Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Habis Duit Laba Tak Datang

Telkom tak henti berinvestasi untuk memperbesar ceruk bisnis digital dan telekomunikasi. Tak semua berakhir manis.

3 Oktober 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Telkom menutup platform marketplace Blanja.com.

  • Bisnis digital tak semanis dibayangkan.

  • Nilai investasi Telkom terseret Tiphone.

BLANJA.com resmi tutup pada 1 Oktober 2020. Hari itu juga, Kamis pekan lalu, muka halaman situs belanja online milik PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk tersebut hanya berisi pengumuman dan satu tautan untuk mengunduh format klaim dana bagi pengguna yang duitnya masih nyangkut. “Terima kasih atas kerjasama dan kepercayaan yang telah diberikan Teman Blanja selama ini,” begitu tertulis di spanduk woro-woro itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Digital Business PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Fajrin Rasyid mengatakan penutupan Blanja.com merupakan langkah strategis perusahaan untuk mengembangkan bisnis e-commerce ke arah yang lebih baik. “Telkom hanya akan berfokus pada bisnis e-commerce di segmen korporasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah melalui transaksi business-to-business (B2B),” ucap pendiri marketplace Bukalapak itu dalam keterangan resmi, 2 September lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Digital Business PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Fajrin Rasyid/Instagram.com

Telkom sebenarnya bukan penyedia jasa telekomunikasi pertama yang menutup lini bisnis e-commerce. Indosat Ooredoo lebih dulu menutup Cipika pada Juni 2017, diikuti XL Axiata yang melepas Elevenia ke Grup Salim dua bulan kemudian. Perubahan strategi bisnis dilakukan setelah ekspektasi menangguk untung ketika membangun layanan tak pernah kesampaian. Lini e-commerce mereka terus berdarah-darah, merugi, di tengah kian ketatnya persaingan di era digital.

Blanja lahir dengan harapan yang sama sewindu lalu. Grup Telkom menyulap Plasa.com, portal belanja lamanya, menjadi Blanja. Semuanya tampak menjanjikan. Lewat PT Multimedia Nusantara (Metra), Telkom menggandeng eBay, penyedia layanan lelang online asal Amerika Serikat, untuk patungan membangun Blanja. Akses langsung barang-barang yang tersedia di eBay menjadi iming-iming menarik pengguna Blanja. Pasar pun merespons positif, harga TLKM—kode saham Telkom di Bursa Efek Indonesia—melonjak ketika Blanja diluncurkan pada 2012.


“Persaingan bisnis e-commerce sangat ketat. Kalau tidak punya keunikan, ditinggalkan pelanggan.”



Namun, seperti Indosat dan XL Axiata, Grup Telkom merupakan “korban” dari kerasnya kompetisi bisnis e-commerce. Dana segar berulang kali diguyurkan ke Blanja untuk membiayai ekspansi usaha. Pada Januari 2019, misalnya, manajemen Telkom mendapat persetujuan dari komisaris untuk menggelontorkan modal sebanyak US$ 30 juta atau senilai Rp 420 miliar. Sebelumnya, berturut-turut dana untuk kepentingan sama mengalir dari Metra dan eBay pada 2016 dan 2017, masing-masing senilai Rp 320 miliar dan Rp 500 miliar. Namun hasilnya tak sepadan.

Laporan keuangan Telkom mencatat investasi di Blanja dalam segmen bisnis lain-lain. Pada 2019, pos ini membukukan pendapatan Rp 197 miliar, naik 51 persen dibanding perolehan tahun sebelumnya yang hanya Rp 130 miliar. Masalahnya, beban usaha di segmen ini mencapai Rp 1,48 triliun. Walhasil, kelompok bisnis ini merugi hingga Rp 1,28 triliun.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance, Abra Talattov, mengatakan aktivitas bisnis Blanja sudah lama tidak menghasilkan profit. Makanya, kata dia, pasar merespons negatif saham TLKM dua tahun terakhir. “Persaingan bisnis e-commerce sangat ketat. Kalau tidak punya keunikan, ditinggalkan pelanggan,” ujarnya.

•••

BUKAN di Blanja saja investasi TLKM ambyar. Perusahaan telekomunikasi pelat merah ini juga babak-belur atas kepemilikannya (secara tidak langsung) di PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk. Melalui PT PINS Indonesia, Telkom memegang 24 persen saham perusahaan perdagangan perangkat telekomunikasi berupa telepon seluler berikut suku cadang, aksesori, pulsa, serta jasa perbaikan dan penyediaan konten tersebut.

Emiten berkode TELE itu, juga empat anak usahanya, mengalami gagal bayar atas utang obligasi serta utang bank sindikasi yang jatuh tempo pada Juni lalu. Keempat anak usaha yang dimaksud adalah PT Telesindo Shop, PT Simpatindo Multi Media, PT Perdana Mulia Makmur, dan PT Poin Multi Media Nusantara. Total nilai pokok utang yang gagal bayar mencapai Rp 3,23 triliun, belum termasuk bunga yang jumlahnya Rp 95,72 miliar.

Kini TELE berstatus dalam penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) setelah pengadilan niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan PKPU selama 42 hari. Tapi perusahaan mengajukan permohonan perpanjangan PKPU dan telah disetujui para kreditor perpanjangan selama 60 hari hingga 12 Oktober 2020.

Duit yang dikucurkan Grup Telkom ketika membeli saham Tiphone pada 18 September 2014 tak sedikit: Rp 1,39 triliun. Namun nilai wajar penyertaan per 31 Desember 2019 tinggal Rp 526 miliar—dihitung dari jumlah saham dan harga pasar kala itu. Nilai penyertaan jangka panjang TLKM di TELE menyusut hingga tersisa hampir sepertiga dari perolehan awal.

Dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia, 22 Juni lalu, manajemen Telkom mengungkapkan bahwa kegagalan TELE membayar surat utang itu berdampak secara finansial terhadap Telkom. Dampak yang dimaksud adalah potensi perubahan nilai wajar penyertaan PINS pada Tiphone.

Pada semester I 2020, TLKM mencatatkan rugi penurunan nilai investasi sebesar Rp 342 miliar. Laporan keuangan perusahaan 2019 juga membukukan rugi penurunan nilai investasi di Tiphone yang mencapai Rp 1,172 triliun. Sementara itu, dividen yang diterima Telkom dari Tiphone selama 2015-2019 hanya sekitar Rp 71,47 miliar.

Toh, AVP Reporting dan Compliance Telkom Dewi Simatupang meyakinkan dampak terhadap operasional tidak akan signifikan. Sebab, masih banyak distributor voucher pulsa lain. Apalagi tren penjualan pulsa melalui platform online saat ini berkembang pesat.

Direktur Utama Tiphone Tan Lie Pin/Instagram.com

Direktur Utama Tiphone Tan Lie Pin mengatakan saat ini TELE sedang berdiskusi dengan TLKM, PINS, dan pemegang saham lain untuk menentukan rencana bisnis dan strategi mengatasi masalah finansial yang tengah dihadapi perseroan. TELE juga akan menyiapkan restrukturisasi dan proposal perdamaian kepada para kreditor. “Termasuk berdiskusi dengan calon investor dan bekerja sama dengan Borrelli Walsh sebagai penasihat keuangan untuk merampingkan badan usaha perseroan ke depan,” tutur Tan Lie dalam keterbukaan kepada Bursa Efek Indonesia, 2 September lalu.

Tan Lie menegaskan, sejauh ini tidak ada rencana TLKM menarik kerja sama dengan TELE. Perusahaan memiliki beberapa perjanjian kerja sama dengan TLKM, antara lain untuk menjual produk anak usaha Telkom seperti kartu modul identitas pelanggan (SIM card) dan voucher prabayar PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel), di portal perdagangan online, perbankan, dan kanal modern lain.

RETNO SULISTYOWATI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus