Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tak Semudah Membuka Koleksi Buku

Membuka perpustakaan pribadi tak semudah membaca buku. Urusan pengunjung sampai pengelolaan penting menjadi perhatian. 

17 September 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kolektor buku perlu memperhatikan sejumlah hal sebelum membuka perpustakaan pribadi.

  • Keterlibatan pemilik perpustakaan akan memberikan arti mendalam dan berkesan untuk pengunjung.

  • Saatnya perpustakaan berpikir lebih maju hingga mampu memproduksi buku sendiri. 

Munculnya perpustakaan pribadi yang dibuka untuk umum menjadi semacam oase di tengah keringnya minat membaca di Indonesia. Harapannya, hal itu akan memancing minat banyak orang untuk membaca. Penataan perpustakaan pribadi yang nyaman, kekinian, dan Instagrammable bisa menjadi salah satu daya tariknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Para pemilik perpustakaan pribadi berharap kegiatan ini bisa menjadi tren hingga memunculkan lebih banyak lagi perpustakaan pribadi atau swasta. Pendiri perpustakaan Baca Di Tebet, Wien Muldian, mengatakan buku tidak akan berguna jika tidak untuk dibaca orang. Lagi pula, membuka perpustakaan tentu membuka ladang ilmu dan berkah yang luar biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Wien, akses buku masih menjadi problem hampir di seluruh Indonesia. Walhasil, akan sangat berarti jika para kolektor buku dan pegiat literasi bekerja sama membuka perpustakaan pribadi atau swadaya untuk masyarakat. 

Namun Wien mengingatkan ada hal fundamental yang perlu diperhatikan para kolektor dan pegiat buku sebelum membuka perpustakaan. Menurut dia, gerakan mendorong literasi harus dijalankan dengan efektif. 

Perpustakaan Baca Di Tebet, Jakarta, 15 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Wien memberi contoh, gerakan literasi yang diinisiasi oleh kelompok atau komunitas pencinta buku harus bisa menyasar hingga akar permasalahan. Menurut dia, gerakan literasi harus bisa menjembatani dua kelompok yang berbeda, yakni komunitas pegiat buku dan orang-orang yang akan diajak  membaca. 

Wien mengatakan kondisi kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini adalah orang yang selama hidupnya hanya menjadikan buku pelajaran sebagai bacaan. Singkat kata, mereka hanya membaca buku sekolah dari sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga bangku kuliah. 

"Setelah selesai sekolah atau kuliah, mereka tidak menyentuh buku lagi," kata Wien saat ditemui di Baca Di Tebet, Jumat lalu. 

Pria berkaca mata itu berharap pembuatan perpustakaan yang lebih santai dan nyaman bisa menjadi tempat singgah kelompok orang yang hanya membaca buku sekolah. Tempat yang nyaman, pilihan bacaan yang beragam, dan komunikasi nan menyenangkan bisa menjadi faktor penarik mereka untuk mulai membaca buku. 

"Jadi, perpustakaan jangan hanya untuk orang-orang yang sudah suka baca buku. Perpustakaan tidak boleh dikuasai satu kelompok saja," kata dia. 

Pendiri perpustakaan Baca Di Tebet, Kanti W Janis Di Jakarta, 15 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Kanti W. Janis, yang juga pendiri Baca Di Tebet, mengingatkan bahwa pemilik perpustakaan harus rajin berkegiatan di perpustakaannya. Jangan sampai, tutur dia, perpustakaan pribadi yang dibuka sekadar tempat menyimpan buku. 

"Dia harus hadir. Kalau perpustakaan sepi ya harus dipakai sendiri. Jiwanya harus ada di perpustakaan itu," kata Kanti. 

Sementara itu, pendiri Foreword Library, Nihlah Assegaf dan Nishrin Assegaf, juga menyarankan pemilik perpustakaan pribadi harus mau berkomunikasi dengan pembaca. Terlebih komunikasi dengan pengunjung sejatinya bisa berguna untuk pemilik perpustakaan. Selain memberi saran yang membangun, obrolan dengan pembaca bisa membuka jendela baru tentang dunia membaca. 

Selain itu, Nishrin menyebutkan campur tangan pemilik perpustakaan punya andil dalam penyajian buku koleksi. Ia mencontohkan adiknya, Nihlah, yang membaca lebih dulu semua buku yang akan disajikan di perpustakaan Foreword. Termasuk buku-buku yang datang dari donasi keluarga ataupun anggota perpustakaan. 

"Ini bentuk kurasi. Kami hanya ingin buku-buku terbaik yang ada di perpustakaan ini," kata Nishrin. 

Pendiri Foreword Library, Nihlah Assegaf berpose di salah satu sudut perpustakaan di Cilandak, Pasar Minggu, Jakarta, 14 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Adapun pemilik perpustakaan OMAH Library, Realrich Sjarief, mengingatkan tentang tujuan awal seseorang membuka perpustakaan pribadi kepada publik. Menurut Rich—begitu sapaan Realrich—orang harus sadar bahwa membuka perpustakaan bukanlah ladang bisnis. "Membuka pengetahuan lewat perpustakaan itu jalan hidup," kata dia, Kamis lalu. 

Sebagai arsitek, Rich juga memberi saran tentang pengaturan ruangan perpustakaan. Menurut dia, perpustakaan harus memiliki ruangan yang menjadi titik konsentrasi menaruh buku koleksi. Namun harus ada pula ruang yang menjadi jeda di antara buku-buku tersebut. Nah, jeda di ruangan itulah, ujar Rich, tempat terbaik bagi orang untuk membaca buku. 

Menurut Rich, penataan rak dan buku tanpa jeda justru membuat ruangan perpustakaan tak berbeda dengan gudang buku. Walhasil, ada baiknya menaruh rak dan buku di samping kiri dan kanan ruangan serta ruang tengah untuk orang bersantai. 

"Jadi, taruh orangnya dulu, baru bukunya. Buat dia nyaman dulu, baru (dia) mau membaca buku," kata Rich. 

Pendiri OMAH Library, Realrich Sjarief di Meruya, Tangerang, Banten, 14 September 2023. TEMPO / Hilman Fathurrahman W

Menurut Rich, perpustakaan adalah tempat pemantik rasa nyaman dan penasaran. Rasa nyaman dan penasaran yang menyatu akan membuat orang semakin tertarik membuka buku dan menyerap semua ilmu yang ada di dalamnya. 

Selain itu, Rich menyarankan kolektor buku atau orang yang punya niat membuka perpustakaan untuk berpikir lebih jauh dalam mengartikan sebuah perpustakaan. Menurut dia, di zaman yang serba maju, sudah tidak tepat lagi mengartikan perpustakaan sebagai tempat menyimpan koleksi buku. Saat ini perpustakaan harus mampu memproduksi buku sendiri. 

"Yang bikin Indonesia maju literasinya itu bukan buku yang dikoleksi, melainkan buku yang diproduksinya."  

INDRA WIJAYA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus