Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Timbunan Masalah di Proyek Utang

Lembaga riset asal Amerika Serikat, AidData, mengungkapkan sebagian proyek yang didanai Cina di Indonesia menimbulkan masalah lingkungan dan kehidupan sosial. Pegiat lingkungan dan investigasi Tempo menguatkan tudingan tersebut.

14 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek yang didanai Cina melalui Belt and Road Initiative dituduh menimbulkan masalah lingkungan.

  • PLTA Batang Toru di Sumatera Utara mengganggu habitat orang utan dan hewan dilindungi lainnya.

  • Pemerintah mengklaim sebagian besar proyek strategis nasional sudah dimodali oleh investor lokal.

JAKARTA – Laporan lembaga riset asal Amerika Serikat, AidData, mengungkapkan sebagian proyek yang didanai Cina di Indonesia melalui program Belt and Road Initiative menimbulkan masalah lingkungan dan kehidupan sosial. Dalam kajian berjudul “Banking on the Belt and Road” yang dirilis bulan lalu, Indonesia dimasukkan ke daftar tujuh negara sasaran pendanaan Cina yang terkena masalah tersebut bersama Papua Nugini, Belarus, Kamboja, Zambia, Pakistan, serta Myanmar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Kami mengidentifikasi proyek-proyek infrastruktur hasil Belt and Road Initiative yang berkaitan dengan kerugian masyarakat lokal,” begitu bunyi laporan tersebut. Dari total 13.427 proyek yang dijalankan Cina di 165 negara selama periode 2000-2017, AidData mendapati kerugian ekosistem pada 14 proyek. Di Indonesia, masalah itu ditemukan pada enam proyek bernilai total US$ 4,65 miliar (sekitar Rp 66,074 triliun).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lembaga yang antara lain didanai oleh USAID itu menyebutkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Sumsel-1 berkapasitas 700 megawatt sebagai salah satu contohnya. Pembangkit yang berada di Desa Tanjung Menang, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, itu pernah diprotes oleh ratusan pekerjanya karena dituding melanggar aturan kesehatan dan keselamatan. Para pekerja pun menagih upah lembur yang tak dibayar.

“Pembangunan pabrik juga menyebabkan banjir dan kerusakan pada perkebunan kelapa sawit di dekatnya,” demikian isi laporan itu. Bukan hanya PLTU Sumsel-1 yang pernah diprotes masyarakat lokal. Sejumlah proyek hasil pendanaan Cina di Sumatera pun sempat dikritik karena menciptakan kerugian lingkungan, seperti PLTU Nagan Raya di Aceh, PLTU Jambi-1, serta PLTU Teluk Sepang di Bengkulu.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Nagan Raya, di Nagan Raya, Aceh, 28 September 2020. ANTARA/Irwansyah Putra.

Manajer Kampanye Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Wahyu Perdana, mengatakan lembaganya telah mengirim surat protes ke Bank of China, donatur proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Batang Toru di Sumatera Utara. Sebab, pembukaan lahan untuk proyek pembangkit listrik berkapasitas 510 megawatt itu mengancam rumah tinggal ratusan orang utan Tapanuli.

“Banyak kerangka aturan perlindungan lingkungan yang ditabrak di situ,” tutur Wahyu kepada Tempo, kemarin. Nilai investasi proyek yang dikelola PT North Sumatera Hydro Energy itu menembus Rp 21 triliun, yang sebagian besar dipakai untuk pengadaan lahan bendungan.

Investigasi majalah Tempo pada 2019 menemukan indikasi kerusakan lingkungan di kawasan PLTA Batang Toru. Sejak awal, pemerintah daerah terkesan mengabaikan dampak buruk proyek itu. Dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) tidak memasukkan dampak pembangunan PLTA terhadap satwa langka. Bukan hanya orang utan yang terancam proyek ini, melainkan juga harimau Sumatera, burung rangkong, dan tenggiling.

Amdal pembangunan PLTA Batang Toru ditengarai cacat hukum. Pasalnya, dokumen amdal itu dibuat tanpa persetujuan salah seorang penyusunnya, Onrizal, dosen di Universitas Sumatera Utara. Amdal tetap keluar karena tanda tangan Onrizal diduga dipalsukan. Dampak sosial proyek listrik itu pun bermasalah. Pembabatan hutan untuk lahan PLTA menyebabkan masyarakat yang bermukim di hilir Sungai Batang Toru kebanjiran.

Berdasarkan catatan Walhi pada April 2019, pemerintah Indonesia mempromosikan 27 proyek senilai total Rp 1.296 triliun yang dapat didanai Cina saat pertemuan Belt and Road Initiative di Beijing. “Ada 13 proyek yang berlokasi di Kalimantan Utara, padahal provinsi itu alamnya masih muda,” kata Wahyu.

Direktur Eksekutif Trend Asia yang sering terlibat dalam koalisi lingkungan, Yuyun Indradi, mengimbuhkan, tak sedikit proyek hasil investasi Cina di Indonesia yang timpang dari segi lingkungan dan sosial. Organisasi yang sering tergabung dalam koalisi lingkungan itu menyoroti lebih dari 20 proyek domestik yang masuk kategori tersebut, salah satunya kereta cepat Jakarta-Bandung. Mayoritas dana proyek kereta cepat dipinjam dari China Development Bank.

“Semakin dibangun, semakin menciptakan jurang terhadap kesejahteraan dan hak masyarakat akan jaminan lingkungan hidup yang sehat,” tutur Yuyun. Proyek sepur berkecepatan 350 kilometer per jam itu diprotes masyarakat karena rentetan masalah di lokasi konstruksi, seperti banjir di Bekasi, kebisingan akibat konstruksi di kompleks permukiman Margawangi di Kota Bandung, serta pencemaran limbah semen di Sungai Cileuleuy, Kabupaten Bandung Barat.

Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan banyak faktor yang membuat pemerintah Indonesia tergiur oleh pinjaman Cina. Selain tenor utang yang panjang, bunganya jauh lebih rendah dibanding yang diberikan negara pemodal lain. “Penilaian proyek tak seketat kreditor kompetitor, misalnya Bank Dunia, yang proposalnya memakan waktu lama. Isu lingkungan dan sosial juga bukan syarat utama pinjaman,” ucap Bhima.

Masih dalam riset yang sama, AidData mengatakan Indonesia terjerat utang tersembunyi atau hidden debt kepada Cina sebesar US$ 17,28 miliar (sekitar Rp 245,7 triliun) atau 1,6 persen dari produk domestik bruto 2000-2017. Tumpukan utang tersebut berkaitan dengan Belt and Road Initiative. Indonesia juga disebut menerima pinjaman senilai US$ 4,42 miliar pada periode yang sama melalui skema official development assistance dan pinjaman senilai US$ 29,96 miliar lewat skema other official flows

Menanggapi riset AidData itu, Kepala Project Management Office Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas, Yudi Adhi Purnama, mengklaim sebagian besar proyek strategis nasional sudah dimodali investor lokal. Dia menyebut hanya sejumlah kecil proyek di bidang energi, seperti pabrik peleburan logam dan pembangkit listrik, yang diperkuat oleh pinjaman asing. “Kami selalu melakukan evaluasi serta membuat skenario exit strategy jika ada proyek yang macet,” katanya.

Sementara itu, Direktur Bendungan dan Danau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Airlangga Mardjono, memastikan hanya 1 dari 61 bendungan dalam program 2014-2024 yang didanai pinjaman asing. Ia mengakui separuh dari biaya pengembangan Bendungan Karian di Banten, termasuk biaya pengadaan lahan, masih mengandalkan pinjaman. “Selalu ada pengawasan dari berbagai lembaga, termasuk inspektorat kami.”

GHOIDA RAHMAH | YOHANES PASKALIS
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus