Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Surat sang ibu

Ny. wignyo sundhut di lamongan, berkirim surat kepada anaknya, sri bumi, penyanyi tenar di jakarta. ibunya bangga, anak sulung sri bernyanyi di tv. diharapkan sri tidak mengkomersilkan kepintaran anaknya.

22 Januari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

INILAH surat Ny. Wignyo-sundhut kepada anaknya, Sri Bumi, penyanyi tenar di Jakarta, ditulis dari Lamongan, tiga hari yang lalu: "Anakku Sri. Kemarin kulihat Doddy, anakmu yang sulung, nyanyi di TV, bersamamu dan suamimu. Alangkah bahagianya kalian sekeluarga kelihatan dalam iklan kaset itu. Kami di Lamongan ikut nonton dengan gembira, bangga bahwa Doddy yang baru 5 tahun itu sudah jadi bintang. Rupanya ia mewarisi bakat seni suara dari dirimu. Dan tentu saja dari ayahnya. Tak sia-sia suamimu keturunan pemain kendang dari Sleman, 'nduk. "Tapi, Sri, tidakkah kau hanya meniru-niru mereka yang suka dianggap mengkomersiilkan kepintaran anak? Dugaanku, 'nduk, ialah bahwa kau begitu membanggakan anakmu, sebagai anak pandai di tengah keluarga yang makmur dan bahagia. Memang jamak, orang tua bangga akan kelebihan anaknya, sebab dengan itu ia pun bisa bangga pada dirinya sendiri. Yang tak kita sadari, Sri, ialah bahwa sering seorang anak kita anggap luarbiasa, karena kita ingin agar ia luarbiasa. "Tak heran bila banyak anak hanya jadi bangunan keinginan orang tua. Dan para penyanyi cilik di TVRI itu pun terasa ibarat boneka-boneka sang ventrilonquist. Mereka seakan-akan pandai bersuara, padahal semua itu hanya teknik, bukan ekspresi diri. "Bukan aku mau menyindirmu, 'nduk. Kau me' mang nampaknya ingin Doddy mencerminkan kecemerlangan bapak-ibunya. Bukankah ia kau beri nama Doddy Pelog Musikaliawan? Tidak apa. Yang aku cemaskan, Sri, ialah bahwa kita - orang-orang tua - kehilangan makna kesucian seorang anak. "Kesucian itu, Sri, bukanlah kesucian psikologis. Kesucian yang kumaksud adalah kesucian yang lebih dasar, lebih azasi. Ketika kau baru lahir, 'nduk, marhum bapakmu berbisik kepadaku di pembaringan: "Lihatlah, jeng, jabang bayi itu. Mentakjubkan. Kita tak tahu dari mana ia mendapatkan semua yang ada dalam dirinya: sukmanya, ususnya, otaknya, nasibnya. Seorang anak pastilah titipan dari Yang Punya Hidup". Maka waktu suatu hari bapakmu menulis surat ia mengutip penyair. Gebran Khalil Gebran: 'Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu . . .". "Kita, generasi tua, memang tak berhak merasa memiliki generasi muda. Kita tak boleh merasa memiliki siapapun. Cinta itu membebaskan, 'nduk. Yang muda tak harus jadi pendukung potret-diri dari yang tua. Yang muda juga bukan proyek dari yang tua. Tapi bukan maksudku, Sri, akan mencampuri hakmu mengasuh anak. Anggaplah surat ini bukan surat seorang eyang tentang cucunya, tapi surat seorang ibu yang ingin melihat generasi nanti sebagai generasi yang bebas membuat sendiri - bukannya memfotokopi- sejarah. "Nah, peluk-ciumku buat Doddy, adiknya dan salamku buat Remi Soldofa. suamimu".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus