Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIKETIK dalam format Microsoft Word, dokumen tujuh lembar itu memuat catatan transaksi mencurigakan sembilan perwira menengah dan tinggi Kepolisian. Data aitu disalin dari lima lembar laporan transaksi berbentuk tabel di rekening mereka sepanjang 2004-2009. Isi rekening tersebut bervariasi, dari Rp 1 miliar sampai Rp 54 miliar. Dikategorikan mencurigakan karena penghasilan mereka tak sampai Rp 10 juta per bulan.
Dokumen ini sampai ke tangan redaksi Tempo pada pertengahan Mei 2010. Data yang ada di dokumen itu lalu diketik ulang untuk menghapus jejak dokumen yang tergolong rahasia tersebut. Setri Yasra, Redaktur Nasional Majalah Tempo, ditunjuk memimpin tim Laporan Utama dan menggarap temuan ini.
Berbekal data itu, tim Laporan Utama bergerak menemui Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Jenderal Ito Sumardi. Ito bersedia ditemui pada 25 Juni 2010. Dia dipilih menjadi narasumber karena sebelumnya Tempo mendapatkan informasi bahwa Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan telah mengirim laporan transaksi mencurigakan belasan perwira polisi ke Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri pada 26 Maret 2010.
Pertengahan Mei, Bambang memerintahkan Ito memimpin penyelidikan internal rekening ini. Penyelidikan internal, menurut seorang petinggi kepolisian, digelar karena dokumen itu juga disebut-sebut sudah beredar ke tangan para perwira polisi dan menjadi bahan gunjingan di Trunojoyo, Markas Besar Polri. Musabab lain, Kepolisian gerah karena Indonesia Corruption Watch melansir ke media ihwal kepemilikan rekening mencurigakan seorang jenderal polisi berisi duit sebesar Rp 95 miliar.
Ito juga menjadi salah satu harapan Tempo untuk "membunyikan" data tersebut. Sampai Jumat itu, belum ada satu pun narasumber yang membenarkan secara terbuka data transaksi tersebut. Sejumlah pejabat negara yang lembaganya berurusan dengan dokumen tersebut memang membenarkan data itu sahih. Tapi mereka meminta nama dan instansinya tidak dikutip dalam tulisan.
PPATK sebagai lembaga penelisik rekening mencurigakan memilih menolak berkomentar. "Saya tidak bisa memberikan konfirmasi karena itu kewenangan penyidik," kata Natsir Kongah, juru bicara PPATK ketika itu. Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adnan Pandu Praja, malah terbelalak melihat data itu. "Ini harus diusut," ujar Adnan, yang mengaku lembaganya tak menerima laporan itu.
Hari wawancara dengan Ito pun tiba. Tiga wartawan Kompartemen Nasional diterima di ruangan Ito di lantai 1 kantor Bareskrim, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan. Selain Setri, ada Budi Setyarso, redaktur pelaksana, dan Wahyu Dhyatmika, redaktur. Selama wawancara, pria yang kini menjabat Duta Besar Myanmar itu didampingi wakilnya, Inspektur Jenderal Dikdik Mulyana.
Disuguhi teh hangat, Tempo memulai wawancara dengan menunjukkan dokumen hasil ketik ulang transaksi janggal para perwira polisi. Ito mengatakan nama perwira yang disorongkan termasuk dalam daftar 21 perwira pemilik rekening mencurigakan. Ia secara tidak langsung membenarkan data tersebut. Jawaban lugas justru datang dari Dikdik yang dilontarkan seolah-olah mengingatkan atasannya. "Data itu sama seperti yang kita terima, Pak (Ito)," katanya.
Ito mengakui ia diminta Bambang Hendarso memimpin penyelidikan internal kasus itu. Sembari tertawa, Ito mengatakan alasan penunjukan itu. "Karena kami tidak termasuk dalam daftar nama yang dicurigai," ujarnya. Dikdik menimpali, "Barangkali belum...."
Hasil wawancara Ito kemudian dibawa ke rapat kecil redaksi majalah hari itu juga. Rapat meminta tim Laporan Utama menelusuri jejak kekayaan mereka dan mengkonfirmasinya kepada semua perwira yang namanya tercatat dalam dokumen tersebut. Sejumlah koresponden di daerah dilibatkan karena sebagian dari para perwira saat itu sedang bertugas di daerah.
Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, misalnya. Saat itu Yulian menjadi Kepala Korps Brigade Mobil. Ia menempati rumah di atas tanah seribu meter persegi di Perumahan Areman Baru, Cimanggis, Depok. Ketika Tempo melongok rumah itu, dua Toyota Alphard dan satu sedan Toyota Camry terparkir di halaman rumah.
Menurut data transaksi di rekening Yulian Wenas, ketika menjabat Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Timur, Agustus 2005, ada duit Rp 10 miliar mengalir dari rekeningnya ke rekening sebuah perusahaan. Yulian membantah hal ini. "Dana itu bukan milik saya," katanya.
Setelah pengecekan kekayaan para perwira polisi dilakukan dan semua konfirmasi terpenuhi, rapat kecil memutuskan laporan rekening perwira polisi bisa diterbitkan pada Senin pekan berikutnya atau edisi 28 Juni-4 Juli 2010. Momentumnya juga dianggap tepat karena majalah edisi itu terbit tiga hari menjelang ulang tahun Kepolisian yang ke-64.
Ilustrasi sampul depan diputuskan gambar seorang perwira polisi tengah menuntun tiga celengan babi yang diikat tali mirip police line. Judul akhirnya disepakati, "Rekening Gendut Perwira Polisi". Menurut Arif Zulkifli, Redaktur Eksekutif Majalah Tempo saat itu, redaksi punya alasan memilih ilustrasi celengan babi untuk menggambarkan rekening tambun polisi. "Karena bahasa Inggris celengan itu piggy bank dan biasanya berwarna pink," ujar Arif, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Majalah Tempo.
LALU lintas duit di rekening Budi Gunawan diulas lebih khusus. Selain nilai transaksinya paling besar dibanding perwira lain, yakni Rp 54 miliar, Tempo mengantongi data pendukung asal-usul aliran dana ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu.
Jumat setelah wawancara dengan Ito Sumardi, Wahyu Dhyatmika menyempatkan diri datang ke ruangan Budi untuk meminta konfirmasi. Awalnya ia diterima dengan baik oleh seorang ajudan perempuan dan meminta Komang—begitu Wahyu biasa disapa—menunggu. Saat sang ajudan melapor ke Budi, datang ajudan perempuan lain. Setelah tahu keperluan Komang untuk mewawancarai bosnya, polisi perempuan ini langsung mengusirnya.
Namun Komang tidak menyerah. Ia menunggu di luar ruangan. Komang meyakini Budi akan melewati tempat itu untuk beribadah salat Jumat di masjid Markas Besar Polri. Keyakinan Komang pun terbukti. "Saat ia keluar, saya langsung menempelnya," katanya.
Sambil mengikuti Budi yang terus berjalan menuju masjid, Komang melontarkan semua pertanyaan seputar rekening mencurigakan jenderal bintang dua itu. Selain menanyakan soal nilainya, Komang melontarkan pertanyaan kepada Budi tentang asal-usul duit di rekeningnya.
Di antaranya duit yang berasal dari PT Masindo Lintas Pratama, pengembang Apartemen Tamansari Semanggi, Jakarta. Menurut dokumen yang diperoleh Tempo, duit Rp 1,5 miliar itu ditransfer ke rekening Herviano Widyatama, anak Budi Gunawan, pada 2006. Adanya transaksi Rp 10 miliar dari PT Sumber Jaya Indah, perusahaan tambang timah di Bangka, juga ditanyakan ke Budi. Duit itu mengalir ke rekening Budi pada 2007-2008.
Budi Gunawan hanya tersenyum mendengar pertanyaan itu. Alih-alih menjawab pertanyaan, ia malah mengorek Komang tentang asal-usul dokumen itu. Ia juga menuding Tempo diperalat kelompok tertentu yang ingin mencemarkan nama para perwira polisi. Ketika ditanya ulang soal isi rekeningnya, Budi hanya berkomentar pendek. "Nanti saja, ya," ujar pria yang pada 2006 menjabat Kepala Biro Pembinaan Karyawan Kepolisian itu.
Sebelum bertemu dengan Budi Gunawan, dalam pekan itu, Komang bertemu dengan orang dekat mantan Kepala Kepolisian Jambi tersebut. Dari hasil riset dan penelusuran Tempo sebelumnya, orang ini memang dekat dengan Budi dan para jenderal polisi. Pertemuan digelar di sebuah restoran di bilangan Tebet, Jakarta Selatan.
Pria yang mengaku diutus Budi itu meminta Tempo tidak menurunkan laporan tentang rekening para perwira polisi. Tanpa mau dikutip namanya, pria ini membenarkan isi rekening Budi dan asal-usulnya. Tapi pria itu mengklaim transaksi tersebut sudah dianggap tak bermasalah oleh polisi karena terbukti duit bisnis anaknya. Seusai pertemuan, orang dekat Budi ini menawarkan telepon seluler BlackBerry kepada Komang. Komang langsung menampik tawaran itu.
Selain melakukan konfirmasi kepada Budi Gunawan dan orang dekatnya, Tempo mengecek perusahaan yang tercatat sebagai pengirim duit. PT Masindo merupakan perusahaan aktif yang membangun Apartemen Tamansari, Semanggi. Perusahaan ini juga terdaftar di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan alamat di kawasan Sudirman, Jakarta. Namun, setelah dicek, alamat sudah pindah. Sumber Jaya juga tercatat di notaris Pangkal Pinang, Bangka Belitung.
Ito Sumardi juga membenarkan ihwal isi rekening Budi Gunawan yang lebih tambun dibanding rekening perwira lain. Karena itu, kata Ito, penyelidikan rekening Budi saat itu menjadi prioritas. "Apalagi datanya juga sudah beredar di masyarakat," ucap Ito.
Ternyata Koalisi Masyarakat Antikorupsi juga memiliki data seperti yang dimiliki Tempo. Hanya, mereka baru melaporkan isi rekening Budi Gunawan ke Komisi Pemberantasan Korupsi sepekan setelah laporan majalah Tempo tentang rekening gendut perwira polisi terbit. "Laporan Tempo ini sangat berpengaruh," kata Tama S. Langkun, anggota Koalisi Masyarakat Antikorupsi yang getol menyuarakan rekening gendut para perwira polisi.
Hampir lima tahun mengusut kasus ini, akhir Januari 2015, KPK menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka. Status Budi inilah yang membuat ia gagal menjadi Kepala Kepolisian RI meskipun Dewan Perwakilan Rakyat sudah menyetujuinya. Kejadian ini kemudian memicu "perang" antara Polri dan KPK atau yang disebut publik sebagai "Cicak Vs Buaya Jilid 2". Tak lama setelah Budi berstatus tersangka, Kepolisian menetapkan dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, sebagai tersangka dalam kasus berbeda.
Komisi antirasuah akhirnya mengalihkan kasus Budi ke Kejaksaan Agung. Namun Kejaksaan Agung menyerahkannya ke Bareskrim. Di lembaga inilah kasus Budi terhenti. Budi Gunawan kini menjadi Wakil Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Borong Dahulu, Molotov Kemudian
Majalah Tempo edisi "Rekening Gendut Perwira Polisi" hilang di pasar. Diborong sekelompok orang sebelum sampai ke pembaca.
AHAD malam, 27 Juni 2010, kantor percetakan Tempo di Jalan Palmerah Barat, Jakarta Selatan, didatangi beberapa orang berbadan tegap dan berambut cepak. Mereka menanyakan majalah Tempo edisi 28 Juni-4 Juli 2010 dengan sampul berjudul "Rekening Gendut Perwira Polisi".
Manajer Sirkulasi Majalah Tempo Yefri Hasan Bisri mengatakan para pria itu datang untuk membeli seluruh majalah yang mengupas aneka transaksi keuangan sejumlah jenderal kepolisian yang dinilai tak wajar tersebut. "Saya jelaskan bahwa seluruh majalah sudah menjadi jatah agen," kata Yefri, akhir Februari lalu.
Sudah ditolak, pria-pria tegap itu tetap tak menyerah. Mereka membujuk Yefri dengan iming-iming untung besar karena majalah akan dibayar lebih tinggi dari harga normal Rp 27 ribu per eksemplar. Namun Yefri bergeming dan mempersilakan mereka langsung mendatangi agen.
Bukannya pulang, sekelompok pria itu ngeyel menunggu di depan gerbang Tempo hingga Senin dinihari. Saat mobil agen keluar dari gerbang, mereka bergegas mencegat dan langsung menawar harga seluruh majalah yang dibawa. Beberapa orang lainnya mengikuti mobil Tempo yang akan mengirim ke agen di beberapa wilayah di Jakarta.
Kedatangan pria kekar berambut cepak juga dialami agen di kawasan Harmoni, Jakarta Pusat. Mereka datang sejak pukul 2 dinihari. Duduk di warung yang tak jauh dari lapak, mereka baru mendekat begitu mobil boks bergambar majalah Tempo datang. Mereka membeli seluruh majalah yang ada di sana dengan harga Rp 40 ribu per eksemplar.
"Operasi" memborong majalah Tempo juga terjadi di daerah. Menurut agen di daerah, pemborongnya rata-rata berbadan tegap dan berambut cepak, bahkan ada yang terang-terangan menggunakan mobil operasional polisi. Mereka menyisir semua lapak agen. Kantor biro Tempo di sejumlah daerah tak luput didatangi tamu pria-pria yang juga berbadan tegap.
Ludesnya majalah Tempo membuat orang semakin penasaran. Untuk memenuhi permintaan pembeli, para pengecer bahkan nekat menjual versi fotokopi. Mereka hanya memperbanyak artikel tentang rekening gendut sebanyak delapan halaman, yang dibanderol Rp 5.000-10.000.
Tempo mencetak 120 ribu eksemplar majalah untuk didistribusikan ke seluruh Indonesia. Yefri mendapat kabar seluruh majalah edisi itu ludes di pasar, termasuk di toko-toko buku pada Senin siangnya. Semua agen dan pengecer meminta tambahan pasokan karena masih banyaknya permintaan. "Ini penjualan paling besar dan dramatis," ucapnya.
Meskipun penjualan majalah edisi tersebut cukup memberikan keuntungan dari segi penjualan, bagi Tempo, kata Yefri, sangat percuma karena informasi yang hendak disampaikan tidak sampai ke publik. "Sebagian besar majalah diborong oleh pihak tertentu, tidak terdistribusi seluruhnya ke masyarakat," ujarnya. Tim sirkulasi dan redaksi akhirnya menggelar rapat. Hasilnya, diputuskan majalah dicetak ulang sebanyak 50 ribu eksemplar dan didistribusikan keesokan harinya.
MAJALAH Tempo edisi "Rekening Gendut Perwira Polisi" dianggap kontroversial. Bersampul gambar seorang polisi tengah menarik celengan babi, penerbitan itu diprotes Korps Bhayangkara. Dari Trunojoyo—Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia—surat protes dilayangkan kepada Tempo dua hari setelah majalah terbit. Kepolisian menyangkal mereka ada di balik raibnya majalah Tempo di pasar.
Dalam majalah tersebut, Tempo mengungkap enam perwira polisi yang diduga memiliki transaksi mencurigakan. Mereka adalah Inspektur Jenderal Mathius Salempang, Inspektur Jenderal Sylvanus Yulian Wenas, Inspektur Jenderal Budi Gunawan (kini Wakil Kepala Polri dengan pangkat komisaris jenderal), Inspektur Jenderal Badrodin Haiti (kini Kepala Polri dengan pangkat jenderal), Komisaris Jenderal Susno Duadji, dan Inspektur Jenderal Bambang Suparno.
Wahyu Muryadi, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo saat itu, memastikan Tempo tak memiliki kepentingan apa pun dalam menerbitkan berita tersebut. "Kami menjalankan tugas sesuai dengan undang-undang, memenuhi kebutuhan informasi publik," katanya.
Di tengah proses mediasi antara Tempo dan polisi, peristiwa mengejutkan terjadi sepekan setelah majalah itu terbit. Selasa, 6 Juli 2010, kantor majalah Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, dilempar bom molotov.
Akbar Tri Kurniawan, wartawan Tempo yang saat itu tengah menginap di kantor, mengatakan kejadian bom tersebut begitu cepat. Sekitar pukul 02.40, Akbar—yang berada di lantai 3—tiba-tiba mendengar suara letupan cukup keras.
Awalnya dia tak menggubris, tapi sayup-sayup ada suara keributan bersumber dari area parkir kantor. "Saya melihat dari jendela ada asap cukup tebal," ucapnya. Dari bawah, petugas satuan pengamanan berteriak ada bom.
Kaget bukan kepalang, Akbar langsung membangunkan Dwidjo U. Maksum dan Seno Joko Suyono, dua wartawan yang juga menginap di kantor. Mereka bertiga bergegas ke bawah untuk melihat keadaan. Akbar langsung menanyai para petugas keamanan.
Menurut keterangan petugas keamanan kantor Tempo, bom dilempar dari luar gerbang yang berjarak sekitar 10 meter. Pelakunya dua orang menggunakan jaket warna gelap mengendarai satu sepeda motor bebek.
Setelah mendapatkan informasi sementara, Akbar membuat laporan untuk diunggah ke situs berita Tempointeraktif.com—kini Tempo.co. Pada pagi harinya, berita bom molotov di kantor Tempo ramai diperbincangkan. Berbagai kalangan mengecam aksi tersebut.
Banyak pihak mengaitkan kejadian itu dengan edisi majalah Tempo sepekan sebelumnya yang membahas tentang rekening gendut perwira polisi. Namun ada juga upaya menggiring isu bahwa pelemparan bom molotov dilakukan oleh Tempo sendiri untuk mendongkrak angka penjualan.
Akbar, yang ikut diperiksa polisi terkait dengan kejadian itu, mengaku pernah mendengar soal adanya penggiringan isu tersebut. "Memang ada kabar itu," kata Akbar. "Tapi apa untungnya, wong majalah sudah ludes sepekan sebelumnya."
Hingga kini, siapa pelempar bom molotov ke kantor Tempo tak pernah terungkap. Sedangkan penyelesaian dugaan rekening gendut perwira polisi hanya dilakukan secara internal di Polri. Polisi mengklaim telah melakukan klarifikasi ihwal masalah itu. Namun, sejak edisi itu terbit, istilah rekening gendut langsung melekat pada para petinggi polisi atau pejabat pemerintah yang memiliki kekayaan tak masuk akal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo