Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono menyampaikan Pembangkit Listrik Tenaga Uap atau PLTU Suralaya telah mendapatkan sertifikasi ISO (International Organization for Standardization) bahkan sudah mengikuti standar-standar internasional dan dipatuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Mereka (PLTU Suralaya) dikontrol terus sama organisasi internasional, saya gak tau lah (namanya), ada lembaga internasional yang ngawasin itu. Menurut Pak Dirut, itu aman (gas buangan),” kata Heru Budi kepada TEMPO di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat, 25 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal tersebut disampaikan Heru menjawab adanya dugaan PLTU sebagai penyumbang polusi udara Jakarta yang belakangan ini masih terus meningkat. Hari ini, Rabu, 30 Agustus 2023, pukul 11.12 WIB, berdasarkan data +IQAir, indeks kualitas udara Jakarta 162 AQI US dengan kategori tidak sehat.
“Makanya daripada kita berdebat gini, kita jalanin aja 2-3 hari, kenapa sih? Mau work from home (WFH), Jumat, Sabtu, Minggu. Oh ternyata nggak turun. Oh berarti industri,” ujarnya.
Dia pun menyarankan seluruh pihak, tidak hanya aparatur sipil negara (ASN) untuk mencoba menerapkan WFH selama tiga hari, yaitu Jumat-Ahad beraktifitas dari rumah, sehingga jumlah kendaraan yang melintas berkurang. Tujuannya, untuk melihat pergerakan polusi udara.
“Berhenti semua, libur gitu ya, kan Sabtu, Minggu udah libur kecuali mau beribadah, ke rumah sakit. Ya kalau mau keluar, sekitar-sekitar rumah saja yang mau belanja. Kalau saya, ini kan guyon, bercandaan Bapak Heru” kata dia.
Sementara itu, untuk PLTU yang masih menggunakan batu bara, Heru Budi mengajak untuk menggunakan gas sebagai bahan bakar alternatif guna menekan polutan yang dihasilkan.
“Ya sudah dicoba aja (pakai gas). Kapan kita bersepakat semuanya, Jumat, Sabtu, Minggu kendaraan kalau bisa WFH. Ternyata polusinya nggak turun, Senin, Selasa, Rabu, PLTU Suralaya pakai gas,” ujar Kepala Sekretariat Presiden itu.
Menurutnya, apabila upaya itu sudah dilakukan, tetapi polusi masih belum turun, maka industri patut dicurigai sebagai sumber polusi udara Jakarta. “Oh ini berarti dari industri. Ya kalau musim kemarau harusnya jangan pakai batu bara, pakai gas. Harusnya, kalau menurut saya tapi kan nanti dari sisi nilai operasinya tinggi nggak?,” ujarnya.
Tidak menampik, Heru mengakui bahwa masalah infrastruktur masih menjadi kendala. Mengingat untuk membangun jaringan gas prosesnya cukup rumit.
sebelumnya, TEMPO mendapat informasi dari Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta Asep Kuswanto bahwa ada beberapa industri di Jakarta Utara yang berniat shifting atau beralih ke gas sebagai bahan bakar dalam operasinalnya.
Lantaran tidak adanya jalur pipa atau infrastruktur yang menunjang penggunaan gas, maka mau tidak mau, industri tersebut membakar turbinnya dengan batu bara.
“Bercandaan lagi nih, kalau dia (industri) mau mengurangi polusi, pakai aja hasil produksi RDF kita. Polutannya lebih rendah dari batu bara. Kalau mau, sekalian promosi,” guyonan Heru.
Namun demikian, Heru Budi membenarkan belum tersediannya infrastruktur jaringan gas yang memadai. “Itu benar. PN Gas berdiskusi dengan saya. Mereka ingin masuk ke lokasi-lokasi industri. Dia minta izin perpipaan dan segala macam. Mereka sih sudah ada blueprint-nya,” kata dia.
Menurutnya, saat ini PAM kan akan melakukan pipanisasi dan dirinya berinisiatif untuk mengajak PNG ikut dalam proyek tersebut membangun jaringan gas. “Itu kan berapa ribu kilo ya. Kalau dihitung gini-gini, semua jalan-jalan. Sekalian aja gas masuk disitu. Bareng. Nanti saya panggil. Sekalian gas masuk disitu. Sekalian ducting masuk disitu,” ujarnya.