Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ultimatum agar Tuntas di Peradilan Umum

Kasus korupsi Basarnas bisa diadili di peradilan umum. Peradilan militer dianggap melanggengkan impunitas.

31 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berencana melaporkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ke Dewan Pengawas KPK.

  • Bila KPK menyerahkan kasus tersebut kepada Puspom TNI, hal itu menyalahi Undang-Undang KPK dan Undang-Undang TNI.

  • Perwira TNI aktif yang bekerja di institusi sipil dan terlibat kasus korupsi tidak harus diadili melalui peradilan militer.

JAKARTA – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan berencana melaporkan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi ke Dewan Pengawas KPK. Koalisi mengultimatum agar tim penyidik KPK tetap menuntaskan proses hukum perwira TNI aktif yang diduga terlibat korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Direktur Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Julius Ibrani, menyatakan akan meminta Dewan Pengawas KPK menginvestigasi mekanisme pengusutan serta penyidikan kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas). Kasus tersebut diduga melibatkan Kepala Basarnas 2021-2023, Marsekal Madya Henri Alfiandi, serta Koordinator Administrasi Kepala Basarnas, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bila mekanisme penyidikan kasus Basarnas sudah sesuai dengan prosedur, kata Julius, Dewan Pengawas harus mendorong KPK melanjutkan kasus tersebut secara transparan. "Bila Dewan Pengawas KPK tetap tidak mau menindaklanjutinya, kami akan melaporkan ke Ombudsman RI supaya jelas," ujar Julius saat dihubungi pada Ahad, 30 Juli 2023.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan terdiri atas lembaga nirlaba, seperti PBHI, Imparsial, ELSAM, Centra Initiative, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Amnesty International Indonesia, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), SETARA Institute, dan Indonesia Corruption Watch (ICW). Koalisi menilai KPK berwenang mengusut kasus Basarnas tanpa menyerahkan proses hukum ke Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Karena korupsi sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus, menurut dia, komisi antirasuah bisa menggunakan Undang-Undang KPK sebagai landasan untuk memproses perwira TNI aktif yang diduga terlibat korupsi.

Bila KPK menyerahkan kasus tersebut kepada Puspom TNI, Julius menilai, hal tersebut akan menyalahi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang KPK serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang TNI menyebutkan prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer jika melanggar hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum jika melanggar hukum pidana umum.

Selain itu, Julius melanjutkan, surat perintah penyidikan dalam menangani suatu kasus tidak bisa dipisah. "Kalau dipisah, dasar hukum harus dinyatakan dihapus. Jadi, teknisnya bebas. Bukan hanya personel TNI yang diduga terlibat, tapi juga kalangan swasta dibebaskan karena basis penyidikan dianggap sudah salah prosedur," ujar dia.

KPK menetapkan lima tersangka kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di Basarnas tahun anggaran 2023. Mereka adalah Kepala Basarnas 2012-2023, Marsekal Madya Henri Alfiandi; anggota TNI Angkatan Udara sekaligus Koordinator Administrasi Kepala Basarnas, Letnan Kolonel Afri Budi Cahyanto; Direktur Utama PT Intertekno Grafika Sejati, Marilya; dan Direktur Utama PT Kindah Abadi Utama, Roni Aidil. Henri bersama dan melalui Afri Budi diduga menerima suap dari beberapa vendor pemenang proyek di Basarnas tahun 2021-2023 sebesar Rp 88,3 miliar. KPK lantas menyerahkan proses hukum Henri dan Afri Budi selaku prajurit TNI kepada Puspom TNI. Adapun Marilya dan Roni Aidil diproses dan ditahan di rumah tahanan KPK.

Puspom TNI berkeberatan atas pengumuman dan penetapan status tersangka oleh KPK terhadap Henri dan Afri Budi, dua personel aktif TNI. Komandan Puspom TNI Marsekal Muda Agung Handoko, saat menggelar keterangan pers pada Jumat lalu, mengatakan TNI punya aturan tersendiri dalam menangani personel TNI aktif yang terlibat kasus. Personel militer yang terlibat kasus ditindak menggunakan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Setelah menggelar keterangan di Mabes TNI, Cilangkap, Agung menemui pimpinan KPK. Perbedaan pendapat antara KPK dan TNI ditutup dengan permintaan maaf pimpinan KPK. Wakil Ketua KPK Johanis Tanak menyebutkan kesalahan itu ada pada tim penyidik lembaganya.

Baca: Setelah Penetapan Diprotes TNI

Tidak Harus Diadili di Peradilan Militer

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur, mengatakan perwira TNI aktif yang bekerja di institusi sipil dan terlibat kasus korupsi tidak harus diadili melalui peradilan militer. Menurut dia, Pasal 47 Undang-Undang TNI sudah menegaskan bahwa perwira aktif yang duduk di 10 kementerian dan lembaga, termasuk Basarnas, harus tunduk pada ketentuan administrasi serta hukum pengawasan di kementerian/lembaga yang bersangkutan.

Basarnas adalah lembaga sipil, maka perwira TNI aktif sekalipun harus tunduk pada hukum sipil. "Jadi, tidak berlaku lagi administrasi TNI. Penanganan kasus, baik korupsi maupun pidana lain yang berhubungan dengan lembaga tempat dia bertugas, dilakukan melalui peradilan umum," ujar Isnur dalam konferensi pers di Jakarta, kemarin.

KPK, Isnur melanjutkan, bisa mengesampingkan mekanisme peradilan militer dengan asas lex specialis derogat lex generalis atau undang-undang khusus yang mengesampingkan undang-undang umum. Dalam Pasal 65 ayat 2 Undang-Undang TNI disebutkan bahwa prajurit tunduk pada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum dengan undang-undang. "Dengan begitu, penetapan status tersangka oleh KPK sudah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku," ujarnya.

Koordinator ICW, Agus Sunaryanto, mengatakan tidak ada yang salah ihwal proses hukum penyidik KPK dalam menetapkan tersangka. Menurut pegiat antikorupsi ini, penyidik KPK sudah memeriksa kasus Basarnas hingga melakukan gelar perkara, bahkan dengan Puspom TNI. "Artinya, semua tahapan selesai. Fakta hukum juga sudah jelas bahwa ada upaya meminta fee kepada swasta," ujar Agus.

Menurut dia, KPK berwenang memimpin penyelidikan bersama Puspom TNI sesuai dengan Pasal 45 Undang-Undang KPK. Hal ini diperkuat dengan Pasal 89 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai koneksitas. "Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama dalam lingkup peradilan umum dan peradilan militer bisa diperiksa serta diadili dalam lingkup peradilan umum," kata Agus. 

Ia menyayangkan pernyataan pemimpin KPK yang menyalahkan tim penyidik. Padahal, berdasarkan Pasal 39 Undang-Undang KPK, penyelidik dan penyidik bekerja berdasarkan perintah pimpinan. Mereka tidak mungkin menetapkan tersangka dan melakukan operasi tangkap tangan tanpa persetujuan pimpinan. "Dewan Pengawas harus memeriksa pimpinan KPK atas pernyataannya. Sikap pimpinan bisa dianggap merusak informasi dalam penegakan hukum yang dilakukan KPK," ujar Agus.

Direktur Eksekutif Amnesty International, Usman Hamid, mengatakan penyerahan kewenangan KPK kepada Puspom TNI dalam kasus Basarnas melanggar asas hukum khusus yang mengesampingkan hukum umum. Dia menilai perdebatan soal peradilan umum dan peradilan militer tidak ada lagi karena kasus dugaan korupsi di Basarnas adalah tindak pidana yang bersifat khusus. "Dengan kata lain, kedudukan hukum, baik sipil, polisi, maupun militer yang diduga melakukan tindak pidana korupsi, adalah sama, yakni tunduk pada hukum antikorupsi," ujar Usman.

Menanggapi hal tersebut, anggota Dewan Pengawas KPK, Syamsuddin Haris, tidak banyak berkomentar. Saat dihubungi untuk dimintai konfirmasi, dia menyatakan Dewan Pengawas siap menyikapi laporan yang masuk. 

Melanggengkan Impunitas 

Dihubungi dalam kesempatan terpisah, Ketua Badan Pengurus Centra Initiative, Al Araf, menyebutkan peradilan militer selama ini justru dianggap melanggengkan impunitas. Dia menilai peradilan militer tidak pernah transparan dan akuntabel dalam mengusut serta menangani kasus. Dia mencontohkan pengusutan kasus hingga proses di pengadilan. "Semua aktor itu berasal dari militer. Terdakwa dari militer, penuntut atau oditur dari militer, hakim dari militer. Ini tentu tidak akuntabel," kata Al Araf.

Direktur Imparsial, Gufron Mabruri, menilai kasus Basarnas menunjukkan bahwa perwira aktif yang duduk di jabatan sipil tidak mau tunduk pada aturan sipil. Perwira TNI aktif yang diduga terlibat dugaan korupsi hanya mau tunduk pada peradilan militer. Ironisnya, menurut Gufron, peradilan militer selama ini dianggap hanya menjadi sarana impunitas. "Pun bila diadili di peradilan militer, tidak pernah ada yang divonis hukuman berat," ujarnya.

Imparsial mencatat, sepanjang 1997-2007, terdapat 46 kasus tindak pidana umum yang melibatkan tentara. Namun persidangan di peradilan militer belum memenuhi rasa keadilan. Sebab, rata-rata anggota TNI yang menjadi terdakwa divonis bebas dan dihukum ringan. Dia mencontohkan, kasus penembakan dua warga sipil di Waghete, Kabupaten Paniai, Papua. Tersangka kasus yang terjadi pada 2006 itu adalah Letnan Dua Arif Budi Situmeng. Dalam sidang, hakim memvonis terdakwa dengan pidana 2 bulan penjara.

Gufron mengatakan KPK juga dihambat bila menggunakan peradilan militer. Dia mencontohkan kasus korupsi pengadaan helikopter AgustaWestland 101 (AW-101) di lingkungan TNI Angkatan Udara. Kasus ini melibatkan kalangan sipil dan personel militer, di antaranya perwira TNI. Dalam proses pemeriksaan kasus tersebut, KPK kesulitan menghadirkan saksi dari militer. "Alasannya, mekanisme pemanggilan personel TNI harus tunduk pada sistem peradilan militer. Sedangkan peradilan militer bersifat tertutup," ujar Gufron.

Kesulitan lainnya, Gufron melanjutkan, penerapan Pasal 65 Undang-Undang TNI hingga kini belum efektif. Sebab, Undang-Undang Peradilan Militer belum kunjung direvisi. Padahal Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 mengamanatkan adanya reformasi peradilan militer. Revisi bertujuan memastikan anggota TNI tunduk pada yurisdiksi peradilan bila melakukan tindak pidana umum. "Selama belum direvisi, militer memiliki hukum sendiri untuk mengadili prajurit yang melakukan tindak pidana hukum," ujar Gufron.

Tempo belum mendapat tanggapan dan konfirmasi atas penilaian Koalisi Masyarakat Sipil ihwal penerapan hukum bagi personel TNI aktif tersebut. Tempo menghubungi dan mengirim pesan berupa pertanyaan kepada Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Laksamana Muda Julius Widjojono. Namun, hingga berita ini ditulis, pertanyaan itu belum direspons.

HENDRIK YAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus