Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETANG sebentar lagi datang. Namun kesibukan di Pelabuhan Panarukan, Situbondo, Jawa Timur, tak lantas berkurang. Buruh angkut bolak-balik memindahkan aneka barang kebutuhan pokok dari mobil pikap ke perahu layar motor yang bersandar di ujung dermaga. "Ini pesanan enam orang dari Madura," kata Hendrik, 30 tahun, salah seorang buruh, dua pekan lalu.
Seperti Hendrik, puluhan buruh angkut lain tak menganggur. Sebagian besar mengangkut kebutuhan pokok, seperti beras, gula, dan minyak goreng. Ada juga yang menggotong kayu, semen, tabung elpiji, atau lemari. Sore itu, enam perahu layar motor berkapasitas tiga ton merapat ke pelabuhan. Perahu tersebut datang dari pulau-pulau di sekitar Madura, seperti Kangean, Sapeken, dan Masalembu.
Hanya, bila dibandingkan dengan suasana puluhan tahun silam, Pelabuhan Panarukan kini terbilang sepi. Moji, 70 tahun, bercerita. Pada 1960-an, ketika warga Desa Kilensari itu menjadi buruh angkut, perahu yang bersandar di Panarukan bisa berjumlah lebih dari 50. Pedagang antarpulau pun tak hanya datang dari Madura, tapi juga dari Kalimantan dan Sulawesi.
Dulu, kapal-kapal besar yang akan berlayar ke Eropa juga singgah di Panarukan. Mereka mengangkut hasil bumi, seperti gula dan jagung dari Situbondo, tembakau dari Jember, dan kopi dari Bondowoso. Komoditas itu diangkut dari daerah asal dengan kereta api, lalu disimpan di gudang yang berderet di tepi dermaga.
Panarukan bahkan terkenal sejak era Majapahit. Fakta itu termaktub dalam kitab Negarakertagama karya Mpu Prapanca. Raja Hayam Wuruk menjadikan Panarukan-dulu bernama Petukangan-sebagai tempat pertemuan dengan raja-raja dari timur, seperti Madura, Blambangan, dan Bali. "Panarukan memiliki arti penting secara ekonomi dan politik," kata Edy Burhan Arifin, sejarawan di Universitas Jember, Jawa Timur, dua pekan lalu.
Pada masa Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), abad ke-17, Panarukan juga menjadi pelabuhan utama di ujung timur Jawa. Untuk pertahanan, VOC membangun benteng sepanjang 540 meter di sisi barat Sungai Sampean hingga laut Panarukan. Benteng tersebut juga berfungsi sebagai tempat menimbun berbagai komoditas dari Bondowoso dan Jember.
Di masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang memerintah pada 1808-1811, nama Panarukan kian berkibar. Daendels menjadikan Panarukan sebagai ujung De Grote Postweg atau Jalan Raya Pos. Daendels rupanya meyakini betul potensi penting Panarukan sebagai salah satu pusat ekonomi dan pertahanan.
Pembangunan Pelabuhan Panarukan kala itu juga membuka pintu bagi investasi swasta. Maka tumbuhlah di sekitar Panarukan berbagai perkebunan yang menanam komoditas ekspor. Situbondo, misalnya, menjadi sentra perkebunan tebu pemasok bahan baku pabrik gula. Perkebunan kopi terpusat di Bondowoso. Adapun Jember terkenal dengan "emas hijau" alias tembakau.
Pada 1886, Panaroekan Maatchapiij Not Het Drivjen Van Commissi Handel en Prauwen menjadi operator pelabuhan. Ketika itu, Pelabuhan Panarukan sudah dilengkapi dua dermaga untuk kapal ekspor dan perdagangan antarpulau. Dermaga sepanjang 180 meter yang menjorok ke tengah laut memudahkan kapal berukuran besar bersandar. Tak hanya itu. Dermaganya pun memiliki crane untuk bongkar-muat barang. "Di zaman itu, Panarukan sudah tergolong modern," ujar Edy.
Arus pengiriman barang ke pelabuhan pun kian cepat setelah pemerintah Hindia-Belanda membangun jaringan kereta api dari Jember ke Panarukan pada 1897. Dari Stasiun Panarukan, ada jalur trem ke setiap gudang penyimpanan dan dermaga. Kapal-kapal bertonase besar selalu datang setiap pekan. Mereka rutin mengangkut gula, tembakau, kopi, kakao, dan karet asal Jawa ke Jerman dan Belanda. "Pelabuhan benar-benar sibuk 24 jam," Edy menambahkan.
Setelah Indonesia merdeka, Panaroekan Maatchapiij dinasionalisasi menjadi Veem Kertanegara. Lalu, pada 1970, PT Djakarta Lloyd mulai mengelola Pelabuhan Panarukan. Namun justru di bawah kendali perusahaan pelat merah itulah pamor Panarukan memudar. Menurut Edy, itu terjadi karena manajemen PT Djakarta Lloyd amburadul.
Kapal besar semakin jarang berlabuh karena pelabuhan terus mendangkal. Diapit dua sungai besar, yakni Sungai Sampean di sisi utara dan Sungai Klatakan di sisi selatan, Pelabuhan Panarukan secara alamiah memang rawan endapan. Bila musim hujan tiba, kedua sungai itu biasanya membawa material tanah menuju pantai. Nah, seiring dengan keroposnya otoritas pengelola, pelabuhan itu pun tak pernah dikeruk lagi.
Sejak 1972, nama Kabupaten Panarukan diganti menjadi Kabupaten Situbondo. Panarukan pun "mengecil", hanya menjadi nama salah satu kecamatan.
Pelabuhan Panarukan akhirnya benar-benar meredup menjelang 1980-an. Aktivitas ekspor dipindahkan ke Pelabuhan Meneng (sekarang Pelabuhan Tanjung Wangi) di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sedangkan perdagangan antarpulau menyebar ke pelabuhan lain di Situbondo, seperti Pelabuhan Jangkar dan Pelabuhan Kalbut.
Tak lama setelah kegiatan ekspor berhenti, layanan kereta barang ke Panarukan pun mandek. PT Kereta Api Indonesia memang pernah menyisakan layanan kereta penumpang. Namun, pada 2004, jalur kereta Jember-Panarukan itu tutup total karena sepi penumpang.
Kini, tak mudah menemukan jejak bahwa Pelabuhan Panarukan pernah menjadi pelabuhan internasional. Lahan pergudangan di pelabuhan itu telah lama berubah menjadi permukiman padat. Sekeliling pelabuhan terlihat kumuh. Tumpukan papan kayu bekas perahu teronggok di setiap sudutnya. Sampah pun berserak di mana-mana.
Menurut Bupati Situbondo Dadang Wigiarto, pemerintah tengah berusaha merevitalisasi Pelabuhan Panarukan untuk mengembalikan masa kejayaannya. Sejak 2008, misalnya, pemerintah menggelontorkan lebih dari Rp 12 miliar. Uang itu untuk membangun dermaga baru sepanjang 177 meter dan selebar 10 meter di sisi barat pelabuhan lama.
Pemerintah akan menata ulang kawasan pelabuhan dan melengkapinya dengan berbagai fasilitas, seperti pergudangan, tempat parkir, dan perkantoran. Upaya revitalisasi itu, menurut Dadang, berbarengan dengan rencana pembukaan kembali jalur kereta rute Jember-Panarukan. "Target kami, pada 2020, pelabuhan baru bisa beroperasi," ujar Dadang.
Jika revitalisasi berjalan sesuai dengan rencana, Dadang optimistis Pelabuhan Panarukan tak bakal menjadi proyek mercusuar semata. Pembangunan kembali di ujung Jalan Raya Pos itu pun dia yakini bakal membangkitkan perekonomian Situbondo, yang dalam lima tahun terakhir menyandang predikat kabupaten tertinggal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo