Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tawuran Antarpemuda di Bekasi Kembali Marak

Saling tantang via media sosial Instagram membuat dua nyawa melayang.

20 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEKASI – Perkelahian massal atau tawuran antar kelompok pemuda di Bekasi, Jawa Barat, meningkat belakangan ini. Dalam sepekan terakhir, terjadi dua kali tawuran yang membuat nyawa dua pemuda melayang akibat sabetan senjata tajam, sedangkan kondisi seorang korban lagi kritis di rumah sakit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski begitu, Kepolisian Resor Metro Kota Bekasi menampik adanya kecenderungan tawuran kembali marak di wilayah kerjanya. "Baru dua kali. Kecuali setiap hari," ujar juru bicara Polres, Komisaris Erna Ruswing Andari, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut dia, instansinya telah maksimal berupaya meminimalkan kejadian tawuran. Bahkan telah dibentuk tiga pilar, yaitu kepolisian, TNI, dan pemerintah, yang bekerja sama melakukan sosialisasi ke seluruh lapisan masyarakat. Dibentuk pula polisi RW hingga kegiatan kongko bersama polisi dan masyarakat. "Sosialisasi di sekolah kami juga sudah maksimal."

Tawuran terjadi di Jembatan Rawa Bambu RT 05 RW 16, Kelurahan Harapan Jaya, Bekasi Utara, pada Minggu dinihari, 10 Februari lalu. Pertikaian itu membuat M. Ali Sadikin, 17 tahun, tewas. Enam pemuda telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni SR, 16 tahun, IN (16), DF (18), MI (21), JP (15), dan RNF (15). Pemicunya saling tantang kedua kelompok melalui media sosial Instagram.

Sepekan kemudian, tawuran kembali terjadi. Tepatnya di Jalan Agus Salim, Bekasi Timur, pada Senin dinihari, 18 Februari. Seorang pemuda, M. Fajar, 17 tahun, tewas akibat bacokan senjata tajam. Sedangkan kawannya, Hermansyah, 23 tahun, sampai sekarang masih dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Bekasi.

Dalam perkara di Jalan Agus Salim, polisi menangkap tiga tersangka. Mereka adalah IBR, 15 tahun, AG (16), serta AS (18). Pemicunya sama: saling tantang dua kelompok yang tinggal satu kelurahan itu melalui media sosial Instagram.

Berdasarkan pengusutan terhadap sejumlah tawuran, menurut Erna, terungkap bahwa para pelaku mayoritas berasal dari keluarga kalangan ekonomi menengah ke bawah. Dia menyimpulkan, para pelaku tawuran kurang mendapat perhatian dari orang tua yang sibuk bekerja mencari nafkah.

"Mereka ini luput dari pengawasan, terutama dalam pendidikan, baik itu formal maupun agama," ujarnya.

Erna juga menuturkan, efek dari pengawasan yang kurang adalah mereka kerap tidak mengacuhkan perintah orang tua, bahkan berani melawan. Tak jarang mereka kerap keluyuran malam-malam tanpa dicari orang tua. Para remaja atau pemuda tanggung tersebut kemudian berkumpul dengan teman-teman selevel, lalu menyalurkan kelebihan energi itu pada hal-hal yang melanggar hukum. "Bisa terlibat tawuran sampai kriminalitas lain."

Upaya menekan aksi tawuran, dia mengungkapkan, antara lain dilakukan dengan tak memberi ruang berkumpul bagi para remaja di atas pukul 21.00 WIB. Maka, perlu peran aktif masyarakat setempat untuk membubarkan kegiatan kumpul-kumpul malam. Kalau tak berani membubarkan, Erna meminta masyarakat melapor ke kepolisian baik melalui telepon maupun media sosial.

"Setiap hari kami patroli. Prinsipnya sekarang, jika ada yang berkumpul malam, langsung kami bawa," ujar Erna.

Komisioner di Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Kota Bekasi, Ruri Arif Rianto, mendukung temuan kepolisian bahwa kriminalitas anak atau remaja cenderung tumbuh dari keluarga dengan perekonomian menengah ke bawah. Kondisi ekonomi semacam itu membuat orang tua sibuk mencari uang ketimbang mengurusi anaknya. "Tak jarang pelaku tawuran adalah anak putus sekolah," kata dia.

Merujuk pada kasus tawuran terakhir, dia menjelaskan, korban tewas bernama M. Fajar merupakan anak putus sekolah tingkat sekolah menengah pertama. Sehari-hari dia tak bekerja alias menganggur. Ruri berpendapat kondisi semacam ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah agar benar-benar mendata anak putus sekolah demi kondisi yang lebih baik pada lima sampai sepuluh tahun mendatang.

Menurut Ruri, KPAI Kota Bekasi juga menyoroti pendidikan di sekolah-sekolah swasta yang kurang populer. Berdasarkan laporan polisi, mayoritas pelajar pelaku kriminalitas berasal dari sekolah tersebut. Lembaganya nyaris tak menemukan pelajar dari sekolah populer, seperti Al-Azhar, terlibat tawuran dan tindak kriminalitas.

"Pemerintah harus berperan dalam meningkatkan kualitas pendidikan di sekolah swasta," ujarnya. ADI WARSONO | JOBPIE SUGIHARTO


Nyawa Melayang di ujung Pedang

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus