Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

UI: Sodetan Bojonggede Bisa Cegah Banjir Jakarta

Kajian komprehensif harus dilakukan, seperti ke mana air sodetan bakal dialirkan.

17 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEPOK - Sungai Ciliwung selalu menjadi perhatian terutama pada musim penghujan seperti sekarang. Kondisi dan luapan kali yang mengaliri dua provinsi tersebut sangat berpengaruh terhadap masyarakat di sekitarnya. Berhulu di Jawa Barat, Ciliwung menyebabkan banjir di hilir, yakni di wilayah DKI Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Institute for Sustainable Earth and Resources (I-SER) Universitas Indonesia menawarkan metode penanggulangan banjir di Jakarta akibat luapan Ciliwung. Penanganan harus dilakukan dari hulu, antara lain membuat sodetan Sungai Ciliwung di kawasan Bojonggede, Kabupaten Bogor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Air yang dialirkan melalui sodetan itu juga bisa dimanfaatkan oleh PDAM,” kata Kepala Koordinator Bidang Lingkungan I-SER, Tarsoen Waryono, kepada Tempo, Selasa lalu.

Menurut dia, pembuatan sodetan di sungai sepanjang sekitar 120 kilometer itu bisa mengatasi dua permasalahan secara bersamaan, yakni banjir bisa diminimalkan dan kebutuhan air bersih bagi warga terpenuhi. Dia mengungkapkan bahwa selama ini sebagian warga Depok dan Bogor masih menggunakan air tanah yang kualitasnya tidak bagus.

Selama ini, Tarsoen menuturkan, laju air yang mengalir di Ciliwung hingga ke Teluk Jakarta lebih dari 87 persen dari totalnya. Sedangkan hanya sekitar 13 persen air yang terserap ke tanah. Selain itu, degradasi air tanah di daerah aliran sungai perlu pemulihan dengan memanfaatkan tandon air alami, yaitu merestorasi 26 situ di Depok dan 13 di kawasan lain.

“Perlu juga membangun sumur resapan,” ucapnya.

Adapun langkah lainnya untuk mengurangi luapan air Ciliwung adalah dengan mengurangi intensitas pemanfaatan ruang (IPR) di sekitar bantaran menjadi kurang dari 2 persen. Menurut Tarsoen, permukiman di sekitar sempadan sungai mesti dipindahkan ke rumah susun serta proyek normalisasi dan naturalisasi sungai harus segera direalisasi.

Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC), Bambang Hidayah, menyatakan siap berkoordinasi dengan semua pihak, termasuk Universitas Indonesia, untuk mengatasi persoalan di Ciliwung. Namun harus dilakukan kajian komprehensif sebelum dilakukan penyodetan.

“Aliran air yang dibuang mau diarahkan ke mana? Jangan sampai tandon tidak mampu menampung volume air,” ujarnya.

Dia menjelaskan, rencana pembuatan sodetan Ciliwung dilakukan di daerah Bidara Cina menuju Kanal Banjir Timur yang masih tahap pembebasan lahan oleh pemerintah DKI. Hingga pekan lalu, lahan yang sudah dibebaskan seluas sekitar 47 ribu meter persegi.

Menurut Ketua Komunitas Ciliwung Depok (KCD), Taufik D. Solek, degradasi ekologis di Sungai Ciliwung terjadi akibat okupasi ruang di sepanjang sempadan. Bantaran sungai telah berubah menjadi permukiman bahkan perkampungan sehingga mengubah ekosistem di Ciliwung.

Alih fungsi lahan di sepanjang daerah aliran sungai tersebut terjadi akibat regulasi penataan ruang yang tumpang-tindih. Pemerintah daerah merasa kewenangan pengelolaan Ciliwung di tangan pemerintah pusat melalui BBWSCC di bawah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. “Koordinasi pemerintah pusat dan daerah harus diperkuat,” kata Taufik kepada Tempo, Selasa lalu, di Pangkalan KCD, kolong Jembatan Grand Depok City (GDC), Kota Depok.

Pola hidup warga permukiman di bantaran sungai menjadikan sungai sebagai bak sampah. Taufik berpendapat budaya membuang sampah ke sungai muncul sejak ada perkampungan di pinggir sungai. Sebelumnya, sampah sungai masih organik, seperti pelepah pisang atau ranting pohon.

Daerah aliran Ciliwung di wilayah Depok sepanjang 22 kilometer, yang terbagi menjadi tiga jalur. Dari Pangkalan KCD, dia melanjutkan, menuju Bojonggede-Jembatan GDC, Jembatan GDC-Jembatan Juanda, serta Juanda-perbatasan Jakarta Selatan. Dari ketiga jalur tersebut yang kondisinya masih alami hanya Bojonggede-GDC. “Yang masih alami hanya 50 persen dari seluruh sempadan di wilayah itu,” ucap Taufik.

Tarsoen, yang juga pengamat lingkungan, berpendapat okupasi penduduk di bantaran Ciliwung menyebabkan wilayah tangkapan akhir rendah sehingga air sungai di hulu meluap ketika curah hujan tinggi.

BBWSCC tak mempunyai program rehabilitasi Ciliwung tahun ini. Tapi, Bambang menyatakan siap menampung gagasan perbaikan Ciliwung.

IRSYAN HASYIM | JOBPIE SUGIHARTO

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus