Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Meracik Adonan, Menenangkan Pikiran

Membuat kue dan aneka jenis roti jadi hobi yang ramai dilakukan saat masa pandemi. Bagi para pelakunya, aktivitas ini bukan sekadar pengisi waktu luang, tapi juga sarana untuk menenangkan jiwa di tengah tekanan pekerjaan dan keseharian yang membosankan. Aroma kue dan roti yang baru keluar dari panggangan merupakan hal yang mereka tunggu-tunggu. Ditambah sedikit keberanian dan rasa percaya diri, kreasi dapur itu pun dapat dijual dan menguntungkan.

8 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Praga Utama
[email protected]

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi penghuni gedung Balai Kota DKI Jakarta, ruang kerja Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pengendalian Kependudukan dan Permukiman, Suharti Sutar, mungkin jadi tempat paling menarik untuk disambangi saban awal pekan. Pasalnya, setiap Senin atau Selasa, sang pemilik ruangan itu kerap membagikan aneka jenis kue dan roti secara gratis. Tak tanggung-tanggung, Suharti kerap membawa puluhan potong roti dan kue untuk dicicipi para kolega serta rekan kerjanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kue atau roti yang dibagikan pun tak sembarangan, melainkan hasil karya Suharti sendiri. “Bawa roti buatan sendiri ke kantor itu sudah jadi kebiasaan saya,” ujar dia kepada Tempo, Kamis lalu. Salah satu kue yang ia klaim jadi andalan dan diakui para koleganya adalah cinnamon roll alias roti gulung kayu manis. “Teman-teman mengakui bahwa cinnamon roll buatan saya lebih enak dibanding kue serupa yang dijual toko kue populer di Jakarta,” tuturnya.

Croissants buatan Suharti Sutar dengan bahan ragi alami (sourdough). Dok. Pribadi

Roti gulung kayu manis bukan satu-satunya karya penting Suharti. Coba saja tengok isi akun Instagram-nya yang sudah mirip isi rak toko kue. “Membuat kue dan roti itu memang sudah lama jadi passion saya.” Suharti mulai bersentuhan dengan tepung, mikser, dan tungku pemanggang kue sekitar tujuh tahun lalu ketika ia menempuh pendidikan doktoral di Australia. “Di Australia itu harga kue mahal. Saya lalu iseng belajar bikin kue untuk dimakan sendiri ataupun dibagikan kepada teman-teman,” ujar bekas pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan itu. Hobi ini semakin intens ia jalankan setelah kembali ke Tanah Air. “Dan semakin menggila ketika ada pandemi Covid-19.”

Saat pandemi terjadi dan pembatasan sosial mulai diberlakukan, sebetulnya Suharti tetap bekerja ke kantor dan sibuk seperti biasa. Terlebih, dia ditugaskan di tim Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Pemprov DKI Jakarta. Tapi, meski begitu, ia juga semakin sering membuat kue dan aneka roti di rumahnya setiap hari libur. “Setiap Sabtu dan Minggu, pasti saya sibuk di dapur,” kata dia. Pada Sabtu, Suharti biasanya memulai rutinitas membuat roti dengan “memberi makan” adonan sourdough alias asam ragi alami yang jadi bahan baku utama karya-karyanya. Keesokan harinya, barulah ia berkutat mencampur bahan-bahan, mengulen adonan, dan memanggang kue atau roti-roti buatannya.

Deputi Gubernur DKI Jakarta Bidang Pengendalian Kependudukan dan Pemukiman, Suharti Sutar menunjukan kue buatannya. Dok. Pribadi

Membuat roti atau kue menggunakan adonan asam hasil fermentasi ragi alami itu memang sedang nge-tren belakangan ini. Sejak pandemi merebak, hampir semua pencinta pembuat roti di seluruh dunia seakan-akan terobsesi resep sourdough. Tutorial pembuatan adonannya pun bertebaran di media sosial. Penyebab resep ini populer, kata Suharti, adalah karena, di negara-negara yang makanan pokok penduduknya roti, orang-orang terdorong untuk membuat sendiri makanan mereka akibat penerapan lockdown. “Apalagi, pada awal masa pandemi, di banyak negara sempat terjadi panic buying, yang membuat bahan makanan jadi langka.” Sourdough pun jadi alternatif karena cara membuatnya relatif sederhana dan mudah.

Suharti berkenalan dengan sourdough sejak 2017. Ia bahkan punya biang (starter) sourdough yang usianya sudah lebih dari tiga tahun. Adonan yang bahan bakunya tepung dan air itu ia simpan di dalam kulkas. Setiap kali hendak membuat roti, Suharti akan menambahkan campuran tepung dan air. Nantinya adonan itu akan mengambang. Saat akan membuat roti pada keesokan harinya, ia tinggal mencomot sebagian dari adonan itu untuk diolah. “Adonan sourdough ini saya kasih nama Nyai Ontosoroh karena persisten dan sangat aktif,” ujarnya.

Lemon cake buatan Suharti Sutar. Dok. Pribadi

Produk kue Cookabies buatan Rizky Amelia. Dok. Pribadi

Sourdough jadi bahan adonan favorit Suharti karena cita rasanya lebih nikmat ketimbang roti atau kue yang dibuat menggunakan ragi instan. “Roti berbahan sourdough itu rasanya lebih masam, aromanya harum, dan lebih kenyal.” Kandungan nutrisinya pun dianggap lebih baik ketimbang roti dengan bahan baku instan. “Tapi memang proses pembuatannya lebih lama dan memakan waktu dibanding pembuatan kue atau roti memakai bahan-bahan instan. Makanya saya menyebutnya slow baking,” tutur dia.

Di sela “rutinitas” itu, Suharti kerap kali bereksperimen dengan resep-resep yang baru. Apa pun kue dan roti yang bisa dibuat menggunakan ragi, dia akan membuatnya memakai sourdough. Kebetulan Suharti menjadi anggota sebuah forum pehobi membuat kue (baking) internasional di Internet. Di grup itu, selain mencari referensi resep, ia sering mendapatkan “tantangan” dari anggota forum yang lain untuk membuat kue dengan resep tertentu. “Jadi seru. Setiap anggota menantang anggota yang lain. Dalam waktu sekian hari, mereka harus menyelesaikan tantangan itu dan mengunggah hasilnya ke forum tersebut.”

Sebaliknya, Suharti juga kerap memberikan tantangan kepada anggota forum itu. Salah satu resep yang pernah ia jadikan tantangan untuk para anggota dari berbagai negara itu adalah membuat kue bika ambon menggunakan bahan ragi alami. Di waktu lain, ia membagikan resep kue-kue dan roti khas Indonesia kepada anggota lainnya. “Sekalian jadi ajang promosi kue-kue tradisional kita,” kata Suharti. Lalu, berkat kreasinya itu, foto kue-kue karya Suharti juga rutin dipajang di halaman utama forum tersebut.

Tantangan untuk bereksperimen dengan aneka resep juga acap ia terima dari rekan-rekannya atau dengan melihat media sosial. Beberapa waktu lalu, misalnya, di media sosial ramai orang-orang membuat resep roti bawang siram keju (cheesy garlic bread) ala Korea Selatan. “Saya coba bikin pakai sourdough, ternyata hasilnya lebih enak, lebih chewy.” Ia juga pernah membuat roti tradisional Jerman gara-gara koleganya yang pernah tinggal lama di sana rindu akan roti itu. “Resepnya saya cari saja di Internet, lalu coba-coba sendiri,” ujarnya.

Bereksperimen dengan resep yang mudah didapatkan dari media sosial dan berbagai situs Internet juga jadi cara bagi Deny Yuliansari untuk berkreasi di dapur. Sejak dua tahun lalu, ibu seorang anak balita itu mulai menekuni hobi membuat kue dan roti. Sebetulnya, kata Deny, yang memicu ia belajar memasak adalah kelahiran putrinya sekitar empat tahun lalu. “Motivasinya supaya bisa membuatkan makanan yang sehat untuk anak,” kata dia. Deny juga termotivasi ibunya yang jago masak. “Dulu rasanya masakan gue selalu kurang enak.” Dari situ, ia lantas gencar mencari aneka resep dan mempelajari cara memasak di Internet.

Setelah mulai merasa jago memasak makanan sehari-hari, Deny pun tertantang untuk belajar membuat kue. Lagi-lagi motivasinya adalah untuk anaknya. “Karena gue enggak pengin anak gue makan makanan yang berpengawet atau pakai bahan-bahan yang enggak jelas,” ia berujar. Resep kue yang pertama kali ia coba adalah brownies panggang. Selain ia konsumsi sendiri bersama anak dan suami, hasil percobaannya itu dia bagikan ke tetangga dan teman-temannya. “Ternyata banyak yang suka, meski mereka juga tetap memberikan saran tentang kekurangannya apa.”

Deny pun termotivasi untuk menyempurnakan resepnya. Dari berkali-kali melakukan eksperimen, akhirnya Deny mendapatkan resep yang dianggap enak oleh orang-orang di sekitarnya. “Modifikasi sendiri saja, tidak harus mengikuti resep dari orang,” kata dia. Setelah brownies, Deny kembali tertantang mencoba roti jenis lainnya. Eksperimen resep itu semakin sering ia lakukan ketika masa pandemi corona. Ia lalu belajar membuat roti susu (milkbun) dan soft cookies. Karena karyanya itu dinilai enak oleh banyak orang, Deny pun berani menjual kue-kuenya dengan memberi merek Buatan Malikah yang diambil dari nama putrinya.

Meski sudah menghasilkan, Deny masih mengerjakan semuanya sendiri, di sela kesibukannya mengurus anak. Jika sedang tidak ada pesanan, Deny biasanya mencari resep-resep kue yang ingin ia coba. “Biasanya mengikuti kemauan anak atau suami juga. Mereka sedang mau makan kue apa, nah, nanti gue coba bikin.” Deny pun mengaku senang karena hobinya memasak itu kini sudah diakui oleh banyak orang. Meski begitu, ia tetap berencana mengambil kursus kepada pembuat kue dan roti profesional. “Merasa masih perlu untuk mendapat ilmu dari orang yang memang ahli di bidang ini,” dia menambahkan.

Dorongan belajar memasak dan membuat kue gara-gara menikah juga dialami Rizky Amelia, seorang guru di sebuah sekolah swasta di Jakarta Selatan. Perempuan berusia 34 tahun itu mengaku sebetulnya sudah lama punya minat dengan dunia dapur. “Apalagi ibu saya dulu punya warung makan.” Tapi, kata Rizky, kesempatan untuk benar-benar belajar membuat kue sendiri datang ketika dia menikah. Sang suami, yang punya hobi meracik kopi, juga mendukung keinginannya itu. “Karena, kan, kalau ngopi pasti butuh kudapan untuk pairing.”

Namun Rizky menjalani hobinya itu tergantung mood-nya. Ia baru intensif membuat kue ketika harus bekerja dari rumah selama masa pandemi. Resep kue andalan Rizky adalah kukis. Resep kue ini ia peroleh dari para chef yang membagikannya di YouTube. “Sekalian belajar langsung cara membuatnya.” Tapi rupanya resep dari para ahli pembuat kue itu tak selalu cocok di lidah Rizky ataupun sang suami. “Ada yang kemanisan atau bahannya agak susah dicari.” Rizky pun berinisiatif memodifikasi resep-resep itu sampai mendapatkan rasa yang pas.

Namun, karena masih sering uji coba, Rizky juga kerap lupa mencatat aneka resep modifikasinya itu. “Jadi, ketika mengulang membuat kue yang pernah dibuat, rasanya berubah.” Ia juga mengaku kerap salah menakar bahan-bahan yang diperlukan. “Pernah dua batch adonan kukis gagal karena terlalu manis, gara-gara salah takaran,” ucapnya.

Toh, dengan begitu, Rizky justru jadi banyak belajar untuk memperbaiki resepnya. Sampai akhirnya ia memperoleh resep yang pas dengan hasil yang konsisten. Kukis hasil karyanya pun dipuji sang suami dan rekan-rekannya.

Meski Rizky dan Deny tergolong masih amatir dalam aktivitas pembuatan kue dan roti-rotian, sama seperti Suharti, mereka juga mengakui bahwa kegiatan ini sangat membantu mereka meredakan ketegangan akibat aktivitas sehari-hari. Rizky, yang belakangan disibukkan kembali oleh aktivitas mengajar secara daring, mengaku memasak merupakan pelariannya dari tekanan pekerjaan. Apalagi di sekolah tempat ia bekerja, para gurunya dituntut kreatif mencari materi sendiri karena tidak ada diktat khusus. “Kalau sudah stres dengan kerjaan, pelariannya, ya, baking.”

Proses pembuatan kue Buatan Malikah. Dok. Buatan Malikah

Selain itu, ada satu hal lain yang membuat Suharti, Deny, dan Rizky jatuh cinta pada aktivitas membuat adonan dan memanggang adonan kue di oven: mencium aroma kue yang baru matang dan dikeluarkan dari panggangan. Mereka semua sepakat, itulah saat yang paling membahagiakan.

Tingginya minat orang membuat kue bikin kelas belajar memasak penganan itu makin ramai. Kursus membuat kue bernama Ragi di Bandung, misalnya. Meski aneka kelas pembuatan roti dan kue yang disediakan di Ragi dialihkan menjadi secara online karena pandemi Covid-19, justru pesertanya meningkat. “Peminatnya justru bertambah,” kata Yohanes Adhijaya, pendiri Ragi, yang juga seorang chef.

Selain untuk berjualan, tutur Yohanes, kebanyakan orang yang bergabung beralasan belajar membuat roti dan kue untuk mengisi waktu luang. “Apalagi, kan, orang-orang sekarang takut jajan di luar. Jadi, mereka memilih membuat kue dan roti sendiri.”

Ragi yang didirikan Yohanes pada 2017 ini berfokus pada pembuatan roti menggunakan ragi alamiah (sourdough) seperti yang ditekuni Suharti. “Sejak awal, ketertarikan saya memang di situ. Karena ini bahan yang unik, hidup, tidak seperti bahan baku yang lain,” ujarnya. Selama masa pandemi, menurut Yohanes, tren pembuatan roti menggunakan sourdough ikut meningkat. Hal itu terlihat dari banyaknya orang yang membagikan resep roti berbahan sourdough di media sosial. “Semua jenis roti bisa dikreasikan menggunakan bahan ini.”

Kelas online di kursus itu digelar empat kali sepekan dengan biaya Rp 1 juta. “Pesertanya dari pemula sampai chef yang sudah profesional juga. Mereka ingin belajar soal ragi alami.” Menurut Yohanes, selain kelas dasar, di Ragi ada beberapa kelas yang peminatnya membeludak, seperti pembuatan roti tawar, roti manis, dan Hokkaido Milk Bread yang belakangan lagi digandrungi. “Yang ikut ramai sekali.”


Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus