Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Agar Jakarta Tak Kian Ambles

Larangan pengambilan air tanah secara terbatas di Jakarta mulai berlaku 1 Agustus 2023. Ikhtiar menghentikan penurunan tanah.

29 Mei 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jakarta menjadi kota dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia.

  • Sekitar 70 persen penurunan tanah di Jakarta terjadi karena eksploitasi air tanah.

  • Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melarang pengambilan air tanah di 12 jalan dan 9 kawasan mulai 1 Agustus mendatang.

Tanda bahaya itu ada di Muara Baru, Penjaringan, Jakarta Utara. Peninggalan Masjid Wal Adhuna menjadi bukti nyata ancaman tenggelamnya Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewi, warga yang sejak lahir tinggal di Muara Baru, mengatakan Wal Adhuna dibangun pada 1993. Masjid itu menjadi satu-satunya tempat warga sekitar salat berjemaah, termasuk tarawih pada bulan suci Ramadan. Pada awal 2000-an, banjir kian sering merendam permukiman itu, termasuk rumah ibadahnya. Sekitar 2004 dan 2005, Wal Adhuna tak lagi menggelar salat berjemaah karena terendam saban air laut pasang. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hanya menyisakan dinding, masjid itu menjadi satu-satunya bangunan di bekas permukiman tersebut. Berdiri ringkih di tengah genangan air dan menjadi gambaran Jakarta di masa mendatang jika tidak dilakukan langkah perubahan. 

"Daratan makin rendah, lautan makin tinggi," ujar Dewi, 35 tahun, di lokasi. Tanpa tanggul banjir yang menjulang sekitar 2 meter, dia melanjutkan, rumahnya pun bakal bernasib sama dengan Masjid Wal Adhuna. Tanggul, untuk sementara, memang melindungi warga dari limpasan air pasang. Namun masalah sebenarnya adalah permukaan tanah yang terus menurun.

Masjid Wal Adhuna di Muara Baru, Jakarta Utara, 26 Mei 2023. TEMPO/Jihan Ristiyanti

Jakarta menjadi kota dengan laju penurunan tanah tercepat di dunia. Bosman Batubara, peneliti posdoktoral geografi manusia dan tata ruang di Utrecht University, Belanda, menyatakan tanah ambles hingga 20 sentimeter per tahun di sejumlah lokasi di Ibu Kota. Sementara itu, permukaan air laut naik 0,5 sentimeter per tahun. "Kombinasi keduanya meningkatkan risiko banjir di seluruh kota," demikian Bosman menulis di 360info, situs web ilmiah yang dikurasi Monash University, Australia.

Terdapat empat penyebab penurunan tanah, yaitu eksploitasi air tanah, tekanan besar dari gedung-gedung tinggi, pemadatan lapisan tanah muda, dan aktivitas tektonik. Bosman menyatakan Jakarta mengalami keempatnya, dengan dua faktor awal sebagai kontributor utama.

Firdaus Ali, dosen dan peneliti teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, mengatakan tanah seharusnya mengandung udara dan air. Namun, akibat penyedotan air tanah yang berlebihan, air dan udara itu terangkat dari lapisan tanah Jakarta. 

Menurut Firdaus, pengambilan air tanah dalam, yang dilakukan gedung tinggi, lebih berdampak buruk ketimbang sumur dangkal ala perumahan. "Sebab, air tanah dalam terisi lewat proses yang membutuhkan waktu hingga seratus tahun," kata Firdaus di 360info. Sementara itu, air tanah dangkal bisa kembali terisi pada musim hujan. "Ketika pori-pori tanah kosong dan mendapat tekanan dari permukaan, terjadi penurunan tanah."

Ilustrasi warga memanfaatkan air tanah untuk mandi, cuci, dan kakus (MCK) di salah satu perkampungan di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Larangan Penggunaan Air Tanah Jakarta

Di tengah pembangunan ibu kota baru di Kalimantan Timur, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan kebijakan yang mungkin bisa menyelamatkan Jakarta agar tidak tenggelam, yaitu Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 tentang Zona Bebas Air Tanah. Aturan ini melarang penggunaan air tanah di 12 ruas jalan serta sembilan kawasan dengan tingkat penurunan tanah terparah dan dipadati gedung tinggi mulai 1 Agustus mendatang.

Kepala Seksi Geologi dan Konservasi Air Baku Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Aditya Putra Brata, mengatakan aturan ini menyasar bangunan dengan luas lebih dari 5.000 meter persegi dan gedung lebih tinggi dari delapan tingkat. Artinya, masyarakat kebanyakan masih diperbolehkan memanfaatkan air tanah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sebaliknya, pengelola gedung dan bangunan yang terkena larangan hanya bisa memenuhi kebutuhan air dari Perusahaan Daerah Air Mineral (PDAM). 

Dinas Sumber Daya Air sedang menginventarisasi kebutuhan air gedung-gedung di kawasan bebas air tanah. “Target kami, akhir Juli selesai inventarisasi,” ujar Aditya kepada Tempo. Hasil penghitungan tersebut akan dijadikan neraca air yang menggambarkan kebutuhan dan pasokan air setiap gedung. 

Neraca itu yang akan dijadikan dasar pengawasan penggunaan air tanah. Misalnya, suatu gedung tercatat membutuhkan 150 meter kubik air, tapi pemakaian air PAM mereka hanya 100 meter kubik. "Maka anomali 50 kubik perlu dipertanyakan, dari mana asal muasalnya," kata Aditya. 

Pemilihan zona larangan air tanah juga dipengaruhi ketersediaan air PAM. Sub-Koordinator Perencanaan Bidang Geologi Konservasi Air Baku Dinas Sumber Daya Air DKI, Elizabeth Tarigan, mengatakan PDAM baru bisa melayani 50-60 persen masyarakat Jakarta, dengan mayoritas layanan di bagian tengah dan utara. “Karena di Jakarta Pusat dan Utara kondisi airnya mengarah ke payau,” ujarnya. Dia mengatakan PDAM mengklaim dapat memenuhi kebutuhan air bersih di zona bebas air tanah.

#Infog Metro 5.1.1-Di Sini Dilarang Sedot Air Tanah

Meski larangan ini bersifat terbatas, pemerintah DKI merasa perlu melakukan pembatasan. Elizabeth mengatakan penggunaan air tanah di Jakarta terlampau masif, khususnya akibat sumur dalam—lebih dari 40 meter. Menurut dia, rata-rata sumur dalam di Jakarta mencapai 300 meter, dengan pengambilan air dari kedalaman 200 meter. Catatan Dinas SDA menyebutkan terdapat 5.000 sumur dalam di Ibu Kota.

Pengamat tata kota dari Universitas Trisakti, Nirwono Yoga, mengatakan Jakarta bagian tengah dan utara mengalami penurunan tanah lebih parah ketimbang wilayah lain. Penyebabnya, selain akibat pengambilan air tanah, yang juga berlangsung di bagian lain, adalah beban bumi dari gedung tinggi dan infrastruktur kota. 

Sementara itu, sekitar 40 persen tanah di sana berupa lempung. "Diperparah oleh kenaikan air laut di Jakarta Utara," ujar Nirwono. Dengan kondisi tanah seperti ini, dia menyarankan pemerintah DKI melengkapi aturan larangan pengambilan air tanah ini dengan pembatasan gedung tinggi.

Ilustrasi penjual air eceran di kawasan Muara Angke, Jakarta Utara. Dokumentasi TEMPO/STR/M. Iqbal Ichsan

Peneliti geodesi dan geomatika Institut Teknologi Bandung, Heri Andreas, mengatakan eksploitasi air tanah menyumbang setidaknya 70 persen dari penurunan permukaan tanah Jakarta. Dia merupakan salah satu akademikus yang sudah lama menyuarakan larangan pengambilan air tanah. Namun dia juga memperingatkan bahwa Peraturan Gubernur Nomor 93 Tahun 2021 ini bisa jadi senjata makan tuan, mengingat terbatasnya pasokan air bersih dari PDAM. "Saat ini, hal yang paling penting adalah mencari air penggantinya," kata dia.

Meski mengapresiasi Pergub Nomor 93, menurut Heri, pelarangan penggunaan air tanah bisa menjadi buah simalakama bagi pemerintah. Sebab, pemda masih belum bisa memenuhi 100 persen kebutuhan air warga Jakarta.

“Realisasinya mungkin tidak akan sepenuhnya terlaksana karena ada problematika tadi. Saat ini paling penting cari substitusi airnya,” ujarnya.

JIHAN RISTIYANTI | 360INFO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus