Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Mengapa KPK Menunda-nunda Penetapan Tersangka Dugaan Suap Eddy Hiariej?

Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej dituduh menerima suap pengusaha nikel. Diulur petinggi KPK.

5 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK mengulur penetapan tersangka Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej.

  • Ia diduga menggunakan rekening anak buahnya menampung suap dan gratifikasi pengusaha nikel Sulawesi.

  • Tak kunjung menjadi tersangka karena kedekatannya dengan petingi kepolisian.

RAPAT gelar perkara di lantai 15 Gedung Merah Putih Komisi Pemberantasan Korupsi itu hanya berlangsung 45 menit pada Rabu, 27 September lalu. Empat pemimpin, minus Ketua KPK Firli Bahuri yang tengah melawat ke Korea Selatan, menyetujui kasus suap yang melibatkan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej naik ke tahap penyidikan. Empat pemimpin bersama Deputi Penindakan KPK bersepakat bukti yang menjerat Eddy Hiariej—sapaan Edward—sudah cukup.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum rapat ditutup, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron berpesan kepada para penyelidik dan penyidik agar mematuhi prosedur hukum penyelidikan dan penyidikan. Sebab, calon tersangka yang akan dijerat memiliki pemahaman dan pengetahuan mendalam soal proses pidana. Ia tak mau kasus itu mentah karena digugat melalui jalur praperadilan. Setelah rapat selesai, pimpinan KPK berpencar. Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango langsung pulang karena sedang sakit.

Kesepakatan itu menjadi titik terang proses penyelidikan kasus suap dan gratifikasi Eddy Hiariej. Sebelumnya, rapat gelar perkara berkali-kali ditunda mendadak tanpa alasan jelas. Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan rapat ekspose perkara Eddy Hiariej digelar pada 27 September lalu. “Sejauh ini masih dalam tahap penyelidikan,” tuturnya kepada Tempo.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharief Hiariej memperkenalkan kedua asisten pribadinya, Yogi Arie Rukmana (kiri) dan Yosi Andika Mulyadi (kedua dari kiri), setelah memberikan klarifikasi atas laporan dan aduan terhadap dirinya di bagian pengaduan masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 20 Maret 2023.

Eddy, kini 50 tahun, sedang diselidiki karena diduga menerima suap dan gratifikasi dari pengusaha tambang nikel Helmut Hermawan. Nilai suapnya mencapai Rp 7 miliar. Sementara itu, gratifikasi yang diterima Eddy sebesar Rp 1 miliar. Kedua peristiwa itu terjadi pada 2022. Kepada penyidik KPK, Helmut mengaku menyetorkan uang agar Eddy membantunya mengubah akta perusahaan PT Citra Lampia Mandiri di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum.

Eddy ditengarai menggunakan dua rekening bank asistennya, Yogi Arie Rukmana dan Yosi Andika Mulyadi, untuk menerima fulus dari Helmut. Karena itu, penyidik KPK akan memakai pasal pencucian uang untuk meluaskan penyelidikan dugaan penerimaan suap tersebut. Dalam rapat ekspose itu, pimpinan KPK juga membahas kemungkinan Yogi dan Yosi menjadi tersangka karena keterlibatan mereka dalam perkara ini.

Seorang penegak hukum yang mengikuti rapat gelar perkara itu mengatakan KPK sengaja menggelar rapat ekspose ketika Firli Bahuri cuti sepuluh hari dan Direktur Penyelidikan Brigadir Jenderal Endar Priantoro cuti belajar ke Lembaga Ketahanan Nasional sejak Juli lalu. Kedua petinggi KPK ini kerap menunda rapat gelar perkara Eddy Hiariej dengan beragam alasan.

Penegak hukum KPK lain yang ditemui Tempo mengatakan Endar adalah orang yang paling ngotot mencegah status penanganan kasus Eddy naik ke penyidikan. Namun, meski terus dihalangi, penyelidik diam-diam mengumpulkan beragam bukti. Di antaranya transaksi antara Eddy, Yogi, Yosi, dan Helmut.

Laporan kasus suap Eddy Hiariej masuk ke KPK pada pertengahan Maret lalu. Sebulan kemudian, penanganan kasus ini naik ke tahap penyelidikan. Di fase ini, Endar terus mengulur pemeriksaan dan pengumpulan barang bukti. Ia tak pernah menyetujui permintaan penyidik agar kasus Eddy dibahas dalam rapat. Pengaruh Endar meredup saat pimpinan KPK menunjuk pelaksana harian Direktur Penyelidikan penggantinya pada Juli-Oktober lalu.

Kedua penegak hukum itu menceritakan kekosongan kursi Firli dan Endar dimanfaatkan tim KPK menaikkan status proses perkara yang tersendat. Sehari sebelum rapat gelar perkara Eddy Hiariej, empat pemimpin KPK dan tim Deputi Penindakan juga menggelar rapat ekspose untuk menetapkan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo sebagai tersangka pemerasan, gratifikasi, dan pencucian uang.

Motor rapat itu adalah Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango. Ia melobi tiga pemimpin lain agar mau mengikuti rapat gelar perkara kasus Syahrul dan Eddy. Dihubungi lewat WhatsApp, Nawawi tak merespons permintaan konfirmasi Tempo. Nurul Ghufron serta dua pemimpin lain dan Firli Bahuri juga tak membalas pesan yang dikirim Tempo hingga Sabtu, 4 November lalu.

Brigadir Jenderal Endar Priantoro di gedung ACLC Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 4 April 2023/Tempo/Imam Sukamto

Dugaan suap kepada Eddy Hiariej bermula saat Helmut menemuinya pada April 2022. Kala itu Helmut tengah berebut saham PT Citra Lampia Mandiri dengan perusahaan lain. Perusahaan ini memiliki konsesi tambang nikel seluas 2.660 hektare di Luwu Timur, Sulawesi Selatan. “Beliau wakil menteri dan pernah menjadi saksi ahli perusahaan lawan kami,” kata Helmut kepada Tempo pada Maret lalu.

Setelah beberapa kali pertemuan dan kesepakatan, Helmut mengirimkan uang lewat rekening PT Citra Lampia Mandiri ke rekening Yogi Arie Rukmana, asisten Eddy, pada periode April-Mei 2022. Bulan berikutnya, Helmut kembali mentransfer US$ 200 ribu atau setara dengan Rp 3 miliar kepada Yogi.

Dalam periode penerimaan uang ini, Eddy membuat katebelece ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum agar memproses pengurusan akta baru PT Citra Lampia Mandiri dengan menerakan nama Helmut sebagai pemilik sahamnya. Penyelidik KPK sudah memegang katebelece berbentuk selembar kertas itu. Soal memo ini, Eddy membantahnya. “Itu hanya permintaan agar diproses sesuai dengan aturan,” ujar Eddy.

Sengketa saham PT Citra Lampia Mandiri melibatkan pengusaha batu bara Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam. Helmut diminta mengalah. Belakangan, Eddy juga bertemu dengan Haji Isam. Pengacara Haji Isam, Juniadi, membantah dugaan kliennya cawe-cawe dalam sengketa saham PT Citra Lampia Mandiri. “Yang punya saham justru saya, tapi tak besar,” ucapnya kepada Tempo pada Maret lalu. Cerita mengenai perebutan saham ini ditulis majalah Tempo edisi 26 Maret-2 April 2023 dengan judul “Pak Wamen di Pusaran Tambang”.

Kemunculan nama-nama pengusaha di pusaran sengketa saham PT Citra Lampia Mandiri membuat Eddy Hiariej keder. Ia memerintahkan Yogi mengembalikan uang pemberian Helmut. Yogi mengirim uang itu pada 17 Oktober 2022 sekitar pukul 12.00 WIB ke rekening PT Citra Lampia. Dua jam kemudian, lewat anak buahnya, Helmut memerintahkan uang itu dikembalikan ke rekening Yosi Andika Mulyadi, asisten Eddy yang lain. Beberapa waktu kemudian, Yosi mengirim Rp 7 miliar dan US$ 235 ribu ke rekening Yogi.

Penegak hukum KPK yang mengetahui perkara ini mengatakan bukti untuk menjerat Eddy sebenarnya sudah cukup saat Yosi tak mengembalikan uang itu ke Helmut. Apalagi uang itu berpindah lagi ke rekening Yogi. Bukti suap makin telak saat Yogi mengirimkan Rp 1,7 miliar ke rekening Eddy pada 28 Oktober 2022. Uang itu ditengarai berasal dari transferan Helmut. Penyidik KPK menemukan bukti Eddy menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi.

Selain terbelit persoalan suap, Eddy dijerat dugaan gratifikasi. Peristiwanya terjadi pada 18 Oktober 2022. Helmut mengirim uang Rp 1 miliar ke rekening Yogi untuk Eddy. Duit tersebut ditujukan untuk mendanai kampanye Eddy sebagai calon Ketua Umum Pengurus Pusat Persatuan Tenis Seluruh Indonesia periode 2022-2027. Secara total, Helmut mentransfer uang untuk Eddy sebanyak Rp 4,39 miliar.

Kuasa hukum Helmut, Rusdianto Matulatuwa, memastikan kliennya sudah menyerahkan semua bukti dan keterangan ihwal pemberian uang kepada Eddy melalui Yogi dan Yosi. Dia memastikan nilai Rp 7 miliar muncul dari permintaan Wakil Menteri. “Klien kami diperas oleh Eddy dengan menjanjikan kepengurusan Helmut atas PT CLM disahkan di Kementerian Hukum dan HAM,” ujar Rusdianto.

Dihubungi lewat WhatsApp, Yosi enggan mendetailkan pengiriman uang itu. Ia juga tak menjawab pertanyaan ihwal aliran uang untuk Eddy ke rekeningnya. “Selain yang sudah saya sampaikan sebelumnya, belum ada hal lain,” tulisnya.

Tempo juga menghubungi Yogi lewat WhatsApp. Tapi ia tak kunjung merespons permintaan konfirmasi soal kiriman uang Helmut. Pada Maret lalu, ia memberikan alasan tak mengembalikan uang Rp 7 miliar tersebut, yakni Helmut menolak menerimanya. Yogi juga membantah kabar bahwa ia menampung uang suap dan gratifikasi dari Helmut untuk Eddy.

KPK sudah memeriksa Eddy Hiariej pada 28 Juli lalu. Guru besar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, itu menepis tuduhan menerima suap Rp 7 miliar dan gratifikasi Rp 1 miliar dari Helmut. “Soal tuduhan suap dan gratifikasi itu fitnah,” kata Eddy lewat pesan WhatsApp pada Sabtu, 4 November lalu.

•••

MESKI rapat pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sudah menyetujui penanganan kasus suap dan gratifikasi Wakil Menteri Hukum dan HAM Eddy Hiariej naik ke tahap penyidikan, personel Direktorat Penyidikan tak otomatis bisa bergerak. Secara administrasi, Direktur Penyelidikan Brigadir Jenderal Endar Priantoro harus membuat dan meneken laporan kejadian tindak pidana korupsi (LKTPK) agar kasus Eddy resmi naik ke tahap penyidikan. Nantinya dokumen itu turut mencantumkan nama calon tersangka serta barang bukti pendukungnya.

Seorang penegak hukum yang mengikuti rapat gelar perkara kasus Eddy pada 27 September lalu mengatakan pelaksana tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi, Brigadir Jenderal Asep Guntur Rahayu, sudah memerintahkan Endar menerbitkan LKTPK kasus Eddy. LKTPK akan menjadi dasar penetapan status tersangka terhadap Eddy, Yosi Andika Mulyadi, dan Yogi Arie Rukmana.

Hingga kini Endar tak kunjung menyelesaikan LKTPK itu. Anak buah Endar sebenarnya sudah menyusun draf LKTPK, tapi Endar ogah-ogahan menandatanganinya. Kepada Asep, Endar beralasan tak meneken LKTPK karena mendapat perintah dari Kepolisian RI. Di berbagai kesempatan, kepada para penyidik, Endar selalu mengatakan membawa amanat Polri agar tak mengutak-atik kasus Eddy.

Sebelum menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy malang melintang di berbagai kasus pidana sebagai saksi ahli. Salah satu perannya yang paling menonjol adalah menjadi saksi ahli kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin oleh Jessica Wongso. Persidangan berjalan alot karena tak ada saksi yang melihat Jessica mencampurkan racun sianida ke es kopi Mirna. Namun, berkat kesaksian Eddy, hakim memvonis Jessica 20 tahun penjara.

Eddy mengakui sering menjadi ahli bagi penegak hukum. Profesi sampingan itu dilakoninya sejak 2006. Ia berhenti menjadi saksi ahli saat dilantik menjadi Wakil Menteri Hukum dan HAM pada 23 Desember 2020. “Saya sudah 800 kali menjadi saksi ahli,” tutur Eddy.

Brigadir Jenderal Endar Priantoro di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 5 Juli 2023/Tempo/Imam Sukamto

Itu sebabnya Eddy mengenal banyak pejabat di Kepolisian RI. Tempo meminta konfirmasi dari Eddy soal kedekatannya dengan Kepolisian RI karena sering menjadi saksi ahli. Ia tak menjawab pertanyaan tersebut.

Tempo lalu menemui Brigadir Jenderal Endar Priantoro di salah satu restoran masakan Padang di Plaza Festival Mall Kuningan, Jakarta Selatan, pada Jumat siang, 27 Oktober lalu. Ia menjelaskan beberapa hal tentang kasus Eddy Hiariej. Tapi ia meminta semua ucapannya tak dikutip.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Sandi Nugroho tak memberikan konfirmasi mengenai pengakuan Endar Priantoro berkaitan dengan perintah Polri agar KPK tak menjadikan dia tersangka. Ia mengutus ajudannya, Inspektur Satu Aulia Yordan Priambada Ananta, menjawab pertanyaan Tempo. “Menginfokan bahwa pertanyaan ke Kadiv Humas tersebut bisa langsung diajukan ke KPK,” ucap Yordan.

Juru bicara KPK, Ali Fikri, tak menjawab pertanyaan tentang usaha Endar Priantoro mencegah penyidikan kasus suap Eddy Hiariej. Ali menjelaskan, LKTPK dibutuhkan untuk dikirim kepada pimpinan KPK agar surat perintah penyidikan segera dibuat. “Semua prosesnya harus sesuai dengan aturan,” tuturnya.

Selain menyelisik kasus suap dan gratifikasi, KPK sudah menyiapkan perkara lain untuk Eddy Hiariej, yakni transaksi keuangan mencurigakan. Pada Januari 2020-Maret 2023, KPK menemukan uang masuk Rp 118,7 miliar dan uang keluar Rp 116,7 miliar di dua rekening Yogi.

Dari semua transaksi itu, penyidik KPK mencurigai aliran dana Rp 90 miliar janggal. KPK juga menyorot rekening BCA milik Yogi yang diduga terafiliasi dengan Eddy. Rekening ini menampung Rp 95 miliar. Sebanyak Rp 57,9 miliar di antaranya, berdasarkan penelusuran KPK, juga tak wajar.

Area konsesi PT Citra Lampia Mandiri di Desa Harapan, Kecamatan Malili, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, 23 Maret 2023/Tempo/Didit Hariyadi

Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Ivan Yustiavandana menyebutkan transaksi uang mencurigakan di rekening orang-orang dekat Eddy Hiariej ditemukan ketika pihaknya berkoordinasi dengan penyidik KPK. “Sudah kami serahkan ke penyidik semua datanya dan kami tetap berkoordinasi,” ucapnya.

Eddy mengklaim tak pernah menerima uang yang berkaitan dengan tugas atau kewenangan Wakil Menteri Hukum dan HAM. Ia mengakui pernah menerima kiriman uang dari Yogi. “Tapi aliran dana itu sudah ada jauh sebelum saya menjadi wakil menteri,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Fajar Pebrianto, Riky Ferdianto, Anton Septian, dan Mustafa Silalahi berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Balas Budi Jasa Pak Wamen"

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus