Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ekonom menilai diperlukan perubahan struktur pasar untuk menghapus oligopoli minyak goreng.
Produsen besar minyak goreng harus memecah diri menjadi entitas yang tidak terafiliasi.
YLKI mengusulkan pembatasan margin laba.
JAKARTA – Pengubahan skema pasar dianggap sudah sangat mendesak di tengah lonjakan harga minyak goreng. Direktur Center of Economic and Law Studies, Bhima Yudhistira Adhinegara, meminta pemerintah menghapus skema subsidi karena hanya menguntungkan pemain tertentu. Ia menilai kebijakan subsidi minyak goreng satu harga yang pernah diterapkan telah gagal.
"Tidak ada transparansi soal besaran subsidi yang dinikmati oleh pemain minyak goreng besar," ucapnya kepada Tempo, kemarin. Dia pesimistis penyaluran minyak goreng sokongan pemerintah itu tepat sasaran. Terlebih, belum ada jaminan soal keamanan stok dari potensi penimbunan. "Cara-cara subsidi dihentikan saja."
Subsidi harga minyak goreng yang dikucurkan pemerintah beberapa kali berubah formula. Hingga akhir tahun lalu, pemerintah berniat menyediakan 11 juta liter minyak goreng seharga Rp 14 ribu per liter untuk masyarakat selama enam bulan. Namun hanya 5 juta liter yang bisa disiapkan secara sukarela oleh pengusaha.
Lalu, pada awal 2022 Kementerian Koordinator Perekonomian mengumumkan subsidi untuk 1,2 miliar liter minyak goreng dengan durasi enam bulan. Guna menutup selisih harga dan pajak pertambahan nilai, disiapkan dana subsidi sebesar Rp 3,6 triliun yang diambil dari dana pungutan ekspor oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
Sebelum diterapkan, alokasi subsidi minyak goreng dibesarkan menjadi Rp 7,6 triliun untuk penyaluran 1,5 miliar liter minyak goreng. Kebijakan minyak goreng satu harga sebesar Rp 14 ribu per liter untuk semua jenis produk pun dimulai pada 19 Januari lalu.
Fluktuasi harga dan kelangkaan pasokan yang lantas terjadi membuat Kementerian Perdagangan menerapkan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) agar pasokan di hulu dan hilir terjaga. Kini, eksportir diwajibkan memasok minyak goreng ke pasar dalam negeri sebesar 20 persen dari volume ekspor.
Skema DMO dan DPO berujung pada skema penetapan harga eceran tertinggi (HET) untuk mengatasi terus mahalnya harga minyak goreng. Skema DMO, Bhima berpendapat, lebih menjanjikan sebagai langkah stabilisasi harga ketimbang model subsidi terbuka. “Nanti (efektivitasnya) bergantung pada evaluasi pelaksanaan DMO saja.”
Untuk mengikis struktur pasar minyak goreng Indonesia yang oligopolistik, dia mengimbuhkan, perusahaan minyak goreng harus dipaksa memecah diri. “Istilahnya, break up menjadi entitas yang tidak terafiliasi. Cara ini ditempuh industri keuangan Amerika Serikat untuk mengatasi praktik kartel.”
Pekerja tengah mengisikan minyak goreng dari lambung kapal ke dalam truk tangki di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketua Pelaksana Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, Tulus Abadi, meminta pemerintah tak lembek terhadap pelanggar DMO dan DPO. “Harus ada sanksi tegas berupa larangan ekspor untuk jangka waktu tertentu, misalnya tiga bulan, serta pencabutan izin usaha di perkebunan sawit.”
Menurut dia, langkah pemerintah mengintervensi harga lewat HET sudah terlambat. YLKI menilai, pembatasan margin laba akan lebih ideal daripada pembatasan harga. “Jika melebihi margin laba, misalnya 10 persen, pelaku usaha bisa dikenai sanksi karena mengambil untung terlalu besar.”
Adapun ekonom dari Center of Reform on Economics Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menyarankan penambahan wewenang untuk Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pasar oligopolistik, ucap dia, hanya bisa diatasi dengan pengawasan superketat.
Otoritas pengawas persaingan usaha ini tengah menyelidiki dugaan kartel produsen yang ditengarai memicu lonjakan harga minyak goreng. “Diperlukan revitalisasi wewenang KPPU, misalnya ada hak menggeledah dan menyita hingga menentukan besaran sanksi administratif,” ucap dia.
FRANSISCA CHRISTY ROSANA | YOHANES PASKALIS
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo