Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika berkunjung ke Indonesia, Februari lalu, Raja Yordania Abdullah II bin Hussein tak hanya bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Secara informal dia juga menghadiri acara Sufi Gathering yang digelar Nahdlatul Ulama. Di acara tersebut, Abdullah duduk di samping Letnan Jenderal Purnawirawan Prabowo Subianto, yang kini menjadi salah satu kandidat presiden. "Pertemuan antara Prabowo dan Abdullah merupakan reuni," kata Ketua Umum NU Said Aqil Siroj saat itu.
Prabowo dan Abdullah memang kawan lama. Anak laki-laki pertama Raja Hussein ini menawarkan bantuan saat Prabowo sedang terpuruk. Menantu Presiden Soeharto yang tadinya dianggap rising star itu diberhentikan dari dinas militer karena dinilai terlibat berbagai pelanggaran disiplin, termasuk penculikan sejumlah aktivis pada 1997-1998. Rekomendasi pemberhentian diterbitkan oleh Dewan Kehormatan Perwira yang diketuai Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Subagyo Hadisiswoyo dan beranggotakan antara lain Letnan Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono.
Ketika itu, menurut Fadli Zon, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra yang sangat dekat dengan Prabowo, Abdullah datang secara incognito ke Jakarta dan mengajak Prabowo tinggal di Yordania. "Prabowo tadinya tidak mau," ujar Fadli beberapa pekan lalu.
Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, mengisahkan nasihat yang disampaikan kepada putranya dalam wawancara pada Mei 2000 kepada Tempo. "Bowo, kalau kamu dalam keadaan susah, jangan pernah mengharapkan bantuan dari orang yang pernah kamu bantu. Dalam pengalaman saya, justru orang-orang yang pernah saya bantulah yang lari menyelamatkan diri ketika saya sedang sulit," ujarnya. "Tapi percayalah, bantuan justru datang dari orang-orang yang tidak terduga." Benar saja, ia menerima uluran tangan dari Pangeran Abdullah.
Seperti ditulis Tempo pada Januari 1999, seorang sumber mengisahkan kedekatan Prabowo dengan Abdullah bermula pada Desember 1995. Waktu itu, Abdullah-yang kini menjadi raja menggantikan Hussein yang wafat-ingin bertemu dengan Menteri Negara Riset dan Teknologi B.J. Habibie. Tapi pertemuan tak kunjung terwujud meski Abdullah sudah menunggu beberapa hari. Ketika ia ingin bertemu dengan Panglima ABRI Feisal Tanjung, ternyata orang nomor satu militer Indonesia ini pun tengah ke Turki. Akhirnya, ia dibujuk memperpanjang kunjungan untuk menghadiri pelantikan komandan baru Kopassus, Prabowo Subianto. Abdullah, yang ketika itu juga Komandan Pasukan Khusus Yordania (SOCOM), memutuskan menerima undangan tersebut dan berkenalan lebih dekat dengan Prabowo.
Dalam wawancara dengan Tempo pada November 2000, Prabowo mengatakan tak berencana tinggal lama di luar negeri. Ia ingin beristirahat satu tahun, keluar dari hiruk-pikuk politik. "Saya dihajar terus di koran. Masak, saya harus melayani hal itu tiap hari." Prabowo akhirnya pergi ke Yordania pada 14 September 1998.
Di hari-hari pertama tinggal di Yordania, Prabowo mengisahkan, dia diperlakukan dengan sangat baik. Dia dijemput di ruang very important person dan diberi kendaraan istana. "Abdullah awalnya memang tidak menemui saya karena beliau sedang di luar negeri," katanya. Tak hanya tinggal, pada Desember 1998 muncul kabar di media Al Ra'i bahwa Prabowo diberi status kewarganegaraan Yordania lewat dekrit Raja Hussein. Namun Prabowo mengaku menolak anugerah itu. "Kita kan tidak boleh punya dua kewarganegaraan," ujarnya saat diwawancarai pada November 2000.
Meski Prabowo terasing dari Jakarta, beberapa teman tetap mendatanginya. Hanya beberapa pekan setelah dia tinggal di Amman, Fadli Zon berkunjung bersama beberapa tokoh Islam Indonesia. Di dalam rombongan itu antara lain ada tokoh Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), Ahmad Sumargono.
Faried Prawiranegara, kawan Prabowo sejak kecil, juga pernah mengunjungi Prabowo di Yordania. "Saya bertemu dengan Bowo di Yordania dua kali," kata Faried. Yang pertama sewaktu Prabowo masih tinggal di hotel. "Seingat saya, Holiday Inn." Yang kedua sesudah dia pindah ke sebuah apartemen. Saat kunjungan kedua, Faried dan Prabowo berkesempatan makan siang dengan Pangeran Abdullah di sebuah restoran. Faried menggunakan kesempatan itu untuk membicarakan kemungkinan bantuan yang bisa ia dapatkan. "Saya kan waktu itu mau mendirikan Partai Bulan Bintang," ucap Faried.
Teman lain yang pernah mengunjungi Prabowo di Amman adalah musikus Iwan Abdulrachman. Menurut Iwan, Prabowo tinggal di sebuah kompleks kelas menengah di Amman. "Prabowo lebih sering berada di dalam rumah," ujarnya.
Selama sekitar 15 bulan di pengasingan, Prabowo tak hanya menetap di Yordania. Ia juga pernah tinggal di Kuala Lumpur dan Singapura. "Saya juga pernah mengunjunginya saat di Malaysia dan Singapura," ujar Faried Prawiranegara. Malaysia bukan negeri yang asing bagi Prabowo. Ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, menganggap Malaysia sebagai rumah kedua karena pernah tinggal di sana saat bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta.
Di Yordania, menurut Fadli Zon, Prabowo juga belajar bisnis. Sepulang ke Indonesia, Prabowo dan Fadli pernah pergi bersama Luhut Panjaitan, yang ketika itu sudah menjadi Menteri Perdagangan, ke Irak. "Waktu itu mau mencari minyak. Kan, ada program oil for food," kata Fadli. Perserikatan Bangsa-Bangsa mengizinkan ekspor minyak Irak hanya untuk ditukar dengan makanan buat membantu rakyatnya yang kelaparan. Menurut Luhut, Prabowo ikut rombongannya. "Saya ketemu Saddam Hussein atas perintah Presiden Abdurrahman Wahid," ujarnya.
Pada September 2000, Prabowo dan Fadli juga melakukan perjalanan ke beberapa negara Islam, di antaranya Iran dan Libya, untuk urusan bisnis. Ada beberapa tokoh dari Indonesia yang ikut dalam rombongan itu, antara lain tokoh Muhammadiyah, Amien Rais dan Syafii Maarif. Mereka bertemu dengan pemimpin Libya saat itu, Muammar Qadhafi, dan pemimpin Iran Ali Khamenei.
"Dia minta tolong dikenalkan," kata Syafii pekan lalu. Menurut Amien Rais, Prabowo tahu kedekatannya dengan Qadhafi. "Tapi bisnis tak berhasil karena ongkos kirim terlalu mahal dan jarak terlalu jauh," ujarnya. Sedangkan untuk Iran, proposal belum lengkap sehingga tak tercapai kesepakatan bisnis.
Meski tak menderita hidup di pengasingan, Prabowo tetap ingin pulang ke Tanah Air. Menurut Fadli, pernah pada akhir 1998 Prabowo sudah mau pulang. Tapi ia dicegat teman-teman dan keluarganya di Bangkok, Thailand. Bahkan saat itu Sumitro juga datang. "Kami bilang kondisi belum memungkinkan," ucap Fadli.
Ketika Abdurrahman Wahid menjadi presiden, Prabowo kembali berusaha pulang ke Indonesia. Prabowo menemui Gus Dur saat sang Presiden berkunjung ke Yordania. Menteri Luar Negeri saat itu, Alwi Shihab, dan putri Gus Dur yang kerap mendampingi ayahnya, Zannuba Ariffah Chafsoh atau dikenal dengan nama Yenny Wahid, membenarkan adanya pertemuan itu. Prabowo mendapat kabar menyenangkan. "Atas dasar kemanusiaan, Gus Dur langsung memberikan izin bagi Prabowo untuk kembali," kata Yenny lewat pesan pendek. Gus Dur juga meminta Alwi memfasilitasi kepulangan Prabowo. "Dia pemaaf," ujar Alwi. Prabowo segera mengunjungi ayahnya yang sedang dirawat di Singapura. Kemudian mereka pulang ke Tanah Air. "Pada 2 Januari tahun 2000," kata Fadli Zon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo