Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kesiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi kerap dipertanyakan.
Laboratorium kewalahan mengetes ribuan spesimen yang masuk hingga menumpuk.
Ego sektoral antar kementerian menyebabkan kebijakan menghadapi pandemi tumpang-tindih.
Guyonan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. yang menganalogikan penyakit Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dengan seorang istri menjadi penggenap aneka peristiwa “keseleo lidah” para pejabat selama tiga bulan menangani pandemi.
Sama seperti banyak pernyataan petinggi perihal Covid sebelumnya, guyonan Mahfud itu panen kecaman. Selain tidak sensitif gender, pernyataan yang dilontarkan dalam silaturahmi virtual dengan sivitas akademika Universitas Sebelas Maret, Selasa pekan lalu, itu dianggap sebagai pengakuan atas kekalahan pemerintah melawan Covid.
"Mahfud secara gamblang mengakui pemerintah gagal mengendalikan corona, sehingga satu-satunya pilihan adalah menerima untuk hidup dengan virus tersebut," kata Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nisa Yura.
Sejak virus corona pertama kali menyebar di Cina dan meluas ke seluruh dunia pada Januari lalu, kesiapan pemerintah dalam menghadapi pandemi kerap dipertanyakan. Sebelum mengumumkan dua kasus pertama positif Covid-19, pemerintah berkeras wabah Covid-19 tak akan mampir di Indonesia. Wakil Presiden Ma'ruf Amin mengatakan corona bisa dicegah dengan doa.
Nihil kasus positif selama dua bulan di negara seluas Indonesia, publik lantas bertanya-tanya ihwal kemampuan pemerintah mendeteksi virus. Keraguan menjadi nyata tatkala pada 2 Maret lalu pemerintah mengumumkan kasus pertama. Itu pun setelah sang pasien berinisiatif meminta diuji usap lantaran pernah berkontak dengan pasien positif. Tiga bulan setelah itu, virus ini sudah menjangkiti 26.940 orang dan menewaskan 1.641 pasien.
Sumber Tempo yang mengetahui penanganan Covid-19 mengatakan fasilitas laboratorium di Indonesia pada masa awal masuknya wabah sebenarnya sangat bagus. Sayangnya, laboratorium yang bisa memeriksa sampel virus corona hanya satu, yakni milik Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan. Selain itu, jumlah sampel yang diperiksa sangat sedikit dibanding jumlah penduduk serta luas wilayah Tanah Air.
"Akhirnya Indonesia terlambat. Kalau kasus ketahuan seminggu atau dua minggu saja (lebih cepat), hasil lonjakan kasusnya akan beda," kata dia.
Kegagapan pemerintah kembali terlihat saat memasuki fase pengendalian virus. Tenaga kesehatan di berbagai daerah berteriak meminta alat pelindung diri. Laboratorium kewalahan mengetes ribuan spesimen yang masuk. Spesimen pun menumpuk dan menyebabkan antrean hingga dua pekan. Pakar kesehatan menganggap kurva penambahan kasus yang diumumkan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bukan merupakan kurva epidemiologi lantaran tidak mengacu pada tanggal uji usap.
Kekacauan dalam penanganan Covid-19 makin terlihat ketika pemerintah berupaya memperbanyak jumlah sampel yang dites. Demi memenuhi target 10 ribu pengujian per hari, pemerintah buru-buru mengimpor ratusan ribu alat tes cepat. Belakangan, alat tersebut tidak menunjukkan hasil yang akurat dan pemerintah kini beralih memperbanyak tes polymerase chain reaction (PCR).
Selain impor alat tes yang tidak efektif, pemerintah tergesa-gesa mengimpor jutaan klorokuin--obat malaria--yang masih dalam tahap pengujian untuk mengobati Covid-19. Pekan lalu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) meminta pemerintah menghentikan penggunaan klorokuin bagi pengobatan Covid-19 karena menyebabkan efek samping. "Sepertinya pemerintah tidak tahu apa yang harus dilakukan," kata pakar epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Pandu Riono.
Ia juga menilai ada ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah cenderung bergerak sendiri-sendiri dalam menekan angka penularan. Pemerintah Kota Tegal, misalnya, berinisiatif menutup total wilayahnya pada akhir Maret lalu. Tak lama kemudian, pemerintah pusat menetapkan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
Dua pekan berselang, Presiden Joko Widodo menetapkan Covid-19 sebagai bencana nasional. Bantuan sosial mulai digelontorkan. Masalah baru muncul: tumpang-tindih data penerima bantuan yang berujung pada banyaknya salah sasaran.
Pandu mengatakan masalah utama pemerintah dalam menangani Covid-19 adalah ego sektoral antar-kementerian dan lembaga. Akibatnya, banyak kebijakan pemerintah yang tumpang-tindih. Dia mencontohkan, Jokowi melarang masyarakat mudik selama masa Lebaran. Di sisi lain, Kementerian Perhubungan membuka kembali seluruh transportasi umum dengan syarat yang mudah diterobos.
Belum sukses menekan pertambahan kasus harian, pemerintah kini sudah berancang-ancang melonggarkan pembatasan sosial. Protokol kesehatan untuk menjalani kehidupan normal baru pun disiapkan. Rencana ini kembali memantik pro-kontra lantaran Indonesia belum memenuhi syarat yang ditentukan WHO untuk melakukan pelonggaran kegiatan sosial-ekonomi.
Berdasarkan panduan WHO, ada tiga poin yang harus dipenuhi satu wilayah untuk bisa menerapkan relaksasi, yakni pemerintah setempat bisa membuktikan bahwa penularan Covid-19 sudah terkendali, fasilitas kesehatan siap menampung lonjakan jumlah pasien, dan pelayanan kesehatan mampu memperbanyak pelacakan kontak pasien.
Ketua Dewan Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, secara parsial, Indonesia sudah siap melakukan pelonggaran atau dalam istilah pemerintah “adaptasi kebiasaan baru”. Alasannya, ada sejumlah kabupaten/kota yang tidak terkena dampak. Ia pun memastikan pemerintah sudah mampu mengendalikan Covid-19. Salah satu indikaktornya adalah kemampuan tes yang meningkat. Saat ini, kata dia, terdapat 129 laboratorium yang mampu memeriksa spesimen virus.
“Tidak bisa disamakan semua (daerah) secara nasional. Covid-19 ini melihatnya harus parsial, daerah mana yang siap dulu (untuk melakukan pelonggaran),” kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo