Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Thukul dan Sipon

Anjing nyalak
Lampuku padam
Aku nelentang
sendirian

Kepala di bantal
Pikiran menerawang
Membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)

Kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
Aku ini penyair miskin
Tapi kekasihku cinta
Cinta menuntun kami ke masa depan….

DUDUK di meja ruang tamu, Wiji Thukul membacakan puisi berjudul "Catatan Malam" karangannya itu di hadapan tuan rumah, Siti Dyah Sujirah. Malam itu, 24 Februari 1988, Sipon—begitu Siti biasa dipanggil—duduk terpekur, terdiam dengan hati berbunga-bunga. "Kalau kamu perempuan itu, mau atau tidak jadi pacarku?" kata Thukul kepada Sipon. Tak perlu waktu lama bagi Sipon untuk menerima permohonan pria yang baru sebulan dikenalnya itu.

12 Mei 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anjing nyalak
Lampuku padam
Aku nelentang
sendirian

Kepala di bantal
Pikiran menerawang
Membayang pernikahan
(pacarku buruh harganya tak lebih dua ratus rupiah per jam)

Kukibaskan pikiran tadi dalam gelap makin pekat
Aku ini penyair miskin
Tapi kekasihku cinta
Cinta menuntun kami ke masa depan….

DUDUK di meja ruang tamu, Wiji Thukul membacakan puisi berjudul "Catatan Malam" karangannya itu di hadapan tuan rumah, Siti Dyah Sujirah. Malam itu, 24 Februari 1988, Sipon—begitu Siti biasa dipanggil—duduk terpekur, terdiam dengan hati berbunga-bunga. "Kalau kamu perempuan itu, mau atau tidak jadi pacarku?" kata Thukul kepada Sipon. Tak perlu waktu lama bagi Sipon untuk menerima permohonan pria yang baru sebulan dikenalnya itu.

Sebulan sebelumnya, mereka bertemu dengan cara yang sangat tak biasa. Kala itu, Sipon sedang mengevakuasi tetangganya yang sedang kebanjiran di Kampung Jagalan, Solo. Dia melihat sosok Thukul yang dianggapnya aneh karena bukannya ikut membantu evakuasi, malah petantang-petenteng dengan kamera dan sibuk memotret para korban. Kesal, Sipon menghardik Thukul agar ikut menolong.

Sipon sama sekali tak mengenal siapa pria "aneh" tersebut. Hingga beberapa hari kemudian, dia kembali melihat Thukul sedang berlatih teater bersama Lawu Warta Cempe Wisesa, pendiri Sarang Teater Jagat, yang tak jauh dari kediaman Sipon di Jagalan. Dalam latihan itu, Thukul memerankan seorang raja. Berulang kali Lawu memintanya mengulang dialog, "Akulah raja!" Dasar cadel, Thukul tak bisa mengucap huruf "R". "Akulah laja!" katanya.

Meski begitu, Lawu terus memaksa Thukul mengulang kalimat tersebut sekeras dan sejelas mungkin. "Saya sampai kasihan melihatnya," ucap Sipon. Hatinya terenyuh. Sipon lalu menghampiri dan berkenalan dengan Thukul.

Sejak saat itu, Sipon mengenal Thukul ternyata anak tukang becak dari Kampung Sorogenen, Solo, yang bekerja sebagai tukang pelitur kayu di sebuah perusahaan mebel. Selain itu, ia nyambi menjadi wartawan Masakini, media milik Muhammadiyah. Hubungan keduanya semakin akrab. Sipon terpikat pada pemikiran dan gaya bicara Thukul yang pintar berdebat.

Beberapa bulan berpacaran, tiba-tiba Thukul menyampaikan kabar buruk kepada Sipon tentang rencana perjodohannya dengan seorang gadis dari daerah Kebak Kramat, Solo. Thukul pun mengajak Sipon menikah agar tak dijodohkan. Entah benar entah tidak perjodohan tersebut, yang jelas Thukul berhasil mengajak Sipon menikah pada Oktober 1988. Ayah Sipon, Atmojuhari, yang semula menolak, akhirnya merestui pernikahan mereka.

Diarak belasan becak, keduanya menikah di Kantor Urusan Agama Jebres, sekitar 1 kilometer dari rumah Sipon. Pementasan kawan-kawan ngamen Thukul dari beberapa daerah, terutama dari Teater Jagat, memeriahkan resepsi pernikahan ini. Namun, sayang, tak ada satu pun foto jepretan Halim H.D., kawan dekat Thukul, yang bisa tercetak. "Fotonya tidak ada yang jadi," kata Sipon. Keduanya tinggal di Desa Kalangan bersama Halim. Setahun kemudian, Sipon melahirkan Fitri Nganthi Wani, disusul Fajar Merah lima tahun kemudian.

Bagi Sipon, Thukul bukan tipe pria romantis. Dia lebih banyak mengajak Sipon berdebat tentang kehidupan rakyat miskin ketimbang "sayang-sayangan". Walau begitu, suaminya tetap pria sederhana yang sangat perhatian terhadap keluarga. Di sela-sela kegiatannya berkesenian, Thukul membantu Sipon, yang juga membuka usaha jasa jahit pakaian.

Arief Budiman, dalam pengantar buku kumpulan puisi Mencari Tanah Lapang (1994), mengungkapkan kebiasaan Thukul membantu Sipon menggunting pola pakaian. "Kami cukup laris," ujar Thukul seperti ditirukan Arief. "Mungkin karena kami penjahit paling murah di kampung itu."

Sebagai suami dan bapak, tingkah polah Thukul kadang-kadang "kocak". Dia sering memasak makanan, tapi melarang keluarganya ikut menyantap hidangan. Suatu ketika, kata Sipon, Thukul baru saja menghabiskan nasi goreng buatannya sendiri ketika si Wani, anak tertuanya, menghampiri. Tiba-tiba Thukul berjingkat ketakutan melihat Wani. "Tuyul!" kata Thukul sambil berlari ke luar rumah. Sipon kebingungan. Dia lantas mengejar Thukul yang bersembunyi di rumah seorang tetangga.

Jawabannya baru diketahui beberapa waktu kemudian. Thukul punya kebiasaan yang tak pernah diketahui Sipon: mencampur masakan dengan jamur tlethong atau jamur yang tumbuh di atas kotoran sapi. Warga menyebutnya mushroom, yang selalu mengakibatkan halusinasi berlebihan bagi penyantapnya. "Sejak saat itu saya larang," ucap Sipon. Dasar kebiasaan, Thukul tetap memasak mushroom di rumah orang tuanya. "Saya tahu karena, setiap pulang dari Sorogenen, omongan dia sudah ngelantur."

***

HIDUP berkeluarga juga tak mengendurkan semangat Thukul untuk ngamen keliling sekaligus menyuarakan penderitaan rakyat lewat puisi-puisinya. Di rumahnya, dia mendirikan Sanggar Suka Banjir. Nama sanggar ini diambil dari kondisi daerah rumah mereka yang kala itu menjadi langganan banjir. Dalam kegiatannya itu, Thukul mulai dekat dengan kalangan aktivis pergerakan dan mendirikan Jaringan Kesenian Rakyat (Jaker). Selanjutnya, pada 1994, Thukul bersama Jaker secara resmi masuk menjadi bagian dari Partai Rakyat Demokratik.

Thukul pun semakin jarang pulang. Pernah suatu ketika dia pulang dengan badan lusuh dan pakaian kumal yang tampak telah berhari-hari tak terkena air. Sipon sama sekali tak mengomel. Dengan sabar dia menyiapkan air hangat untuk Thukul, yang setelah mandi langsung tertidur pulas seperti telah berbulan-bulan tak merebahkan diri.

Semuanya mulai berantakan pada Agustus 1996. Thukul kabur ketika beberapa anggota kepolisian mendatangi rumahnya. Ketika itu, aparat memburu anggota PRD karena partai ini dikatakan terlibat penyerangan markas Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, yang kini dikenal dengan peristiwa 27 Juli.

Dalam pelarian, Thukul harus mencuri kesempatan untuk bertemu dengan Sipon. Paling sering keduanya berjumpa di Pasar Klewer. Setiap bertemu, mereka membikin janji untuk pertemuan selanjutnya. Karena tak bisa bertemu di rumah, keduanya terkadang melepas kangen di Hotel Tunjungan Indah, Sragen. "Kami menginap di sana karena murah," kata Sipon. Di sana Thukul bercerita soal beberapa daerah yang dikunjunginya dan beberapa kali meminta duit kepada sang istri untuk membiayai hidup selama pelarian.

Suatu ketika kegiatan Sipon keluar-masuk hotel murah itu diketahui seorang tetangga. Seketika itu pula kabar Sipon melacur pun merebak. Namun Sipon tidak mengacuhkan fitnah terhadap dirinya. "Mau bagaimana lagi?"

Ketulusan cinta Sipon kembali diuji ketika Thukul menceritakan pelariannya ke Kalimantan. Pada saat yang sama, Thukul menceritakan tentang seorang perempuan yang sedang hamil dan meminta Sipon membuatkan pakaian bayi, dari popok sampai grito. Curiga, Sipon yang penasaran bertanya tentang perempuan hamil tersebut. "Kamu cemburu?" ujar Thukul sembari tertawa.

Sipon menampik pertanyaan sekaligus tudingan dari suaminya tersebut. Dia malah berujar kepada Thukul bahwa ia memahami jika seorang pria lebih susah menahan hasrat seksual ketika jauh dari pasangannya. "Terus kamu menikah di sana dan yang hamil itu istrimu, bukan?" kata Sipon, masih penasaran. "Lha bagaimana lagi, untuk 'beli' tidak punya uang," ujar sang suami.

Hari itu juga Sipon pergi ke Pasar Klewer membeli kain dan malamnya menjahit popok serta grito bayi yang dipesan Thukul. Keesokan harinya mereka bertemu. Thukul pamit pergi lagi. Sipon masih ingat sempat menanyakan jenis kelamin si bayi kepada sang suami, yang tampak berat untuk berangkat. "Dia tidak menjawab," kata Sipon. Kini bertahun-tahun Thukul hilang, Sipon kadang mengingat kejadian itu dan berharap suaminya benar-benar mempunyai seorang anak di Kalimantan. "Dan tinggal di sana, artinya dia masih hidup," ucap Sipon.

Belakangan diketahui Thukul sempat tinggal di Pontianak bersama Martin Siregar, aktivis asal Medan yang juga sempat dikejar pemerintah Orde Baru. Ketika itu, Thukul akrab pula dengan Idawaty, istri Martin yang baru saja melahirkan. Dalam pelariannya, Thukul terus menulis puisi. Salah satunya, sekali lagi, berjudul "Catatan", yang berisi pesan buat istri dan anak-anaknya.

Kalau kelak anak-anak bertanya mengapa dan aku jarang pulang
Katakan Ayahmu tak ingin jadi pahlawan
tapi dipaksa menjadi penjahat
oleh penguasa yang sewenang-wenang....


Kado Wani buat Bapak

DALAM pelarian di Yogyakarta, di sebuah siang pada akhir Desember 1997, Wiji Thukul bertemu dengan istri dan anaknya. Mereka bukan ingin merayakan hari Natal bersama. Rupanya Thukul, yang dikejar-kejar aparat Orde Baru, masih ingat hari kelahiran anaknya.

Anak kedua Thukul, Fajar Merah, lahir pada 22 Desember 1993. Ulang tahun keempat Fajar dirayakan secara sederhana di sebuah tempat. Mereka menyewa sebuah kamar sederhana di salah satu hotel papan bawah selama beberapa malam.

Pada pertemuan terakhir itu, anak pertama Wiji Thukul, Fitri Nganti Wani, masih berusia 8 tahun. Kini Wani dan Fajar telah dewasa. Sudah lebih dari 15 tahun mereka tidak berjumpa dengan bapaknya.

Kini Sipon dan kedua anaknya masih menanti kepastian kabar tentang Wiji Thukul. Di sebuah rumah sederhana di kawasan Jagalan, mereka tinggal bersama melakoni hidup di tengah pujian dan cibiran dari masyarakat. Kini kondisi kedua anak Thukul tentu sudah berubah.

Wani pada saat ini sudah menikah dengan seorang pria asal Donohudan, Boyolali. Dia dikaruniai seorang putri cantik, yang baru saja lahir dua bulan lalu. Mengasuh cucu Wiji Thukul itu menjadi kegiatan baru bagi Sipon di sela-sela kegiatannya menjahit pakaian. "Untuk sementara kuliah Wani berhenti," kata Sipon. Wani tercatat sebagai mahasiswa di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Dia mengambil Jurusan Sastra Indonesia.

Kehidupan keluarga Sipon yang pas-pasan membuat Wani terbiasa hidup mandiri sejak remaja. Dia menekuni bisnis jual-beli kosmetik yang diperdagangkan secara online melalui jejaring media sosial. Bisnis itu masih terus dilakoni hingga saat ini. Sebuah laptop tua dan perangkat modem menemani Wani dalam aktivitas jual-beli online-nya. Di saat senggang, Sipon terkadang menggunakannya untuk sekadar bermain game Zuma demi mengusir kepenatan.

Wani juga menuruni bakat bapaknya dalam dunia sastra. Pada 2009, dia menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul Selepas Bapakku Hilang. Buku itu berisi 74 puisi yang ditulisnya selama delapan tahun. Wani mulai menulis puisi yang diterbitkan dalam buku itu sejak 2000. Artinya, pada saat itu dia masih berusia remaja, sekitar 15 tahun. Dia mulai menulis puisi di usia yang lebih muda ketimbang bapaknya saat pertama kali menulis puisi.

Seperti terlihat dalam judulnya, kumpulan puisi itu berisi curahan perasaan Wani sebagai anak dari orang hilang. Penantian atas kepulangan bapaknya yang hilang tidak tentu rimbanya menjadi tema utama dalam kumpulan puisi tersebut. Salah satunya melalui puisi berjudul "Pulanglah, Pak".

Sedangkan anak kedua Thukul, Fajar Merah, kini juga menjadi seorang seniman. Pemuda berambut gondrong itu memilih mengambil jalur musik. Pekerjaannya sebagai operator di sebuah studio musik cukup mendukung bakatnya. Fajar bisa menggunakan studio itu untuk berkarya setelah pelanggan terakhir pulang.

Pendidikan yang ditempuh Fajar memang mendukung keinginannya menjadi seniman. Dia belajar di Sekolah Menengah Kejuruan 8 Surakarta, yang dulu bernama Sekolah Menengah Karawitan Indonesia.

Dulu Wiji Thukul bersekolah di tempat tersebut. Bernasib sama dengan bapaknya, Fajar berhenti di tengah jalan. Dia memilih menekuni kegiatannya bermusik bersama beberapa temannya dengan mengikuti berbagai parade dan festival musik di Kota Solo dan sekitarnya. Dalam perjalanannya bermusik, Fajar berhasil menggubah sejumlah lagu. Sebagian sudah dia rekam. Kebanyakan lagunya bertema percintaan.

Fajar memang tidak tertarik membuat lagu bertema politik seperti puisi bapaknya. Dia juga tidak tertarik membawakan puisi bapaknya dalam sebuah lagu. "Saya tidak suka disamakan dengan Bapak," katanya. Pemuda berperawakan kurus itu memilih menjadi seniman tanpa dibayangi nama bapaknya.

Ahmad Rafiq

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus