Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Tika and The Dissidents<br /><font size=2 color=#FF9900>DI ANTARA MENJAGA KEDAI DAN NINA SIMONE</font>

28 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kedai kopinya yang—kebetulan—dinamai Kedai, sebuah bangunan besar bercat kelabu, merah muda, dan merah di tepi jalan tak jauh dari Kemang, Jakarta Selatan, Tika duduk rileks di salah satu sudut. Suasana di ruang itu hangat dan akrab, seperti di rumah, siapa saja boleh datang sore itu atau di hari-hari lain; beberapa orang duduk mengobrol atau mengetik di laptop. ”Salah satu pekerjaan saya: menjaga tempat ini,” kata Tika.

Salah satu. Sebab, ada profesi lain yang dia tekuni, yang tahun ini memberinya ”begitu banyak berkah”: sebagai penyanyi-penulis lagu. Pilihan karier ini, bagi perempuan kelahiran Jakarta 29 tahun lalu itu, tak akan pernah bisa ditinggalkan. Kata-kata berikut dia ucapkan dengan tekanan: ”Saya tidak bisa hidup tanpa musik.”

Senang menyanyi sejak kecil, Tika (nama panjangnya Kartika Jahja) memutuskan serius bermusik pada 1999, ketika baru masuk kuliah di Art Institute of Seattle, Amerika Serikat. Kini, dengan pengalaman bermusik lintas genre, boleh dibilang dia punya bekal lengkap. ”Dia bisa mengubah-ubah gaya bernyanyinya, sesuai lagu,” kata pengamat musik Denny Sakrie.

Sebagai penyanyi, Tika mengidolakan Nina Simone—walau kemudian dia juga menyimak antara lain Joni Mitchell, Tori Amos, dan Fiona Apple. Dia mengaku tahu bakal menjadi penyanyi seperti apa sejak mendengar Simone. Tika memang mengagumi penyanyi cum aktivis pembela hak-hak sipil dari Amerika itu.

Pada 2005, Tika merilis album berjudul Frozen Love Songs, sebuah ekspresi kegalauan pribadinya. Tapi, bersama The Dissidents, band tetapnya sejak 2006, dia bukan saja melampaui debutnya itu. Lebih jauh, dia bisa mengekspresikan diri seperti Simone, juga Suzanne Vega, yang mempengaruhinya sebagai penulis lirik.

Dengan fase baru itu, dalam lanskap musik Indonesia yang kebanyakan pelakunya cenderung ”main-aman”, dia memang mudah menarik perhatian. Ini sedikit berbeda dari suasana kafenya, juga penampilannya saat menungguinya. Seorang perempuan, di antara tiga lelaki—Susan Agiwitanto (bas), Okky Rahman Oktavian (drum), dan Iga Massardi (gitar)yang mendukungnya sebagai satu band, dengan energi dan bekal warna-warni musik yang meluap, ya, Anda bisa membayangkan apa saja sebagai hasilnya....

Melalui The Headless Songstress, album dengan 12 lagu yang dirilis pada Juli lalu, Tika seperti melakukan lompatan: dia menjelajahi bermacam isu sosial, dengan kendaraan jazz, akapela, balada, tango, waltz, juga blues, tanpa urgensi untuk berteriak, menuding, atau mengutuk. ”Sebetulnya hal-hal ini sudah menjadi perhatian saya sejak sekolah,” katanya. ”Kalau saya mengabaikannya di album pertama, waktu itu saya memang sedang mengalami krisis kehidupan pribadi.” Dia menyebut apa yang dilakukannya kali ini lebih sebagai olok-olok.

Dengarlah, misalnya, Red Red Cabaret, yang merupakan sindiran terhadap gaya hidup selebritas. Dia menyanyikan: All over the news today, my scandalous fabulous pout/Saying ”I swear this is his child”, a little meltdown caught on cam/Add a tragic childhood story, now they love me even more/Ladies and Gentlemen that’s my dress to success.

Lirik memang kekuatan yang penting dalam album Tika and the Dissidents. Tika sendirilah yang menuliskannya. ”Saya hanya seperlima dari seluruh proses album ini, tapi untuk lirik, saya yang bertanggung jawab,” katanya. Di studio, ada dua orang yang membantu sebagai pihak kelima, produser, yakni Iman Fattah dan Nikita Dompas.

Sebagai generasi yang melalui masa remaja pada 1998, dengan bacaan luas (”Bukan bukunya yang penting,” katanya, ”tapi bagaimana semua itu menimbulkan consciousness, membuka kesadaran.”), Tika menaruh minat pada isu-isu gender, seksualitas, kultur pop, bahkan buruh. Itulah yang menyusup ke dalam lirik-liriknya. Dan dia mampu menuliskannya dengan keterampilan sebagaimana yang dia kuasai dalam membuat barang-barang kerajinan, atau merancang desain grafis—profesinya yang lain lagi. Hasilnya bukanlah sesuatu yang klise, sekadar gaduh, apalagi pamflet.

Coba simak kesedihan dalam Waltz Muram: Kudilanda badai rindu oh logika lindungi aku/Beri aku amnesia ku tak mau ingat dia. Atau simbolisasi yang mengagetkan pada Pol Pot, kritik terhadap peran televisi dalam apa yang dia sebut ”pembantaian intelektual”: Pol Pot sighs, Pol Pot says, you’ll be loved and cherished after all/Pol Pot nods, Pol Pot says, the villain is the hero at the click of your finger. ”Waktu itu saya menonton tayangan di TV, yang menjejerkan Soeharto di antara para pahlawan,” Tika bercerita. ”Saya merasa, ’Gila, kenapa bisa jadi pahlawan?’” Dia merasa seperti menyaksikan pembantaian intelektual. ”Saya butuh analogi untuk mewakili fenomena ini. Hitler sudah terlalu klise. Muncul nama Pol Pot.”

Atau juga Mayday. Inilah lagu protes yang merayakan keberadaan buruh, kelompok yang, menurut Tika, jauh lebih banyak warganya ketimbang umat agama yang mana pun. Lagu yang hanya perlu 10 menit proses penulisan ini sangat anthemic, dan menyemangati wajar karena itu jika banyak dari penggemar Tika yang pertama kali mengenalnya lewat lagu ini; aliansi jurnalis dan penulis di Detroit, Amerika, bahkan sampai meminta izin untuk menggunakannya dalam satu aksi protes.

Dengan penataan musik yang rapi, malah ada yang menganggap terlalu rapi, pencapaian The Headless Songstress sebenarnya mengagetkan Tika dan kawan-kawannya. Mereka tak menyangka, misalnya, album yang dikemas dengan buku notes tebal berdesain kolase aneka gambar dan dilengkapi kantong berbahan kain ini bisa terjual hingga 5.000 kopi—jumlah yang besar untuk pasar indie. ”Apresiasinya tak terduga,” kata Tika. ”Demografi pendengarnya luas, tidak hanya komunitas indie, usia pendengarnya juga dari yang muda sampai yang berumur.”

Toh, Tika merasa belum menemukan audiens yang benar-benar pas. Jumlah bukanlah soal baginya. Waktu, barangkali, yang akan menuntunnya ke sana. Sementara itu, yang jelas sudah terjadi, dia kerap tampil dalam kegiatan-kegiatan, dalam istilahnya, ”aktivisme”, dan dia mengaku cocok. Seperti dulu Simone melakukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus