Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR meminta agar perjanjian ekstradisi tidak dijadikan sepaket dengan perjanjian lain, seperti pertahanan dan wilayah udara.
DPR mempertanyakan manfaat perjanjian ekstradisi jika dijadikan satu paket dengan perjanjian lainnya.
Duta Besar RI untuk Singapura, Suryopratomo, mengatakan ada penyesuaian isi kesepakatan ekstradisi.
JAKARTA – Sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan akan mempelajari lebih dulu perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura, Selasa lalu. Mereka menegaskan tidak akan meratifikasi perjanjian ekstradisi jika digabung dengan perjanjian lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Anggota Komisi Hukum DPR, Arsul Sani, mengatakan Dewan akan memproses ratifikasi jika perjanjian ekstradisi tidak sepaket dengan perjanjian lain yang merugikan Indonesia. Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan ini menuturkan Indonesia dan Singapura pernah meneken perjanjian ekstradisi pada 2007. Namun DPR menolak meratifikasi perjanjian tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, perjanjian ekstradisi juga terkait dengan pertahanan, dan ekstradisi baru bisa diberikan jika ada pemberian fasilitas wilayah udara Indonesia untuk pelatihan pertahanan Singapura. "Kami berharap perjanjian kali ini tidak dibundel atau dipaketkan dengan perjanjian lain yang tidak memenuhi sifat reciprocal alias hanya menguntungkan Singapura," ujar Arsul kepada Tempo, kemarin.
Perjanjian ekstradisi diteken Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly bersama Menteri Dalam Negeri dan Hukum Singapura K. Shanmugam di Bintan, Kepulauan Riau, Selasa lalu. Penekenan itu disaksikan Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong. Perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura ini memiliki masa retroaktif atau berlaku surut terhitung sejak tanggal diundangkan selama 18 tahun ke belakang. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 78 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
Nasir Jamil, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, memperkirakan proses ratifikasi perjanjian ekstradisi di DPR berjalan alot karena ini adalah perjanjian yang tertunda. Dia mengingatkan kejadian pada 2007. Saat itu, perjanjian ekstradisi dijadikan satu paket dengan pertahanan. "Masalah itu memicu dilema dan punya masalah terkait dengan kedaulatan wilayah Indonesia," ujar dia.
Anggota partai oposisi ini juga mempertanyakan hal yang bisa diperoleh dari perjanjian ekstradisi jika dijadikan satu paket dengan perjanjian lainnya. "Pertanyaannya, siapa mendapat apa? Ini pintarnya Singapura. Dia mau ambil pertahanannya, sementara perjanjian lain juga tidak sepenuhnya menguntungkan Indonesia," ucapnya.
Didik Mukrianto, anggota Komisi Hukum dari Partai Demokrat, menegaskan bahwa perjanjian ekstradisi ini harus dipastikan tidak satu paket dengan perjanjian lainnya, seperti persetujuan penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan atau realignment of flight information region (FIR) serta perjanjian kerja sama keamanan atau defence cooperation agreement (DCA). "Pada akhirnya, saat proses ratifikasi di DPR, para wakil rakyat harus melihat secara utuh dan komprehensif agar tidak ada kepentingan nasional Indonesia yang dirugikan,” ujarnya.
Presiden Joko Widodo (kanan) menerima kunjungan Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong di The Sanchaya Resort Bintan, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, 25 Januari 2022. ANTARA/HO/Setpres/Agus Suparto
Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, perjanjian ekstradisi tampaknya diteken terburu-buru. Menteri Yasonna baru menerima informasi untuk berangkat ke Bintan, Kepulauan Riau, dua hari sebelum perjanjian diteken. Yasonna diminta datang ke Bintan terkait dengan perjanjian ekstradisi. Dia kemudian meminta Otoritas Pusat dan Hubungan Internasional (OPHI) pada Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) Kementerian Hukum dan HAM menyiapkan bahan-bahan ekstradisi yang sudah pernah dibahas, termasuk perjanjian-perjanjian sebelumnya.
Tempo sudah meminta konfirmasi ke sejumlah pejabat Kementerian Hukum dan HAM. Kepala Biro Humas Kementerian Hukum dan HAM, Heni Susila Wardoyo, meminta agar hal itu ditanyakan ke Direktur OPHI, Tudiono. "Agar satu pintu, penjelasan ada di Direktorat AHU," ujar Heni.
Tudiono pun tidak berhasil dimintai konfirmasi. Sambungan telepon dan pesan pendek yang dikirim tidak direspons. Direktur Jenderal AHU, Cahyo Rahadian Muzhar, juga tidak merespons telepon dan pesan pendek lewat WhatsApp. Selain itu, Yasonna tidak merespons saat dihubungi. Demikian pula dengan Wakil Menteri Hukum Edward O.S. Hiariej.
Adapun Kepala Bagian Humas Kementerian Hukum dan HAM, Tubagus Erif, mengatakan perjanjian ekstradisi terbaru ini diusulkan Menteri Yasonna sejak 2019. "Proses ini memakan waktu sekitar dua tahun hingga akhirnya diterima oleh Singapura," ujar Erif kepada Tempo, Rabu, 26 Januari 2022.
Erif menjelaskan, proses penandatanganan perjanjian ekstradisi telah diinisiasi pemerintah Indonesia di masa Presiden B.J. Habibie pada 1998. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, upaya pembentukan perjanjian ekstradisi mulai dilakukan secara formal lewat pertemuan dengan Perdana Menteri Singapura Goh Chok Tong di Istana Bogor, 16 Desember 2002.
Ekstradisi Indonesia Singapura
Pada era Presiden Jokowi, kata Erif, kerja sama Indonesia dan Singapura terus ditingkatkan, termasuk Persetujuan Penyesuaian Batas Wilayah Informasi Penerbangan Indonesia-Singapura. Kesepakatan itu pun diwujudkan dalam gelaran Leaders' Retreat pada 2019, yang menjadi awal mula perjanjian ekstradisi diusulkan kembali.
Duta Besar RI untuk Singapura, Suryopratomo, mengatakan ada penyesuaian isi kesepakatan ekstradisi. Salah satunya tentang masa retroaktif (berlaku surut terhitung sejak tanggal diundangkan) atas tindak kejahatan yang berlangsung selama 18 tahun ke belakang. Dalam perjanjian tersebut, terdapat 31 jenis tindak pidana yang pelakunya dapat diekstradisi, antara lain tindak pidana korupsi, pencucian uang, suap, perbankan, narkotik, terorisme, dan pendanaan kegiatan yang terkait dengan terorisme.
Selain itu, perjanjian ekstradisi menyepakati bahwa kewarganegaraan pelaku tindak pidana ditentukan pada saat tindak kejahatan dilakukan. Hal ini untuk mencegah privilese yang mungkin timbul akibat pergantian kewarganegaraan pelaku tindak pidana dalam menghindari proses hukum terhadap dirinya. Pemberlakuan perjanjian juga dinilai dapat memfasilitasi implementasi Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2021 tentang Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia.
Selain sepakat melakukan ekstradisi, Indonesia dan Singapura menandatangani dokumen kerja sama penyesuaian batas wilayah informasi penerbangan (realignment of FIR) serta pernyataan bersama Menteri Pertahanan RI dan Singapura tentang kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian pertahanan 2007 (joint statement MINDEF DCA). Suryopratomo menyatakan tiga kesepakatan tersebut bermanfaat bagi hubungan kedua negara. "Seperti dikatakan Perdana Menteri Lee, hal itu akan meningkatkan kepercayaan dari para investor untuk melakukan kegiatan bisnis di Singapura dan Indonesia."
FRISKI RIANA | INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo