Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Turunnya peringkat Indeks Performa Logistik dianggap sebagai fenomena gunung es masalah logistik.
Pemerintah menyatakan penurunan peringkat LPI disebabkan oleh disrupsi rantai pasok akibat pandemi.
Pengusaha mengeluhkan sejumlah persoalan logistik.
JAKARTA – Turunnya peringkat Indeks Performa Logistik (LPI) Indonesia menambah pekerjaan rumah pemerintah untuk membenahi sektor logistik di Tanah Air. Musababnya, empat dari enam komponen penilaian dalam LPI yang dirilis Bank Dunia tersebut mengalami penurunan skor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CEO Supply Chain Indonesia (lembaga penelitian logistik dan rantai pasok), Setijadi, mengatakan LPI bisa menjadi pintu masuk untuk menelaah berbagai persoalan di sektor logistik, meski tidak menggambarkan kinerja keseluruhan atau biaya logistik secara spesifik. "LPI bisa merupakan fenomena gunung es yang mengindikasikan keberadaan berbagai persoalan dalam sektor logistik," ujarnya pada Kamis, 20 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada April lalu, peringkat Indonesia turun dari posisi ke-46 pada 2018 ke peringkat ke-61 dari 139 negara dalam LPI yang dirilis Bank Dunia. Dari enam komponen yang dihitung Bank Dunia, empat parameter mengalami penurunan nilai. Keempatnya adalah pengiriman internasional, kompetensi logistik, pelacakan dan penelusuran, serta ketepatan waktu. Adapun dua komponen yang nilainya naik adalah kepabeanan dan infrastruktur. Indonesia membukukan skor LPI 3 atau kalah oleh Malaysia di peringkat ke-26 yang mengantongi skor 3,6.
Menurut Setijadi, tanpa melihat perubahan peringkat atau perbandingannya dengan negara lain, indeks tersebut dapat digunakan untuk menganalisis perbaikan, yakni dengan melihat perubahan skor setiap dimensi. Misalnya, analisis dan prioritas perbaikan terhadap dimensi-dimensi yang mengalami penurunan skor pada LPI 2023.
Dia mengatakan perbaikan skor indeks kinerja logistik harus dilakukan secara sistematis dengan program-program yang terintegrasi antar-kementerian dan lembaga, juga pelaku usaha sektor logistik. "Diperlukan penunjukan kementerian/lembaga sebagai penanggung jawab peningkatan LPI dan pengembangan sektor logistik secara keseluruhan, yang sekarang belum ada," ujar Setijadi.
Pelaksana tugas Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian, Ferry Irawan, sadar empat komponen tersebut menjadi pemberat Indeks Performa Logistik Indonesia. Akibatnya, posisi LPI Indonesia turun 15 peringkat ke urutan 61 pada tahun ini dibanding posisi pada 2018. Skor LPI Indonesia juga turun dari 3,2 pada 2018 menjadi 3 pada tahun ini.
Petugas melintas diantara peti kemas di Cikarang Dry Port (CDP) di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, 27 Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan
Penyebab Anjloknya Indeks Performa Logistik Versi Pemerintah
Ferry mengatakan penurunan nilai ini antara lain dipengaruhi oleh disrupsi rantai pasok yang terjadi selama masa pandemi dan pasca-Covid-19. Kondisi tersebut dianggap sebagai penyebab pengiriman di pelabuhan menjadi tidak efisien. Adapun faktor lainnya ialah tensi geopolitik global yang sempat tinggi sehingga membuat transaksi perdagangan internasional terhambat.
Padahal, kata dia, jika melihat kecepatan bongkar-muat di pelabuhan atau port dwell time yang juga dikeluarkan Bank Dunia dalam laporan LPI, Indonesia mencatatkan waktu rata-rata 3,2 hari. "Angka ini meningkat cukup signifikan dan di kawasan ASEAN hanya berada di bawah Singapura, yang port dwell time-nya rata-rata tiga hari," ujar Ferry.
Guna membenahi kinerja logistik Indonesia, ia melanjutkan, pemerintah terus berupaya mengefisienkan biaya logistik melalui penguatan konektivitas antardaerah dengan pembangunan infrastruktur. Berbagai kebijakan pemerintah dalam memperkuat konektivitas wilayah juga ditempuh sebagai upaya menurunkan disparitas harga antardaerah.
Kebijakan konektivitas yang dimaksudkan itu antara lain pengembangan National Logistic Ecosystem (NLE). Ekosistem tersebut diklaim melibatkan berbagai pihak yang menangani arus logistik barang, sistem perbankan, sistem transportasi pergudangan, dan entitas-entitas lainnya. Sistem tersebut telah diimplementasikan secara bertahap di 46 pelabuhan pada 2023.
Menyitir laman Kementerian Koordinator Perekonomian, penerapan NLE didasarkan pada empat pilar utama, yakni perbaikan layanan pemerintah di bidang logistik melalui simplifikasi proses bisnis berbasis elektronik, kolaborasi sistem layanan logistik antar-pelaku kegiatan logistik, kemudahan dan fasilitasi pembayaran antar-pelaku usaha ihwal proses logistik, serta penataan sistem dan tata ruang kepelabuhanan serta jalur distribusi.
Di samping NLE, Ferry menuturkan, pemerintah terus menggenjot pembangunan jalan dan jembatan untuk mempercepat peningkatan konektivitas jalan daerah, memperbaiki bandara-bandara, meningkatkan jalur kereta, serta mengoptimalkan tol laut dan jembatan udara. "Namun, untuk mewujudkan sistem logistik yang memadai, masih diperlukan upaya-upaya antara lain dengan mendorong digitalisasi untuk mendukung kelancaran logistik yang saat ini belum sepenuhnya didukung SDM yang memadai," ujarnya.
Truk pengangkut kontainer melintas di ruas tol Jakarta Cikampek kawasan Pekayon, Kota Bekasi, Jawa Barat. Tempo/Tony Hartawan
Upaya Menggenjot Penilaian Indeks Performa Logistik
Juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati, juga menuturkan pemerintah terus berupaya memperkuat sistem transportasi logistik yang transparan, terintegrasi, dan terkendali untuk bisa menggenjot penilaian Indeks Performa Logistik. Selain NLE, ia mengatakan, ada dua sistem digital yang dibuat pemerintah untuk membenahi kinerja logistik, yakni Inaportnet dan Indonesia National Single Window (INSW).
Inaportnet adalah sistem informasi layanan tunggal secara elektronik berbasis Internet untuk mengintegrasikan sistem informasi kepelabuhanan untuk melayani kapal dan barang. Adapun INSW merupakan sistem untuk penyampaian data dan informasi, juga pemrosesan data serta informasi secara tunggal dan sinkron.
Kendati pemerintah mengklaim telah mengupayakan berbagai hal untuk menggenjot kinerja logistik, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (Aptrindo), Gemilang Tarigan, mengingatkan bahwa Indeks Performa Logistik yang dirilis Bank Dunia itu mencerminkan persepsi responden—yakni pemain logistik internasional—terhadap pelayanan di Indonesia. "Survei Bank Dunia ini adalah wawancara terhadap responden pemain logistik internasional. Tentu hasilnya berupa persepsi sehingga apa yang dirasakan terhadap kemudahan bertransaksi di bidang logistik di Indonesia ternyata masih kurang," ujar dia.
Beberapa penyebab turunnya kinerja logistik itu, menurut Gemilang, antara lain banyaknya jalan tol yang dibangun justru memiliki tarif tinggi bagi para pelaku logistik. Akibatnya, mereka pun memilih jalan non-tol yang tarifnya gratis. Di samping itu, ia merasa digitalisasi yang digadang-gadang pemerintah baru diterapkan di beberapa sektor dan area logistik saja serta belum menyeluruh.
Khusus untuk komponen ketepatan waktu yang mengalami penurunan skor cukup dalam dari 3,7 menjadi 3,3, Gemilang mengidentifikasi sedikitnya tiga persoalan di lapangan. Pertama, sistem CEISA Bea-Cukai yang sering mengalami gangguan sehingga pengiriman terhambat. Kedua, kerap ada libur mendadak yang mengganggu produksi dan pengiriman. Ketiga, sering ada larangan truk beroperasi. Tiga hal tersebut dianggap membuat ketepatan waktu logistik kerap terganggu.
"Perbaikan masih perlu dilakukan, terutama kemacetan di jalan dan pada layanan publik. Indikasinya, kalau masih banyak orang teriak, berarti belum beres," ujar Gemilang. "Contohnya, kemacetan di jalan menuju pelabuhan dan depo-depo peti kemas."
Adapun Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association (INSA), Carmelita Hartoto, mengatakan pemerintah harus memperhatikan dan memperbaiki parameter yang mengalami penurunan skor dalam Indeks Performa Logistik. Musababnya, kendati tidak mempengaruhi persepsi dunia usaha di dalam negeri, indeks tersebut dianggap cukup mempengaruhi persepsi para investor asing.
"Bahkan, kalau kita benar-benar ingin memperbaiki biaya logistik dan meningkatkan nilai kompetisi kita terhadap sesama negara ASEAN, kita harus berani membedah biaya logistik dari hulu sampai hilir, khususnya pada produk ekspor kita," ujarnya.
CAESAR AKBAR | KHORY ALFARIZI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo