumlah tokoh. Beberapa sosok yang paling dikagumi di bekas Jerman Timur sebenarnya sahabat lama Stasi. Contoh-contohnya: PM negara bagian Brandenburg, Manfred Stolpe, dan bekas kepala pengelola gereja Protestan Jerman Timur. Mereka adalah informan Stasi selama lebih dari seperempat abad. Lalu Heinrich Fink, rektor universitas "Humbold" di Berlin. Ilmuwan ini memberikan informasi secara rutin pada Stasi tentang pandangan politik dekan-dekan, para guru besar, dan juga mahasiswa. Wolfgang Berghofer, wali kota terakhir Dresden, yang pada 1989 dan 1990 memberikan pidato serial soal pembaruan yang menggetarkan aktivis hak asasi, bekerja sama dengan Stasi untuk memalsukan hasil pemilihan umum dan mengatur penggempuran pembangkang. Tak terkecuali idola sepak bola Torsten Gutschow dan juara dunia kereta luncur, Harald Czudaj. Mereka mematai-matai pelatih dan anggota tim lain selama beberapa tahun. Membuntuti Sampai ke WC Pembaca arsip-arsip Stasi sering terperangah karena polisi rahasia itu bernafsu besar mengetahui hal-hal yang sangat sepele. Laporan-laporan dipenuhi dengan detil, seperti seberapa sering subyek membuang sampah atau di mana subyek menyimpan papan seterika. Stasi kadang-kadang memasang kamera pengintai di beberapa toilet umum. Agen-agen Stasi kemudian ditugasi, dari hari ke hari, memonitor film orang masuk kamar kecil, kencing, mencuci tangan, lalu keluar.... "Rathenow menyeberang jalan dan memesan sosis di warung," begitu bunyi sebuah bagian dari laporan memata-matai penulis Lutz Rathenow. "Percakapan berikutnya begini. R: Tolong sosisnya. Penjual sosis: Dengan roti atau tidak? R : Ya, pakai roti. Penjual sosis: Mustar? R: Ya, bubuhkan mustar. Percakapan selanjutnya tidak terjadi." Penyair dan penyayi lagu rakyat Wolf Bierman lahir di Jerman Barat tapi pindah secara suka rela ke Timur dan menghabiskan masa dewasanya di sana sampai diusir pada 1976. Bierman menemukan file tentang dirinya tak kurang dari 40 ribu halaman. Apa sih isi segunung arsip itu? Begini: 'Wolfgang Bierman melakukan hubungan seksual dengan seorang cewek. Setelah itu ia bertanya kepada cewek itu apakah ia lapar. Perempuan itu mengatakan ia hanya ingin minum Cognac. Ia adalah Eva Hagen. Setelah itu sunyi di dalam." Wewenang agen pemerintah mengumpulkan begitu banyak informasi tentang begitu banyak seluk-beluk remeh orang mencerminkan bagaimana paranoianya orang-orang yang memimpin Jerman Timur di masa komunis. Mereka menganggap setiap warga punya potensi melakukan subversi dan ingin tahu sebanyak mungkin tentang siapa pun yang mengungkapkan kritik sosial atau anti-politik pemerintah. Kerja Stasi menggunung tanpa peduli apakah seluruh informasi itu sempat dianalisa atau dipergunakan suatu kali. Namun, Stasi bukan agen pasif. Mereka juga penindas yang aktif mencari musuh-musuh untuk dihukum. Targetnya orang-orang seperti Gerd Poppe, ahli fisika, dan istrinya Ulrike, aktivis hak asasi yang kehilangan pekerjaannya. Selama 20 tahun pasangan ini bolak-balik masuk penjara dan diganggu karena statusnya sebagai pembangkang. Belakangan Poppe tahu Stasi berupaya keras menamatkan perkawinannya dan menggosok-gosok teman-teman Poppe dan Ulrike untuk memusuhi pasangan itu. Bahkan usaha ini dilakukan juga terhadap putra Poppe sendiri, Jonas. Beberapa rencana Stasi tentang pasangan ini tertulis pada memo intern bertanggal 24 Februari 1987: "Untuk mendorong Nyonya Ulrike agar berpisah dari suaminya dan mau meninggalkan segala kegiatannya, bahkan melepaskan kerja sama dengan musuh-musuhnya, dia harus diiming-imingi untuk mengikuti program studi doktor. Dia juga harus diyakinkan bahwa kalau ia berpisah dari suaminya ia akan mendapat jaminan keuangan, larangan berpergian dihapuskan, dan ia diperbolehkan melancong ke negara-negara sosialis." Laporan selanjutnya lebih ganas: "Untuk memperburuk krisis rumah tangganya, hubungi 'Harald'. Perkenalkan dia kepada Nyonya Poppe dengan tujuan memacarinya. Sementara itu, prospek kerja dan kehidupan sosial tuan Poppe harus dihancurkan. Bikin surat kaleng agar ia dikucilkan di tempat kerjanya." Setelah membaca bagian pertama laporan Stasi ini Gerd Poppe, yang selama beberapa tahun terpaksa bekerja sebagai pengawas kolam renang, mencak-mencak. "Stasi secara sistematis mencoba menghancurkan kehidupan pribadi dan pekerjaan kami," katanya pada wartawan. "Ini kejahatan. Benar-benar keji." Pedeta yang Disentri Di negara di mana segala bentuk protes dianggap subversi, satu-satunya ruang untuk pembangkang disediakan gereja Protestan dan Katolik. Tak mengherankan, kebanyakan organisator revolusi perdamaian 1989 penentang komunisme Jerman muncul dari lingkungan keagamaan. Namun, peran gereja di Jerman Timur kini diperdebatkan dengan hangat. Beberapa aktivis hak asasi dengan perasaan pahit menuduh pemimpin agama telah terbujuk untuk bersekongkol dengan rezim komunis. Ada bukti bahwa ribuan pendeta dan petugas keagamaan lainnya, termasuk pengelola keagamaan paling senior di Jerman Timur, ternyata informan Stasi. Salah seorang yang terungkap pertama kali adalah Lothar de Maziere, pengurus sebuah kelompok Protestan Jerman Timur, yang menjadi perdana menteri nonkomunis pertama pada tahun 1990. Ia dipaksa meletakkan jabatannya setelah ia terungkap punya hubungan dengan Stasi di masa lalu. Tentu saja banyak pendeta yang menolak dijadikan mata-mata Stasi. Di antaranya Heinz Eggert. Sekarang ia baru sadar betapa kerasnya usaha Stasi untuk menghancurkan mereka. Eggert, seorang pendeta Lutheran, mengabdikan hidupnya sebagai penasihat anak-anak muda. Pekerjaannya menyebabkan ia berhubungan dengan banyak orang yang kecewa dan marah dengan sistem komunis. Akibatnya, Stasi segera mengecapnya sebagai seorang yang berkemampuan besar untuk melakukan subversi. Maka agen-agen Stasi merancang teror untuk Eggert. Rumah pendeta itu diawasi 24 jam. Ke mana pun Eggert pergi, ada agen yang membuntutinya. Lalu perempuan dikirim untuk merayunya. Setelah seseorang meyakinkan bahwa ia homoseksual, tugas itu dialihkan ke laki-laki. Agen-agen juga menulis surat kaleng ke tetangga-tetangga Eggert, "Awas, pendeta itu suka menganiaya anak-anak." Tahun 1983 Eggert sakit berat terserang disentri, penyakit yang tergolong jarang ditemui di Eropa Utara. Ia berobat ke rumah sakit tapi kondisinya malah makin parah. Eggert merasa amat tertekan. Dokter-dokter mengatakan ia harus menjalani pengobatan seumur hidup dan itu pun tak akan memulihkan lebih dari 30% kekuatan fisiknya sebelum sakit. Ia hampir bunuh diri dalam keputusasaan. Anehnya, kesehatannya malah membaik ketika ia menghentikan pemakaian obat-obat dari dokter. Eggert, yang kini dijuluki menteri dalam negeri, adalah salah satu dari korban-korban Stasi yang diberi kesempatan untuk melihat berkas-berkasnya di kantor polisi rahasia. Di sana ia menemukan bukti tentang sesuatu yang tak terbayangkan. Dokter yang mengawasi pengobatannya adalah seorang agen Stasi. Agen itu ternyata memberi kombinasi amphetamine -- obat perangsang dan tranquilizer -- dan obat penenang dosis tinggi yang diperhitungkan dapat meruntuhkan kekuatan fisik dan emosinya. "Di Jerman Timur tak ada gaya pasukan petrus Amerika Selatan," ujar Eggert, yang kini telah sembuh total, di kantornya di Dresden. "Pemerintah menginginkan reputasi yang baik di dunia. Tapi ada segala macam kejahatan di bawah permukaan." Selama beberapa hari media massa memberitakan kasus Eggert di halaman muka. Dokter yang mencelakainya langsung dipecat dari pekerjaannya. Tak lama setelah itu Eggert memutuskan untuk bertemu sendiri. "Saya ingin tahu apa yang akan dikatakannya," ujar Eggert mengenang. Eggert benar-benar syok . Orang yang ditemuinya, yang dulu tampak begitu kuat dan percaya diri sebelumnya, kini benar-benar hancur karena mengalami gangguan syaraf. Namun, dokter itu masih berusaha membela diri, "Ia hanya ingin melindungi saya dari Stasi," kata Eggert. Dokter itu juga mengatakan ia tidak pernah menulis laporan apa pun tentang Eggert. "Tentu saja itu bohong, saya punya salinan laporannya dalam tas saya. Tapi saya tidak memperlihatkannya. Ia sudah begitu sakit." Memburu Seniman Sinting Dalam beberapa kasus, target Stasi adalah memburu semua orang yang dinggap berbahaya. Ini tidak terbatas hanya pada orang-orang yang berkampanye soal-soal politik yang ditabukan tapi juga lingkungan pelukis, musisi, dan penulis. Di Jerman dan di mana pun, kaum kreatif itu cenderung berdiri di luar jalur, kritis dan tak mau meneriakkan slogan resmi. Ini membuat mereka menjadi target alamiah Stasi. Dimulai pada akhir 1960, kebanyakan dari seniman-seniman terkenal dan "sinting" ini mulai mengalir ke Prenzlauer Berg, sebuah kawasan di Berlin yang sewa kamarnya murah, harga birnya terjangkau, dan menghina pemerintah menjadi gaya hidup sehari-hari. Tempat itu tumbuh dengan budaya sendiri, tempat warganya berkumpul di akhir minggu untuk membaca puisi, memamerkan lukisan, memainkan musik dan "menggugat" komunisme. Yang dilakukan seniman-seniman itu adalah bicara dan bicara. Tak seorang pun bisa percaya bahwa warga berambut gondrong di cafe-cafe dan bar Prenzlauer Berg mengancam pemerintah secara serius. Sebagian besar gaya hidup dan penampilan mereka memang lain dari kebanyakan orang Jerman Timur. Tapi cita-citanya paling jauh menerbitkan puisi-puisi avant garde. Toh gaya hidup mereka yang aneh itu dianggap sebuah penyimpangan yang tidak bisa ditolerir Stasi. Ketika file Prenzlauer Berg dibuka beberapa minggu belakangan ini terbongkarlah bahwa tempat itu telah menjadi sarang informan. Banyak tokoh-tokoh seniman di situ yang dibina Stasi. Umpamanya Sascha Anderson, penulis ultra-hip, penerbit, disainer keramik, dan musikus yang tinggal bersama beberapa teman dan punya beberapa anak buah. Banyak seniman yang terperangah mendengar pengkhianatan Sascha. Laporan Langsung Stephen Kienzer Berlin jadi diliputi suasana aneh. Pagi hari saya menghabiskan waktu dengan Lutz Rathenows yang sedang dimata-matai Anderson di lobi Hotel Grand di tempat yang dulu menjadi bagian Berlin Timur. Janji pertemuan sudah lewat setengah jam. Sambil menunggu, saya berpikir betapa anehnya tempat yang dipilih Rathenow untuk bertemu. Tempat ini adalah pusat kekuasaan Jerman Timur. Banyak tamu-tamu penting Stasi, termasuk teroris yang dikenal sebagai Carlos, kabarnya tinggal di sini. Kini hotel ini menarik pengusaha-pengusaha Barat. Beberapa di antara mereka duduk di meja dekat saya, membicarakan bisnis dan membisikkan instruksi lewat telepon genggam. Tiba-tiba jelaslah bagi saya mengapa Rathenow tinggal di lingkungan ini. Arsip-arsip Stasi terletak hanya beberapa blok dari sini. Ia menghabiskan hari-harinya di sana, membaca dan menggandakan arsip Stasi. Ketika saya mulai bosan, Rathenow muncul di pintu putar. Badannya gemuk, matanya besar dengan janggut di dagu. Dengan jaket kulit dan celana panjang model Jerman Timur, ia terlihat kontras dibandingkan dengan para usahawan di sekelilingnya. Ia membawa beberapa kopi buku-buku barunya Berlin -- Timur: Sisi lain dari sebuah kota. Dalam bukunya itu ia menggambarkan kehidupan yang aneh di dalam negeri yang secara resmi disebut Republik Demokratik Jerman. Rathenow ternyata tahu Stasi selalu mengintainya. Ia dicegah untuk menyelesaikan sekolahnya, buku-bukunya dilarang terbit, dan ia beberapa kali ditawan. Itu karena Rathenow menolak didikte partai. Bukan barang baru bila Rathenow dimintai keterangan sambil diancam dengan berbagai cara. "Saya melarang Anda untuk menulis puisi-puisi dengan arti ganda," bentak seorang pejabat pada Rathenow suatu kali. "Juga puisi-puisi dengan tiga arti. Kami punya ahli yang bisa mengerti semua itu!" Rathenow kini merasa dirinya menjalani dua kehidupan. Ia tetap seorang penulis yang berusaha mendapatkan apa-apa yang hilang dalam tahun-tahunnya sebagai warga Jerman Timur. Tapi kini ia juga korban Stasi. Setengah dari arsip-arispnya hilang. Tinggal 5.000 lembar. Di lembar-lembar itu ia membaca detil hal-hal yang mengerikan tentang bagaimana ia dimata-matai dan siapa yang memata-matainya. "Reaksiku berbeda dari lembar ke lembar," katanya. "Kebanyakan dari orang yang menghkianati saya adalah orang-orang-orang berbudaya, kaum intelek." Ia benar-benar tak bisa mengomentari Sascha Anderson. "Saya tetap tak ingin percaya bahwa ia bisa menjadi bunglon. Jangan-jangan ia mengidap schizophrenia, maka ia bisa berperan baik dalam dua dunia yang benar-benar berbeda," kata Rathenow. Penulis berjanggut itu tetap bersemangat untuk meneliti arsip-arsip tentang dirinya. Petugas televisi menunggu untuk memfilmkan Rathenow ketika ia berjalan ke pintu. Ketika saya katakan kepada Rathenow bahwa saya akan bertemu dengan Anderson, ia tak tahu harus menjawab apa. Rathenow hanya tersenyum lemah, mengangkat bahu, dan melambai lalu pergi. Jika Anderson mempunyai identitas ganda -- sebagian sebagai artis kreatif dan sebagian sebagai mata-mata -- apartemennya yang berantakan di barat Berlin memperlihatkan hanya satu sisinya saja: seniman dengan ide-ide artistiknya. Buku-buku bergeletakan, meja-meja dipenuhi koran dan majalah. Permukaan dinding dipajangi barang seni modern. Di beberapa sudut, teronggok kerajinan kayu dari Afrika. Dalam pembicaraan kami, Anderson menggambarkan dirinya sebagai jenis anarkhis antipolitik. Waktu saya tanya apakah ia berharap dapat mengubah sistem Jerman Timur, ia buru-buru menjawab, "Tentu saja tidak -- tidak ada sistem (demokrasi atau kediktatoran) yang bisa diubah." Ia tidak menyangkal telah menjadi informan Stasi. "Tapi Stasi tak pernah bisa memiliki saya." Maka kalau ia bersedia berkicau untuk agen polisi rahasia itu motifnya hanya satu: "Saya takut Stasi akan menyiksa atau membunuh saya." "Saya memberikan banyak pada mereka. Barangkali terlalu banyak," kata Anderson mengaku. Ia merasa selama ini menjalani hidup kesenimanan yang menyerempet bahaya. "Jadi saya pikir orang-orang Stasi itu akan melindungi saya. Saya naif. Habislah saya, itu sudah jelas. Tapi saya tetap bertahan dan baik-baik saja. Itu sebuah bentuk kemenangan untuk saya," katanya. Saya lalu bertanya, "Apa kamu benar-benar percaya bahwa orang seperti Lutz Rathenow berbahaya bagi negara?" Ia menjawab, "Tentu saja tidak, ia tidak lebih berbahaya dari mereka." Saya memburunya dengan pertanyaan, "Tidakkah kamu pikir bahwa tindakan itu mengkhianati Rathenow?" Anderson menjawab tegas, "Tidak." Tapi tiba-tiba ia berubah pikiran. "Apa sih arti berkhianat?" tanyanya sambil merenung. Pertanyaan itu lalu dijawabnya sendiri, "Itu tergantung apa akibatnya. Kalau Lutz pikir saya mengkhianatinya, kalau jiwanya sangat terluka karena laporan saya, saya rasa saya menghianatinya. Saya sadar perbedaan antara pelaku kejahatan dan korban. Kalau kamu ingin menggambarkan saya sebagai seorang penjahat atau pengkhianat, silakan." 350 Ribu Laporan Tokoh lain yang diburu agen-agen Stasi adalah Joachim Gauck, pendeta Protestan dari Rostock, salah satu pelabuhan di Baltik. Gauck adalah orang yang mengalami penindasan komunis secara langsung. Ayahnya menghilang suatu hari pada 1950. Tiga tahun kemudian giliran Gauck yang ditangkap dengan tuduhan condong melakukan subversi. Ia dikirim ke kamp penjara di Siberia. Ia ingat, selama tiga tahun, Gauck muda harus melihat potret Stalin setiap hari di sekolah. Dari mimbar di Rostock, Gauck menjadi pemimpin populer. Di akhir tahun 1980 -an ia mengatur beberapa demonstrasi untuk mengganyang sistem komunis. Ia kemudian menjadi anggota parlemen pasca-komunis dalam pemilihan di Jerman Timur. Belakangan ia mengkhususkan diri pada isu yang berhubungan dengan Stasi. Pengalaman itu yang membuat ia duduk di kursi parlemen sekarang. Gauck tidak bekerja di bekas kompleks polisi rahasia di Normannenstrasse tapi di lingkungan kantor pemerintahan di dekat pusat Berlin. Hari-hari belakangan ini lobi di kantornya selalu dipenuhi orang-orang yang hendak melihat arsipnya. Masing -masing diberi formulir untuk diisi dan kemudian disuruh menunggu di rumah sampai mendapat kabar arsipnya sudah boleh diperiksa. "Kalau parlemen menolak undang-undang yang membolehkan orang melihat arsipnya, saya akan keluar dari pekerjaan saya," kata Gauck dalam percakapan di ruang kerjanya. Namun, ia sebetulnya melihat pemerintah belum siap untuk mengatasi akibatnya. "Pemerintah harus memutuskan soal ini. Ini bukan cara untuk memberi sentuhan pertama demokrasi setelah hidup di bawah kediktatoran secara terus-menerus sejak 1933." Pembongkaran arsip Stasi terjadi tidak hanya di Berlin tapi di hampir semua kota di Jerman yang menyimpan arsip Stasi. Tiap hari rakyat duduk di belakang meja, mengunyah apa yang dikatakan para pengkhianatnya. Lalu merenung mengapa semua itu bisa terjadi. Di bekas kantor Stasi di kota Erfurt, 150 mil selatan Berlin, orang yang ditugasi mengurus arsip-arsip itu adalah Jurgen Haschke, ahli kimia berjanggut yang kini berusia 50 tahun. Awal tahun 1960-an Haschke menghabiskan waktu setahun di penjara setelah informan Stasi melaporkan ia mengucapkan kata-kata anti-pemerintah di sebuah restoran. Kini ia menjadi penanggung jawab pembongkaran 350 ribu laporan agen dan informan Stasi tentang penduduk di Kota Erfurt dan sekitarnya. Dokumen-dokumen itu, sebagaimana di kota-kota lain, mengungkapkan peran informan yang memuakkan. "Seorang pria jadi tahu bahwa kedua saudara kandungnya ternyata musuh dalam selimut," kata Haschke dengan muram. "Seorang wanita menemukan laporan yang ditulis ayahnya sendiri," katanya. Bahkan untuk kehidupan di Jerman Timur, kata Haschke, peristiwa ini lebih sulit dimengerti. Sampai beberapa tahun lalu Olaf Jacobskotter mengelola toko pakaian milik kakek moyangnya yang terletak di seberang balai kota Erfurt sejak 1871. Selama lebih dari satu abad bisnisnya lancar sampai agen-agen Stasi melancarkan gangguan dengan tujuan meruntuhkan citra sukses bisnis swasta. Langkah-langkah yang diambil Stasi, menurut laporan dalam dokumen-dokumen itu, adalah memerintahkan para pemasok untuk mengurangi pengiriman barang sampai tinggal 15 persen dari jumlah yang biasa. Jacobskotter juga dipaksa untuk menutup toko dan menjual gedung warisan keluarga itu. Kini Jacobskotter kembali berbisnis. Tapi di sebuah toko sewaan di pinggir kota. Ia tetap takut untuk mengambil kembali aset keluarga di muka balai kota itu. "Membaca arsip Stasi tentang dirimu bagaikan melihat film kuno yang hampir tak kamu ingat lagi," kata Jacobskotter. Dalam dokumen-dokumen itu, katanya, orang bisa membaca siapa-siapa perempuan yang kamu kencani di masa muda, ke mana kamu pergi, dan apa yang kamu katakan dalam percakapan telepon. Orang juga bisa membaca kopi surat yang pernah ditulis, segala laporan yang pernah dibikin, pokoknya tetek-bengek. "Mereka mencoba mencari bahkan noda sekecil apa pun yang besok lusa bisa dipakai untuk memerangi kamu," katanya. Pola umum sikap pembaca dokumen Stasi menurut Jacobskotter adalah: pertama merasa benar-benar sakit hati, lalu frustrasi, dan akhirnya hanya sedih, sedih sekali menyadari begitu banyak kehidupan pribadi yang direnggutkan. Salah Siapa? Mengapa begitu banyak orang Jerman Timur yang sudi memata-matai orang terdekat sekalipun? Beberapa di antara mereka adalah bebek-bebek Marxis yang ingin mempertahankan pemerintah, tapi yang terbanyak oportunis yang mau melakukan apa pun untuk mendapat hak istimewa. Sisanya, orang yang percaya bahwa memberikan jasa buat polisi rahasia adalah satu-satunya jaminan untuk tidak menjadi korban Stasi. Selain itu tak terhitung banyaknya pelaku di bawah tekanan, seperti bintang sepak bola Torsten Gutschow. Gutschow pada usia 18 tahun sudah menerima semacam perintah, "Kalau kamu tidak setuju menjadi informan, kamu akan dilarang main sepak bola, dan akan didaftarkan sebagai tentara dan dikirim ke pos yang jauh dari tunanganmu." Salah satu dari sedikit informan penting Stasi adalah Lothar Pawliczak. Pawliczak, yang mengumumkan penyesalannya di muka umum, bekerja sebagai birokrat kelas menengah di Jerman Timur. Di hadapan massa di Berlin, beberapa minggu lalu, ia membeberkan mengapa ia bergabung dengan Stasi, "Karena saya mencari petualangan dan karena saya pikir jenis pekerjaan ini bisa melepaskan saya dari kehidupan yang membosankan di Jerman Timur." Ketika penonton mulai meneriakkan tuduhan kepadanya, Pawliczak membungkamnya dengan pengakuan yang mengharukan. "Kini saya sadar bekerja untuk Departemen Pertahanan Negara sama artinya dengan mendukung organisasi kriminal," katanya. "Hampir sama halnya bila saya mendukung Faksi Tentara Merah atau Gestapo (polisi rahasia rezim Nazi)." Banyak pakar politik di Jerman membandingkan warisan Stasi dengan apa yang ditinggalkan Nazi tahun 1945. Lingkup kejahatan yang dilakukan kedua rezim itu tentu saja tak sebanding tapi keduanya menimbulkan pertanyaan yang dalam tentang siapa yang bersalah dan bertanggung jawab. Orang-orang Jerman kini mengakui bahwa pemerintah lama gagal menghabisi penjahat-penjahat sisa Nazi, dan mereka tak ingin kesalahan yang sama terulang di era 1990-an ini. Lalu apa yang dilakukan untuk menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kekejaman Stasi? Sangat sedikit. Kebanyakan dari pelaku kejahatan ini adalah orang-orang berumur yang menyelinap dalam keuzurannya. Di antara mereka adalah pemimpin partai Erich Honecker, yang kini dalam perlindungan diplomatik Kedutaan Chili di Moskow. Juga bekas bos Stasi yang lama duduk di kursinya, Erich Mielke. Kini ia disidangkan di Berlin tapi dengan tuduhan yang tidak berhubungan dengan kedudukan lamanya. Pejabat Stasi di tingkat yang lebih rendah berkilah bahwa mereka hanya menjalankan tugas yang diturunkan oleh pemerintah yang sah. Menghancurkan kehidupan seseorang mungkin perbuatan yang brengsek. Namun, perbuatan itu tidak bertentangan dengan undang-undang. Pemerintah Bonn secepatnya akan mengumumkan komisi untuk melakukan penyelidikan tapi komisi itu tidak punya kewenangan untuk menghukum siapa pun. Korban-korban Stasi lambat-laun makin sadar bahwa negara demokratis tidak punya cara untuk mengganti kerugian penderitaan mereka. Ini memperpanjang daftar penderitaan korban tirani abad ke-20 ini. Bunga Surawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo