Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TRUK sarat beban melintasi Jembatan Geladak Manyar, Jalan Raya Manyar, di Kecamatan Manyar, sekitar 10 kilometer ke arah barat dari pusat Kota Gresik. Seiring dengan deru mesin truk pembawa tanah urukan yang menggetarkan apa pun di dekatnya itu, jembatan yang menyeberang di atas anak Kali Brantas tersebut ikut bergoyang. Ratusan truk pembawa bahan galian C hilir-mudik di jembatan itu setiap hari. Belum lagi sepeda, sepeda motor, mobil pribadi, dan angkutan umum memanfaatkan jalan nasional yang menghubungkan Tuban-Gresik dan termasuk jaringan Jalan Raya Pos itu.
Banyaknya kendaraan berat melintas di Jembatan Geladak Manyar lantaran di sepanjang Jalan Raya Pos antara Kecamatan Manyar dan Sedayu itu berderet proyek seperti pembangunan pabrik, pengurukan untuk gudang, dan pelabuhan internasional. Bukan hanya Jembatan Geladak Manyar, Jembatan Tambak Ombo dan Jembatan Sembayat pun bernasib sama. Kondisi jembatan kian memprihatinkan lantaran lapisan aspalnya terkelupas di sana-sini, membuat permukaan jembatan bergelombang.
"Jembatan Sembayat dan Manyar sudah tidak layak sebenarnya. Makanya cuma boleh dilalui truk kecil dan mobil. Bus penumpang yang besar, tronton, dan truk gandeng enggak boleh lewat," ujar laki-laki asal Desa Cangkring, Sembayat, yang hanya mau dipanggil Pak No.
Masyarakat pengguna jalan telah lama mengeluhkan keadaan ini. Namun Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Perhubungan Pemerintah Kabupaten Gresik tidak juga bertindak lantaran menganggap jembatan ini merupakan kewenangan Balai Pembangunan Jalan Nasional V. Jika tidak segera diperbaiki dan tidak dilakukan pembatasan kendaraan yang boleh melintas, bukan tak mungkin jembatan sepanjang 50 meter itu akan ambrol.
Padahal Jembatan Manyar, yang dibangun ulang dengan struktur dari baja pada 1988, memiliki nilai sejarah. Sejarah itu berhubungan dengan asal-usul nama Geladak dan sejarah pembangunan Jalan Raya Pos yang yang digagas Gubernur Jenderal Hindia Belanda Marsekal Herman Willem Daendels pada 1808. Menurut budayawan dan pengamat sejarah Gresik, Kris Aji, masyarakat Gresik di sekitar Kecamatan Manyar sangat familiar dengan istilah "geladak".
"Kata 'geladak' merujuk pada permukaan susunan kayu berjajar yang tak rata. Seperti ketika Daendels meminta ratusan penduduk berjajar memegang balok kayu," ucap Ketua Masyarakat Pecinta Sejarah dan Budaya Gresik (Mataseger) ini.
Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada November 1808, ketika Daendels mengadakan inspeksi. Betapa terkejutnya ia melihat jembatan belum rampung. Dengan murka, Daendels memerintahkan bupati mengumpulkan warga di sekitar lokasi. Sebagai hukuman, para penduduk disuruh berbaris berhadapan di ruas jembatan yang belum jadi. Tiap orang memegang balok membentuk geladak. Begitu jembatan bertiang manusia itu jadi, Daendels menaiki kereta kudanya dan dengan pongahnya melintas.
Kejadian itu dicatat dalam buku Grissee Tempo Doeloe yang ditulis Dukut Imam Widodo. Menurut Dukut, metode hukuman seperti itu lazim diterapkan Daendels. Dukut mengatakan Daendels biasa memaksa bupati atau pejabat setempat menyetor ratusan penduduknya untuk menjadi tiang pancang hidup. "Setiap kali Daendels melakukan inspeksi dan jembatan belum jadi, ia pasti memerintahkan untuk membikin tiang pancang dari manusia itu. Tidak hanya di Gresik," ujarnya.
DI Gresik, Daendels tak hanya membangun jalan "trans Jawa" pertama, tapi juga benteng pertahanan. Sebuah benteng bernama Fort Lodewijk ikut disegerakan dibangun Daendels untuk berjaga serta mengawasi wilayah Surabaya dan Madura. "Tujuannya untuk mengantisipasi serangan tentara Inggris dari wilayah timur," kata Kris Aji.
Nama Lodewijk dipakai sebagai nama benteng, menurut Kris Aji, sebagai penghormatan terhadap Louis Bonaparte alias Lodewijk. Lodewijk diangkat sebagai pengganti Raja Belanda saat Prancis menjajah Belanda, 1806-1810. Benteng itu, kata Kris Aji, termasuk benteng terbesar yang dibangun di Jawa. Letaknya cukup jauh dari pusat kota, berada di Tanjung Widoro, Mengare, Gresik, yang menjorok ke laut. Posisinya memungkinkan pengawasan lebih mudah ke arah Pulau Madura dan pesisir di sebelah timur Gresik.
Sebelumnya, pada 1806, armada kecil Inggris di bawah Laksamana Edward Pellew muncul di Gresik. Setelah blokade singkat, pemimpin militer Belanda, Frederic von Franquemont, memutuskan tidak mau menyerah kepada Pellew. Ultimatum Pellew untuk mendarat di Surabaya tidak terwujud. Tapi, sebelum meninggalkan Jawa, Pellew menuntut Belanda agar membongkar semua pertahanan meriam di Gresik, dan dikabulkan.
Daendels menyadari bahwa kekuatan Prancis-Belanda yang ada di Jawa tidak akan mampu menghadapi kekuatan armada Inggris. Maka ia pun melaksanakan tugasnya dengan segera. Ia membangun sejumlah rumah sakit dan tangsi militer baru. Tentara Belanda diisinya dengan orang-orang pribumi.
Di Semarang, Daendels membangun pabrik meriam dan mendirikan sekolah militer di Batavia. Kastil di Batavia dia hancurkan dan diganti dengan benteng di Meester Cornelis (kini Jatinegara).
"Di Gresik, dibangunlah Benteng Lodewijk, yang bentuknya mirip Fort Oranje di Brasil," ucap Kris Aji.
Kondisi benteng itu kini memprihatinkan. Letaknya di ujung sebuah endapan lumpur yang menjorok ke arah Selat Madura sejauh 1.280 meter. Di sebelah selatan benteng mengalir Sungai Cemara dan di timur terbentang Selat Kamal. Menurut data Balai Arkeologi Yogyakarta tahun 2007, Benteng Lodewijk berbentuk empat persegi panjang. Bastion (bangunan pertahanan) tersisa di sudut barat laut dan barat daya, sedangkan yang di sudut timur laut dan tenggara hilang terkena abrasi. Saat Tempo mengunjungi lokasi situs itu, bagian tengahnya tertutup rimbunan pohon.
Peninggalan lain Daendels adalah Desa Bedilan, yang disebut pernah menjadi sentra industri senjata. Kris Aji menyebutkan Daendels membangun pabrik senjata (bedhil) dan gudang senjata di situ karena berdekatan dengan kawasan produksi kuningan. "Di Bedilan pula berdiri tangsi Belanda yang dihuni londho ireng alias bangsa sendiri yang menjadi tentara Belanda," kata Kris Aji. Namun sejarawan Gresik, Oemar Zainuddin, mengatakan sebutan bedhilan tak ada kaitannya dengan industri kuningan ataupun pabrik senjata.
Oemar Zainuddin adalah keturunan pengusaha penyamakan kulit sukses pada abad ke-19, H Oemar Akhmad, yang mempelopori industri kulit keluarga di Kampung Kemasan. Sempat berjaya pada 1896-1916, menurut Oemar Zainuddin, yang menulis buku Kota Gresik 1896-1916: Sejarah Sosial Budaya dan Ekonomi, pabrik keluarganya itu memasok kulit ke 24 kabupaten/kota di Jawa. Bisnisnya surup pada 1940-an, ketika kulit imitasi dari Belanda dan Cina menyerbu pasar. "Karena harganya lebih murah dan pengolahannya lebih mudah." Soal bedhilan?
"Di sana memang ada makam londho," ujar Oemar Zainuddin. "Tapi, menurut saya, di sana mungkin hanya tempat berlatih menembak tentara Belanda." Seperti apa pun riwayatnya, ada jejak Daendels di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo