Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INILAH surat Ny. Wignyo-sundhut kepada anaknya, Sri Bumi,
penyanyi tenar di Jakarta, ditulis dari Lamongan, tiga hari yang
lalu:
"Anakku Sri. Kemarin kulihat Doddy, anakmu yang sulung, nyanyi
di TV, bersamamu dan suamimu. Alangkah bahagianya kalian
sekeluarga kelihatan dalam iklan kaset itu. Kami di Lamongan
ikut nonton dengan gembira, bangga bahwa Doddy yang baru 5 tahun
itu sudah jadi bintang. Rupanya ia mewarisi bakat seni suara
dari dirimu. Dan tentu saja dari ayahnya. Tak sia-sia suamimu
keturunan pemain kendang dari Sleman, 'nduk.
"Tapi, Sri, tidakkah kau hanya meniru-niru mereka yang suka
dianggap mengkomersiilkan kepintaran anak? Dugaanku, 'nduk,
ialah bahwa kau begitu membanggakan anakmu, sebagai anak pandai
di tengah keluarga yang makmur dan bahagia. Memang jamak, orang
tua bangga akan kelebihan anaknya, sebab dengan itu ia pun bisa
bangga pada dirinya sendiri. Yang tak kita sadari, Sri, ialah
bahwa sering seorang anak kita anggap luarbiasa, karena kita
ingin agar ia luarbiasa.
"Tak heran bila banyak anak hanya jadi bangunan keinginan orang
tua. Dan para penyanyi cilik di TVRI itu pun terasa ibarat
boneka-boneka sang ventrilonquist. Mereka seakan-akan pandai
bersuara, padahal semua itu hanya teknik, bukan ekspresi diri.
"Bukan aku mau menyindirmu, 'nduk. Kau me' mang nampaknya ingin
Doddy mencerminkan kecemerlangan bapak-ibunya. Bukankah ia kau
beri nama Doddy Pelog Musikaliawan? Tidak apa. Yang aku
cemaskan, Sri, ialah bahwa kita - orang-orang tua - kehilangan
makna kesucian seorang anak.
"Kesucian itu, Sri, bukanlah kesucian psikologis. Kesucian yang
kumaksud adalah kesucian yang lebih dasar, lebih azasi. Ketika
kau baru lahir, 'nduk, marhum bapakmu berbisik kepadaku di
pembaringan: "Lihatlah, jeng, jabang bayi itu. Mentakjubkan.
Kita tak tahu dari mana ia mendapatkan semua yang ada dalam
dirinya: sukmanya, ususnya, otaknya, nasibnya. Seorang anak
pastilah titipan dari Yang Punya Hidup". Maka waktu suatu hari
bapakmu menulis surat ia mengutip penyair. Gebran Khalil Gebran:
'Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu . . .".
"Kita, generasi tua, memang tak berhak merasa memiliki generasi
muda. Kita tak boleh merasa memiliki siapapun. Cinta itu
membebaskan, 'nduk. Yang muda tak harus jadi pendukung
potret-diri dari yang tua. Yang muda juga bukan proyek dari yang
tua. Tapi bukan maksudku, Sri, akan mencampuri hakmu mengasuh
anak. Anggaplah surat ini bukan surat seorang eyang tentang
cucunya, tapi surat seorang ibu yang ingin melihat generasi
nanti sebagai generasi yang bebas membuat sendiri - bukannya
memfotokopi- sejarah.
"Nah, peluk-ciumku buat Doddy, adiknya dan salamku buat Remi
Soldofa. suamimu".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo