Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EMPAT tahun lalu Farihin Niskala bolak-balik pergi ke kantor Rabithah Alawiyah di kawasan Tanjung Barat, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Kepala Pustaka Wangsakerta Keraton Kanoman, Cirebon, Jawa Barat, tersebut sedang membantu koleganya yang ingin menanyakan trah Syarif Hidayatullah bin Syarif Abdullah Umdatuddin alias Sunan Gunung Jati, yang termasuk Wali Sanga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Farihin bercerita, dia bertemu dengan Ketua Maktab Daimi, Ahmad bin Muhammad Alattas, di kantor Rabithah. Kepada Ahmad, Farihin menyodorkan dokumen dan manuskrip yang menerangkan bahwa garis keturunan Sunan Gunung Jati tersambung ke Nabi Muhammad. Maktab Daimi adalah lembaga otonom di bawah Rabithah yang khusus mencatat nasab Alawiyyin, trah Alwi Alawiyyin bin Ubaidillah keturunan Rasulullah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya diminta pengurus untuk melengkapi tiga referensi,” ujar Farihin melalui telekonferensi video pada Sabtu, 30 Maret 2024. Pengurus Maktab Daimi saat itu mencontohkan rujukan yang harus dilengkapi, seperti catatan bahwa Pangeran Pasarean Muhammad Arifin merupakan salah satu anak Sunan Gunung Jati. “Saya tak hanya memberi tiga referensi, tapi lima rujukan ketika kembali lagi ke kantor Rabithah,” tuturnya.
Farihin memimpin Pustaka Wangsakerta sejak 2017. Lembaga itu sedang mengumpulkan data dan mencatat ulang silsilah Sunan Gunung Jati di Keraton Kanoman. Pendataan itu merujuk pada manuskrip babon, Purwaka Caruban Nagari, yang ditulis Pangeran Aria pada 1720. Salah satu isinya memuat pohon keturunan Sunan Gunung Jati yang tersambung ke Nabi Muhammad.
Ahmad Alatas di kantor Rabithah Alawiyah, Jakarta, 28 Maret 2024. Tempo/Febri Angga Palguna
Meski sudah melengkapi dokumen yang diminta, Farihin tak kunjung mendapat jawaban. Menelepon Ahmad, Farihin diberi tahu bahwa Maktab Daimi akan menggelar penelitian bersama untuk memeriksa pertalian keluarga Sunan Gunung Jati dengan Nabi Muhammad. Namun Farihin sampai sekarang tak pernah mendapat ketetapan apakah Sunan Gunung Jati merupakan trah Rasulullah atau bukan.
Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf, mengatakan lembaganya masih meneliti ahlul bait Wali Sanga. Dia mengklaim Rabithah mengalami kesulitan dalam memperoleh data soal nasab para wali. “Kami tak pernah menyebut para Wali Sanga bukan keturunan Nabi,” kata Taufiq. Ulama asal Pasuruan, Jawa Timur, itu menyebutkan Rabithah berhati-hati menetapkan nasab dan harus punya data yang lengkap.
Maimun Nafis dalam bukunya, Kajian: Nasab Bani Alwi dan Wali Songo, menulis leluhur Sunan Gunung Jati adalah Abdullah Azmatkhan sebagaimana tertera dalam Kitab Syamsu Dzahirah. Kitab tersebut menerangkan pula bahwa Syarif Hidayatullah—nama lahir Sunan Gunung Jati—adalah keturunan Alwi Alawiyyin bin Ubaidillah.
Sunan Gunung Jati adalah kunci penyebaran Islam di Cirebon dan sekitarnya. Sebagian besar ulama berpengaruh di Kota Wali itu punya hubungan kekerabatan dengan Sunan Gunung Jati. Salah satunya Abdullah Abbas, pendiri Pondok Pesantren Buntet di Astanajapura, Cirebon. Aah Syafaah dan Didin Nurul Rosidin dalam tulisan berjudul “Jaringan Ulama Cirebon Abad Ke-19: Sebuah Kajian Berdasarkan Silsilah Nasab dan Sanad” menyebutkan Abbas masih keturunan Sunan Gunung Jati.
Literatur yang sama mencatat bahwa trah Sunan Gunung Jati berperan mendirikan sejumlah pondok pesantren di dalam ataupun luar wilayah Keraton Kanoman. Di antaranya Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin yang digagas Hasanuddin bin Abdul Latif alias Ki Jatira pada 1705 dan Pondok Pesantren Balerante yang didirikan Syekh Khalifah Raja dan Syekh Romli. “Pondok Pesantren Kempek yang sekarang diasuh Kiai Said Aqil Siroj juga termasuk,” ucap Farihin. Said Aqil Siroj adalah bekas Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.
Keberadaan pesantren-pesantren yang didirikan keturunan Sunan Gunung Jati itu ikut membantu pencatatan silsilah keluarga. Farihin mencontohkan, pendiri dan pengurus Pondok Pesantren Buntet masih tekun menulis garis keturunan. Catatan semacam itu penting bagi Keraton Kanoman untuk menguji garis trah Sunan Gunung Jati dan kerabatnya.
Keraton Kanoman di Cirebon memang serius mencatat dan memeriksa garis keturunan Sunan Gunung Jati lewat kegiatan Pustaka Wangsakerta. Keraton juga membuka pendaftaran bagi orang yang ingin mencatatkan silsilahnya. Setiap bulan sedikitnya ada 50 orang yang mendaftar dan ingin didata keturunannya. “Seseorang harus membawa catatan nasab yang pernah dibuat leluhurnya,” tutur Farihin.
Pemohon yang tak punya catatan silsilah dari leluhur tetap bisa memeriksa garis keluarga dengan keraton. Dia dapat merujuk pada manuskrip atau arsip sejarah. Pustakawan dari Pustaka Wangsakerta kemudian akan meneliti sumber dokumen itu dengan pendekatan filologi serta memverifikasi keberadaan makam leluhur. “Data filologi dan arkeologi harus cocok,” kata Farihin.
Pustakawan sering menemui kesulitan dalam mencatat keturunan Keraton Kanoman di Cirebon. Data dari pemohon kerap tak cocok dengan dokumen koleksi Keraton. Jika demikian, pemohon dan pengurus Keraton akan bertemu untuk bermusyawarah dengan menghadirkan saksi.
Menurut Farihin, keturunan Wali Sanga lain mungkin juga menelusuri trah sebagaimana kerabat Sunan Gunung Jati dan Keraton Kanoman. Dia menduga pencatatan keturunan para wali lain tak terlembagakan. “Di Cirebon, ritual dan bangunan keratonnya masih ada,” ujarnya.
Tradisi pencatatan garis keturunan Nabi Muhammad tak hanya berlangsung di Keraton Kanoman di Cirebon. Kesultanan Banten juga melakukannya lewat Naqobah Persatuan Trah Kesultanan Banten. Pasalnya, Sultan Banten ke-6, Ageng Tirtayasa, disebut keturunan Sunan Gunung Jati.
Salah satu yang meneruskan tradisi pencatatan nasab itu adalah Tubagus Zein Al Bakri, cucu Tubagus Ahmad Bakri yang tersohor dengan panggilan Mama Sempur. Mama berasal dari bahasa Sunda yang berarti bapak, sedangkan Sempur merupakan desa di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Zein bercerita, dia diminta kerabatnya mendata dan merapikan silsilah keluarga. Alasannya, banyak orang mengaku sebagai bagian dari keluarga Kesultanan Banten dengan mencatut gelar tubagus. Zein mengikuti saran itu dan membuat lembaga untuk mencatat trah Kesultanan Banten. “Untuk menjaga dari pihak yang tak bertanggung jawab,” ucap Zein.
Pencatatan silsilah di Naqobah Persatuan Trah Kesultanan Banten tidak berbeda dengan di Keraton Kanoman. Pemohon wajib mengetahui garis keturunan berdasarkan data yang tertera pada manuskrip. Dia juga harus menerangkan secara lengkap identitas lima generasi di atasnya.
Ketika data dan informasi pemohon sudah lengkap, Zein akan melacak silsilah itu dengan turun ke lapangan. Dia mendatangi lokasi tempat tinggal leluhur pemohon untuk memverifikasi data yang masuk ke lembaganya.
Verifikasi yang dilakukan Naqobah Persatuan Trah Kesultanan Banten juga memperhatikan relasi kekeluargaan. Contohnya anggota keluarga Tubagus Ahmad Bakri alias Mama Sempur saling mengenal meski tinggal berjauhan. Itu menandakan trah Ahmad Bakri terus dirawat. “Jadi tak mungkin ada orang baru yang masuk,” kata Zein.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pencarian Susur Galur Wali"