Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Program pensiun dini PLTU batu bara memerlukan anggaran US$ 37 miliar.
JETP menjanjikan pembiayaan awal sebesar US$ 20 miliar.
Pengucuran dana tersendat karena negara-negara maju sedang kesulitan keuangan.
JAKARTA – Pembiayaan hingga kini masih menjadi kendala utama dalam percepatan transisi energi di Indonesia. Musababnya, berbagai program peralihan menuju energi bersih membutuhkan biaya jumbo. Misalnya, program pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang diperkirakan memerlukan anggaran US$ 37 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dari mana dana ini? Dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara enggak bisa, dari PLN juga enggak mungkin," ujar pakar ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, kepada Tempo, kemarin. Karena itu, diperlukan sumber pendanaan lain, seperti dari kemitraan atau bantuan negara maju ataupun menggandeng investor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu pembiayaan yang digadang-gadang bakal masuk mendanai transisi energi di Tanah Air adalah Just Energy Transition Partnership (JETP). Dalam Konferensi Tingkat Tinggi G20 di Nusa Dua, Bali, November 2022, kemitraan pendanaan iklim multilateral ini disebut akan memobilisasi pembiayaan awal publik dan swasta sebesar US$ 20 miliar dalam 3-5 tahun ke depan.
Baca juga: Solusi Terjangkau Transisi Energi
Negara dan lembaga yang dikabarkan akan masuk program tersebut antara lain Amerika Serikat, Jepang, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan Climate Investment Funds. Kala itu, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan dana tersebut akan digunakan untuk pengurangan emisi karbon, pengembangan energi terbarukan, dan transfer pengetahuan untuk pengembangan teknologi.
Belakangan, program tersebut dipertanyakan Luhut karena tidak ada kejelasan soal pencairan dana. Menurut dia, tak kunjung cairnya dana senilai sekitar Rp 300 triliun itu disebabkan oleh skema pinjaman yang hingga saat ini belum jelas.
Pasokan batu bara di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 3 Banten Lontar, Tangerang, Banten. Dok. TEMPO/Wisnu Agung Prasetyo
Peluang Pendanaan Selain JETP
Program JETP pertama kali diperkenalkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Perubahan Iklim PBB ke-26 di Glasgow, Skotlandia, 2021. Program ini diinisiasi beberapa negara, antara lain Inggris, Prancis, Jerman, Amerika Serikat, dan Uni Eropa, untuk membantu negara-negara berkembang beralih dari batu bara ke teknologi yang rendah karbon. Afrika Selatan menjadi negara pertama yang menerima program ini.
Selain JETP, program yang diperkenalkan pemerintah untuk membiayai transisi energi adalah Energy Transition Mechanism (ETM). Platform ini diumumkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam rangkaian kegiatan Presidensi G20 Indonesia di Bali pada tahun lalu. Program tersebut juga diharapkan bisa menghimpun investasi dari sektor swasta dan publik, termasuk memobilisasi pembiayaan untuk aksi iklim.
Pemerintah Indonesia pun menunjuk PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebagai ETM Country Platform Manager untuk mengembangkan kerangka kerja pembiayaan dan investasi program ETM. Tahun lalu, Dewan Pengelola Climate Investment Funds telah menyepakati secara prinsip dukungan pendanaan lunak sebesar US$ 500 juta untuk Indonesia. Dana ini diklaim akan menggerakkan lebih dari US$ 4 miliar pembiayaan untuk mempercepat penghentian hingga 2 gigawatt PLTU batu bara.
Di luar program-program tersebut, Indonesia pun sebenarnya memiliki kerja sama bilateral untuk mempercepat transisi energi, misalnya Asia Zero Emissions Community (AZEC) bersama Jepang. Beberapa program yang telah diidentifikasi untuk didukung AZEC antara lain program co-firing dengan amonia atau biomassa, program nuklir, LNG, panas bumi, hingga produksi amonia. Pendanaan bakal disalurkan dari Nippon Export and Investment Insurance (NEXI) dan Japan Bank for International Cooperation (JBIC) kepada PLN.
Indonesia juga memiliki program kemitraan energi dengan Denmark untuk periode 2021-2025. Kemitraan ini berfokus pada pemodelan energi, integrasi energi terbarukan, dan efisiensi energi. Beberapa program kerja sama yang dilaksanakan pemerintah Indonesia dan Denmark antara lain Indonesia-Denmark Partnership Programme (INDODEPP), Sustainable Island Initiatives (SII), dan Friends of Indonesia Renewable Energy (FIRE).
Fahmy mengatakan, sejak adanya Kesepakatan Iklim di Paris (Paris Agreement) 2015, negara-negara maju menyatakan komitmennya untuk membantu negara berkembang dalam melaksanakan transisi energi. Bantuan itu bisa berupa dana, teknologi, ataupun pengembangan kapasitas. Namun realisasi komitmen tersebut masih buram.
Petugas memeriksa instalasi panel surya di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Negara Maju Mengalami Kesulitan Keuangan
Masalahnya, saat ini pun negara maju sedang kesulitan keuangan setelah adanya krisis beruntun, dari Covid-19 hingga konflik geopolitik Rusia-Ukraina. Beberapa negara maju, seperti Amerika Serikat, pun harus berjibaku menyehatkan ekonomi dan keuangan negaranya. Penyebabnya adalah inflasi yang membubung di sana. "Jadi, sulit mengharapkan negara maju," kata Fahmy.
Sumber pendanaan yang masih potensial diakses Indonesia adalah para investor. Fahmy mengatakan pada dasarnya Indonesia memiliki daya tarik berupa sumber daya energi terbarukan yang melimpah serta pasar penduduk yang besar. Masalahnya, hingga saat ini tarif listrik di Tanah Air dianggap masih di bawah harga keekonomian sehingga investor pun masih enggan masuk.
Dalam rangkaian kegiatan pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral ASEAN, akhir Maret lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini banyak investor yang tertarik mendanai proyek transisi energi. Hanya, mereka cuma mau masuk dalam pembangunan energi terbarukan dan masih enggan mendanai program pensiun dini PLTU batu bara. Padahal penutupan PLTU batu bara pun butuh biaya besar.
Karena itu, Indonesia dalam presidensi ASEAN tahun ini mendorong adanya taksonomi keuangan transisi. Menurut dia, pendekatan melalui penyamaan istilah dalam transisi energi menjadi salah satu cara agar lembaga keuangan domestik dan global mau menyalurkan fasilitas pembiayaan ke berbagai kegiatan yang mendukung target nol emisi, termasuk mempensiunkan PLTU batu bara.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menuturkan pasar pembiayaan berkelanjutan di ASEAN masih relatif kecil dibanding pembiayaan konvensional. Karena itu, tantangan ASEAN saat ini adalah memobilisasi pendanaan untuk transisi energi. "Di ASEAN, belum semua negara punya target transisi energi. Sepertinya baru Indonesia, Filipina, dan Vietnam. Itu pun masih harus dituangkan dalam regulasi yang baku," ujarnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Daymas Arangga Radiandra, mengatakan, untuk menarik investasi ke kawasan, Indonesia sebagai Keketuaan ASEAN 2023 perlu menegaskan kembali komitmen meningkatkan bauran energi terbarukan hingga 23 persen di 2025. "Mengenai pembiayaan transisi energi, saat ini regulasi masih menjadi tantangan terbesar dalam transisi energi di ASEAN, terutama mengenai insentif dan disentif untuk EBT," ujar Daymas.
CAESAR AKBAR | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo