Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kain Mbojo, tenun tradisional yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Bima, dikenal karena motifnya yang cenderung bernapas Islami. Seperti motif Kubah Masjid, Wunta Aruna, yang melambangkan 99 sifat Allah. "Kalau dulu, ada motif burung atau kucing. Tapi sekarang tidak boleh, karenatidak bisa dipakai untuk salat," kata pengusaha tenun Bima, Sumbawa, Siti Sundari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Umi Ndari-sapaan akrab Siti Sundari-menuturkan bahwa kain Mbojo sebenarnya bisa dipakai untuk banyak hal, seperti baju, syal, selendang, topi, sarung, ikat kepala, dan ikat pinggang. Selain sebagai komoditas, kain Mbojo menjadi saksi sejarah kerajaan Islam di Bima. Pada era kesultanan sebelum 1960, kain ini sempat menjadi pakaian wajib bagi perempuan di Bima.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Budayawan Bima, Alan Malingi, mengatakan sejakzaman kerajaan dulu, perempuan harus bisa menenun. Berdasarkan ketentuan adat, setiap perempuan yang memasuki usia remaja mesti terampil melakukan muna ro medi. Perintah adat tersebut wajib dipatuhi seluruh perempuan Mbojo hingga 1960-an.
Saat menenun, ada kebiasaan yang dilakukan para perempuan penenun umumnya, yaitu menggunakan kain di kepalanya membentuk balutan semacam hijab dengan kain tenun Mbojo yang dinamakan rimpu. Jenis rimpu yang digunakan untuk perempuan yang sudah menikah berbeda dengan yang belum menikah. Rimpu ini dulunya juga wajib dikenakan oleh perempuan jika hendak ke luar rumah.
Aturan ini diyakini mengacu pada zaman ketika kerajaan Islam berjaya di Bima (1640). Kejayaan Islam memberi pengaruh pula pada corak dan motif tenun yang berkembang. Pada masa tersebut, terjadi pembatasan jenis motif yang boleh dibuat penenun. Penenun tidak boleh membuat motif hewan, karena bertentangan dengan ajaran agama. Akibatnya, motif-motif tumbuhan berkembang pesat, seperti Kakando, Bunga Satako, dan Bunga Samobo.
Menurut Alan, kejayaan muna ro medi mulai pupus sejak sekitar 1960-an. Saat itu, kegiatan muna ro medi mulai ditinggalkan oleh para perempuan Bima. Apresiasi terhadap hasil tenun Mbojo, seperti Tembe, Sambolo, dan Weri, kian berkurang. Dalam kesehariannya, jumlah masyarakat yang memakai Tembe, Sambolo, dan Weri terus merosot.
Salah satu perempuan penenun Mbojo yang masih setia dengan muna ro medi adalah Jumiari. Perempuan berusia 22 tahun ini sudah menenun Mbojo sejak berusia 7 tahun. Jumiari berasal dari Kampung Ntobo, salah satu sentra tenun Mbojo yang masih hidup hingga saat ini. "Permintaan sekarangbanyak motif kubah masjidatauasma Allah," kata dia.
Tenun bernapas Islami tak cuma tenun Mbojo. Ada tenun Troso yang namanya sama dengan nama daerah tenun itu berasal, Desa Troso, Jepara. Warga setempat meyakini tenun ini sebagai media dakwah penyebar agama Islam bagi warga sekitar. Mereka meyakini kain ini dikenalkan oleh Ki dan Nyi Senu pada 1700-an yang mengawali peradaban Islam di Desa Troso. Meski demikian, tak ada bukti tertulis yang bisa membuktikan hal tersebut.
Ketua Paguyuban Perajin Troso Jepara, Abdul Jamal, mengatakan Dusun Troso sendiri terdiri atas empat dukuh, yang memberi corak khas bagi tenunan tersebut. Dukuh Kedawung memiliki tradisi warna hijau-kuning dan ciri khas corak anyaman bambu dan caping gunung. Dukuh Belik Boyolali memiliki ciri khas warna biru dengan corak pohon dan dedaunan.
Ada pula Dukuh Seicengkir yang memiliki corak pohon nimang berwarna merah. Mitos yang berkembang, warga yang tersandung akar pohon tersebut akan mengalami kegagalan karier. Tuah pohon nimang ini membuatnya diabadikan menjadi motif khas Seicengkir.
Terakhir, ada Dukuh Ampel yang identik dengan tradisi warna hitam yang melambangkan ladang pertanian. Dukuh ini juga merupakan cikal-bakal penyiaran agama Islam yang dilakukan Datuk Singorojo pada 1600-an.
Sejarawan asal Jepara, Hadi Priyanto, mengatakan jika warga sekitar meyakini Ni dan Ki Senu sebagai orang yang membawa tenun pertama kali, klaim tenun Troso sebagai media dakwah bisa saja benar. "Jika dilihat tahun kedatangan saat 1700, hal itu juga masih berkaitan dengan Datuk Singorojo alias Ida Gurnandhi. Diduga, Ni Senu dulu merupakan istri kedua dari Datuk Singorojo," kata Hadi.
Datuk Singorojo sempat membangun masjid bernama Datuk Ampel di Desa Troso, yang memiliki 12 pilar dengan empat pilar utama yang terbuat dari kayu jati yang dipotong. Ida Gurnandhi sendiri merupakan pendatang dari Singaraja, Bali. Tenun yang dibawa oleh Ki dan Ni Senu diyakini sebagai tenun polosan, belum memiliki warna dan corak khusus.
Kehadiran R.A. Kartini membuat motif tenun Troso berkembang hingga saat ini. Pada 1899, Kartini mengirim berbagai produk asal Jepara ke Belanda, salah satunya adalah Drigin, lembaran kain yang diyakini sebagai cikal-bakal terinspirasinya motif Troso yang kini berkembang. Salah satunya adalah motif Gapuro Mantingan, yang jadi ciri khas Troso saat ini.
Namun tenun Troso kini terancam musnah karena penurunan minat masyarakat menjadi perajin, setidaknya dalam lima tahun ke depan. Di rumah produksi miliknya, Tenun Ikat Limo, Jamal semula mengoperasikan 96 alat tenun bukan mesin (ATBM), tapi kini ia hanya dapat mengoperasikan 63 ATBM. "Usul untuk mengadakan kurikulum Troso ditolak oleh Dinas Pendidikan karena dianggap sangat lokal. Berbeda dengan ukir kayu, tata boga, atau tata busana," kata dia. AKHYAR M NUR | FITRIA RAHMAWATI | DINI PRAMITA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo