Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PULUHAN perahu tradisional jukung terparkir di Teluk Padangbai, Kecamatan Manggis, Karangasem, tepat bersebelahan dengan dermaga penghubung Bali dengan Pelabuhan Lembar di Nusa Tenggara Barat. Di kawasan dengan lanskap alam yang indah ini, terdapat tiga pura: Silayukti, Tunjung Sari, dan Telaga Mas. Selain itu, terdapat satu tempat sembahyang di sisi timur area pura, di sebelah tebing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di area itulah, konon, Mpu Kuturan pernah bersemadi. Ia pendeta Hindu yang bertandang ke Bali saat Kerajaan Kahuripan di Jawa Timur dipimpin oleh Raja Airlangga (1009-1042). Kedatangannya dipercaya terkait dengan wabah yang sedang melanda Pulau Dewata. Mpu Kuturan adalah pengikut ajaran suci Batari Ghori, yang di Bali disebut Batari Durga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pandita Mpu Jaya Prema Ananda mengatakan gerubug agung atau wabah di Bali ketika itu ditandai dengan banyaknya orang yang cakbyag atau mati mendadak di tempat. Mpu Kuturan sangat berduka melihatnya. “Ia lalu melakukan tapa semadi memuja Batari Durga agar diberi kekuatan untuk menyembuhkan umat,” ujarnya saat dihubungi, Rabu, 17 Februari lalu.
Benarlah, dari semadi, Mpu Kuturan mendapat petunjuk tentang obat penyembuh gerubug agung itu. Ia lalu menemukan setidaknya 202 tumbuhan di alam Bali sebagai obat mujarab. Tanaman obat itu kemudian dicatat dalam lontar Taru Pramana. Taru berarti tanaman, sementara pramana bermakna mengembalikan jiwa atau penyembuhan. “Di tempat tinggal dan bertapanya kini dibangun pura besar, di dekat Pelabuhan Padangbai, yang dinamai Pura Silayukti,” kata Mpu Jaya Prema.
Sayangnya, catatan soal itu tidak ditemukan di Padangbai. Namun Bendesa atau Kepala Desa Adat Padangbai, Komang Nuriada, mengatakan desanya memiliki peraturan atau awig-awig tentang wabah. Awig-awig itu dibukukan pada 2006. “Sebelumnya hanya berupa tradisi lisan dari leluhur kami,” ucapnya, Rabu, 17 Februari lalu. Dalam aturan itu tertulis imbauan tidak melakukan kegiatan ritual selama terjadi wabah. Bila mesti ada ritual, cukup pengurus desa dan pemangku adat yang menjadi perwakilan. Adapun setelah wabah berakhir, disarankan upacara ritual diadakan di pantai. “Saya menduga ini terkait dengan sejarah wabah yang terjadi pada era Mpu Kuturan.”
Penanganan orang sakit dengan tanaman obat dan jamu juga tergambar dalam relief Candi Borobudur di Jawa Tengah. Titi Surti Nastiti dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional menjelaskan, dalam relief Karmawibhangga seri O 18 tergambar seorang perempuan yang sedang sakit menjadi pusat perhatian. Ada yang memegangi perut, tangan, dan kakinya, menopangnya, serta membawa mangkuk yang mungkin berisi obat.
Obat dari ramuan rempah-rempah dan tumbuhan, yang kerap disebut jamu, dimanfaatkan leluhur sejak zaman dulu. Kata yang paling dekat dengan “jamu” dalam bahasa Jawa Kuno adalah jampi, yang berarti obat atau pengobatan. “Namun apakah kata ‘jamu’ berasal dari jampi, ini harus diteliti lebih lanjut,” tutur Titi. Dulu ramuan obat itu diracik dengan alat tradisional yang disebut pipisan. Alat dari batu ini digunakan untuk menghaluskan bahan-bahan. Ada juga gandik atau batu untuk menggiling. Kedua alat itu sering ditemukan sebagai artefak di situs arkeologi dari masa Hindu-Buddha, seperti di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.
Penggunaan tanaman obat dari bumi Nusantara juga terekam dalam catatan perjalanan bangsa asing pada zaman dulu. Dosen Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Achmad Sunjayadi, dalam esai “Rempah Penangkal Wabah dalam Catatan Perjalanan Bangsa Asing di Nusantara Abad ke-16-19” di buku Menolak Wabah menyebutkan sejumlah daerah yang punya kekhasan rempah.
Hal itu dicatat apoteker dan petualang Portugis, Tome Pires (1465-1540). Pires menyebutkan ihwal Timor yang khas dengan cendananya, Banda sebagai penghasil pala, dan Maluku yang menjadi rumah bagi cengkih. Pada 1563-1611, pedagang dan akuntan asal Belanda, Jan Huygen van Linschoten, menulis buku Itinerario (1596) mengenai perjalanannya. Ia menulis tentang ramuan dari cengkih yang dapat menguatkan jantung dan meredakan sakit kepala.
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Tanaman Obat dan Obat Tradisional Tawangmangu Kementerian Kesehatan menelisik lebih lanjut kekayaan rempah dan tanah obat di Nusantara. Kepala Balitbang Tawangmangu Akhmad Saikhu mengatakan unit pelaksana teknisnya melakukan riset khusus untuk mengeksplorasi pengetahuan mengenai pengobatan dan tumbuhan lokal berbasis komunitas di Indonesia pada 2013, 2015, dan 2017.
Mereka mendatangi sekitar 400 kelompok etnis di Nusantara yang masuk kriteria inklusi, atau memiliki minimal 100 keluarga. Dari situ, Kementerian Kesehatan menggali informasi tentang praktik kesehatan berbasis kearifan lokal, juga ramuan dari tetumbuhan. “Dari situ kami mendapati 32 ribu informasi ramuan. Itu menunjukkan betapa kita sangat kaya akan budaya sekaligus keanekaragaman hayati,” ujar Saikhu saat dihubungi, Kamis, 18 Februari lalu.
Area yang konon menjadi tempat semadi Mpu Kuturan di tebing sebelah timur Pura Silayukti, Padangbai, Bali. Tempo/Made Argawa
Dari wawancara dengan 2.350 penyehat dalam masyarakat adat, Kementerian Kesehatan juga menemukan 47.500 informasi tentang tumbuhan. Berdasarkan data itu, Kementerian, yang dibantu pakar taksonomi tumbuhan, mengidentifikasi tumbuhan tersebut menjadi 2.848 spesies. “Secara empiris, nenek moyang kita sudah menggunakan ramuan jamu dari generasi ke generasi, dan masih dikonsumsi sampai saat ini. Kami pun melakukan saintifikasi jamu untuk membuktikan ramuan itu aman dan berkhasiat,” kata Saikhu.
Hingga 2018, Balitbang Tawangmangu sudah menghasilkan 13 ramuan jamu saintifik untuk penyakit sehari-hari, seperti hipertensi dan osteoartritis. Adapun untuk merespons pandemi saat ini, Balitbang sedang membuat sejumlah kajian tentang jamu dan ramuan masyarakat untuk imunitas pasien Covid-19 kategori ringan dan sedang. Dalam penelitian ini, mereka bekerja sama dengan Rumah Sakit Umum Daerah Bung Karno, Surakarta, Jawa Tengah.
Namun, ihwal pengobatan tradisional terkait dengan Covid-19, Saikhu menyebutkan jamu yang digunakan adalah produksi industri yang sudah lama beredar. “Kami memanfaatkan jamu yang ada karena pastinya, jika terbukti berkhasiat, kita akan memerlukannya dalam jumlah besar, sehingga akan mudah bagi masyarakat untuk mendapatkannya,” ucapnya.
MADE ARGAWA, ISMA SAVITRI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo