Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Antara Normalisasi Sungai dan Sumur Resapan

Sumur resapan hanya bisa mengatasi genangan lokal dalam cakupan yang relatif kecil.

3 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pakar lingkungan menyebutkan pembangunan sumur resapan tak akan efektif menangani banjir.

  • Pembangunan sumur resapan harus dibarengi dengan normalisasi sungai hingga revitalisasi waduk.

  • Gubernur Anies Baswedan dinilai setengah hati menjalankan program normalisasi sungai.

JAKARTA — Penghapusan anggaran sumur resapan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta mendapat respons positif dari sejumlah pihak. Salah satunya pakar tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga.

Nirwono menyarankan agar dana Rp 120 miliar yang semula digunakan untuk pembangunan drainase vertikal dialihkan untuk kegiatan lain yang masih berhubungan dengan penanganan banjir. Misalnya pembenahan sungai, revitalisasi waduk atau embung, dan rehabilitasi saluran air kota. Program itu dinilai lebih substansial untuk mencegah banjir. "Atau untuk restorasi kawasan pesisir dan penambahan ruang terbuka hijau," kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini



Menurut Nirwono, program sumur resapan dinilai kurang efektif untuk mengatasi banjir. Sebab, sumur vertikal hanya bisa mengatasi genangan lokal dalam cakupan relatif kecil. Dengan kata lain, sumur resapan tidak bisa diandalkan untuk mengatasi bah di perkotaan yang cakupannya luas dan kompleks.

Pada anggaran 2021, Pemprov DKI Jakarta menghabiskan dana Rp 411 miliar untuk membangun sumur resapan. Sejauh ini, jumlah sumur yang telah dioperasikan baru 19.042 titik atau 37.369 meter kubik. Padahal pemerintah menargetkan pembangunan 1,8 juta sumur hingga akhir 2022. Sementara itu, Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta telah menghapus alokasi anggaran Rp 120 miliar untuk pembangunan sumur pada tahun depan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pembangunan sumur resapan di Cipinang Indah, Jakarta, 16 November 2021. Magang Tempo/Dika Yanuar

Program sumur resapan disebut-sebut mengacu pada konsep sponge city atau kota busa yang dianggap cocok diterapkan di Jakarta. Intinya, kota tersebut akan menggunakan sistem kerja tampungan air dan mendaur ulang air tersebut untuk kebutuhan penduduk. Salah satu kegiatan dalam sponge city adalah pembangunan sumur resapan.

Namun, menurut Nirwono, konsep kota busa hanya akan berhasil jika didukung oleh keberadaan ruang terbuka hijau yang minimal sebesar 30 persen dari luas keseluruhan wilayah Jakarta. Selain itu, tetap diperlukan upaya maksimal untuk mempercepat aliran air utama ke sungai, danau, dan waduk. "Juga perlu mengembangkan bangunan hijau yang, antara lain, berbentuk taman atap untuk menyerap air," kata Nirwono.

Namun, faktanya, luas ruang terbuka hijau di Jakarta masih jauh dari angka 30 persen. Kegiatan untuk menormalkan aliran sungai pun tidak berjalan.

Kepala Laboratorium Geodesi Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, mengatakan, secara teknis, strategi sumur resapan kurang cocok diterapkan di DKI Jakarta. Sebab, pada dasarnya wilayah geografis Jakarta merupakan tanah pesisir dan tanah banjir.

Heri mencontohkan, di wilayah di Jakarta Utara, hampir mustahil bisa dibangun sumur resapan karena permukaan tanah di sana nyaris sama dengan ketinggian air laut. Kondisi itu membuat air laut mudah merembes ke daratan. "Jika Jakarta Utara sudah tidak bisa, semakin sempit pembangunan sumur resapan di Ibu Kota," kata Heri.

Alih-alih membangun sumur resapan, Heri mendorong Pemprov DKI melanjutkan normalisasi sungai agar daya tampungnya semakin maksimal. Cara itu lebih realistis karena air di daratan bisa lebih cepat mengalir. Paling tidak Hong Kong sukses menggunakan pola ini untuk mengendalikan banjir.

Sayangnya, kata Heri, Gubernur Anies terkesan setengah hati menggarap program normalisasi sungai. Apalagi program ini mengharuskan pemerintah merelokasi warga yang tinggal di bantaran. Sedangkan dalam program sumur resapan tidak perlu ada penggusuran. "Penggusuran adalah program yang tidak populer,” kata Heri. “Ini lebih ke arah politik, urusan banjir jadi dipolitisasi."


INDRA WIJAYA | M JULNIS FIRMANSYAH

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus