Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menemukan puluhan pasal bermasalah dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pasal-pasal itu berpotensi membelenggu kebebasan masyarakat untuk berekspresi dan berpendapat. Partai oposisi khawatir pasal-pasal karet bakal digunakan untuk membungkam kritik terhadap pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam sejumlah rapat tertutup, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Edward Omar Sharif Hiariej, berupaya meyakinkan anggota parlemen untuk menghapus kekhawatiran itu. Pemerintah berniat tulus membuat produk hukum anak negeri agar bisa menggantikan KUHP yang menjadi warisan kolonial Belanda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pemerintah memberi janji kepada kami bahwa RKUHP tidak digunakan untuk memukul lawan (oposisi),” kata seorang anggota Fraksi Partai Demokrat, kemarin. Anggota Fraksi Demokrat ini ikut dalam rapat pembahasan RKUHP bersama Eddy Hiariej—sapaan akrab Edward Omar Sharif Hiariej. “Pemerintah katanya hanya ingin membuat legacy yang benar-benar legacy.”
Janji itu disampaikan Eddy ketika Partai Demokrat mengkritik pasal ancaman pidana penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden, kekuasaan umum, dan lembaga negara. Bagi partai oposisi, pasal tersebut berpotensi membuka ruang kepada pemerintah untuk membungkam para pengkritiknya. Karena itu, Demokrat mendesak agar pasal tersebut dihapus.
Eddy Hiariej menampik kecurigaan itu dengan memberi penjelasan tentang perbedaan kritik dan penghinaan. Dalam salah satu klausul, elemen pemerintah yang merasa dihina wajib memberikan aduan secara langsung atau tertulis. Tidak hanya menyangkut masalah penghinaan, beberapa pasal lain yang menjadi sorotan parlemen juga dikoreksi pemerintah.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 November 2022. TEMPO/M. Taufan Rengganis
Komisi Hukum DPR dan pemerintah sebelumnya telah menyepakati pembahasan RKUHP di tingkat I pada 24 November 2022. Ini merupakan kesepakatan kedua antara Komisi Hukum DPR dan pemerintah setelah pada 2019 gagal mencapai paripurna karena RKUHP mendapat hujan kritik. Ketika itu, gelombang demonstrasi muncul bersamaan dengan pembahasan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi yang memicu demonstrasi “Reformasi Dikorupsi”.
Dalam draf RKUHP teranyar, pemerintah dan DPR tetap mempertahankan keberadaan pasal-pasal kontroversial. Misalnya, pasal penghinaan terhadap harkat dan martabat presiden dan wakil presiden serta penghinaan terhadap pemerintahan yang sah. Pasal-pasal ini merupakan warisan kolonial yang memang sengaja dibuat untuk mempertahankan kekuasaan pemerintah kolonial. Koalisi masyarakat sipil menentang pasal-pasal ini, tapi pemerintah bergeming.
Pasal bermasalah lainnya yang sempat dipersoalkan parlemen, antara lain, adalah perbuatan merendahkan martabat pengadilan dan pemberlakuan pidana mati. Belakangan, ancaman pidana yang menyangkut pelarangan paham komunisme, Marxisme-Leninisme, dan ideologi lainnya yang bertentangan dengan Pancasila juga dipermasalahkan.
Perumusan RKUHP sudah digagas oleh akademikus melalui Seminar Hukum Nasional I yang digelar pada 1963. Pemerintah kemudian membentuk tim perumus agar KUHP—hasil terjemahan dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie—dapat diganti. Pemerintah sempat membentuk tim perumus pada 2004, yang dipimpin oleh pakar hukum pidana Profesor Muladi.
Pemimpin tim perumus kemudian berpindah ke tangan guru besar hukum pidana Universitas Indonesia, Profesor Harkristuti Harkrisnowo. Dia bersama Eddy berkeliling melakukan konsinyering pembahasan dengan masyarakat sipil dan para anggota parlemen. “Pemerintah ingin (RKUHP) disahkan pada Desember ini,” kata seorang sumber di Kemenkum HAM. “Hanya, masih ada beberapa yang dipertimbangkan terkait dengan substansi pasal-pasal yang jumlahnya dipangkas.”
Juru bicara Tim Sosialisasi RKUHP, Albert Aries, belum bisa memberi penjelasan tentang pernyataan Eddy bahwa RKUHP tidak akan digunakan oleh pemerintah untuk memukul lawan politik. Albert berjanji bakal memberi jawaban hari ini. “Sudah saya katakan besok saya balas. Masak malam ini juga saya harus menjawab pertanyaan?” kata Albert singkat. Ia sebelumnya mengatakan pemerintah sejak 2019 memang intensif mensosialisasi RKUHP bersama masyarakat sipil dan parlemen.
Kemarin, Presiden Jokowi memimpin rapat terbatas membahas perkembangan pembahasan RKUHP antara pemerintah dan DPR. Dikutip dari situs web Sekretariat Kabinet, Setgab.go.id, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan sejumlah masalah dalam RKUHP sudah disepakati pemerintah dan DPR. “Ada materi-materi yang diperdebatkan, baik di kalangan masyarakat maupun antarpartai. Tapi sejumlah masalah sudah disepakati dan sudah dikoordinasikan untuk mencari titik temu keseimbangan antara kepentingan individual, kepentingan masyarakat, dan kepentingan negara,” kata Tito.
Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad, menyebutkan parlemen masih perlu menggelar rapat pimpinan untuk sidang paripurna tingkat II pengesahan RKUHP. Targetnya, undang-undang ini disahkan sebelum masa reses berlangsung pada pertengahan Desember. “Bahwa ada pasal-pasal yang masih dirasa kontroversial, saya rasa kemarin (hal itu) sudah menjadi bahan pertimbangan teman-teman dan kami lakukan kajian,” kata Dasco.
Kajian yang dimaksudkan Dasco mengacu pada sikap partai-partai yang menerima RKUHP dengan catatan perbaikan. Adapun mayoritas partai di parlemen sepakat RKUHP segera disahkan dengan catatan tambahan. Bila ada kelompok masyarakat yang tidak puas atas proses legislasi tersebut, Dasco menyarankan agar mereka mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.
Anggota Komisi Hukum Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, membenarkan bahwa pemerintah dan parlemen bersepakat mengesahkan RKUHP tahun ini. Alasannya, parlemen sudah menerima banyak masukan dari organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengkritik RKUHP. “Antara lain, Aliansi Nasional Reformasi KUHP yang merupakan gabungan lebih dari 20 lembaga swadaya masyarakat bidang hukum dan hak asasi manusia,” kata Arsul.
Sebagian besar kritik Aliansi Nasional Reformasi KUHP dinilai sudah diakomodasi oleh parlemen dan pemerintah. Tentu pengakomodasian itu berbasis kompromi dari berbagai sudut pandang, termasuk yang muncul dalam pembahasan. Ia tidak menampik ada beberapa masukan yang tidak terakomodasi karena perbedaan sudut pandang dengan parlemen. “Parlemen harus mengakomodasi berbagai pandangan, tidak hanya memfasilitasi kelompok tertentu,” katanya.
Aksi mahasiswa menolak RKUHP di kawasan Patung Kuda, Jakarta, 21 Juni 2022. TEMPO/Magang/Muhammad Syauqi Amrullah
Mengakomodasi Kepentingan Koalisi Masyarakat Sipil
Eddy Hiariej kemarin menyatakan pihaknya tidak akan merespons kabar represi yang dialami organisasi masyarakat sipil ketika menggelar demonstrasi menolak RKUHP di Bundaran Hotel Indonesia pada Ahad lalu. Edward menilai unjuk rasa merupakan bagian dari demokrasi. “Ya, itu kan bagian dari demokrasi, didengarkan saja,” kata dia. Toh, jika masyarakat memprotes, kata Edward, pintu gugatan melalui Mahkamah Konstitusi terbuka lebar. “Boleh (menggugat), silakan ke MK. Kami sangat siap."
Salah seorang anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP menceritakan, Eddy sejak beberapa tahun terakhir memang getol menggandeng masyarakat sipil untuk merumuskan draf RKUHP. Mereka menggelar beberapa kali pertemuan, satu di antaranya di Hutan Kota Plataran, Jakarta Pusat, pada 1 Agustus lalu. “Tapi enggak mengajak semua orang, hanya personal dan itu menjadi pertanyaan bagaimana representasinya,” ucap dia.
Dia curiga pertemuan-pertemuan itu disebut hanya upaya pemerintah untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat sipil. Seolah-olah tim perumus telah mengakomodasi berbagai kritik yang datang dari masyarakat sipil. Kenyataannya, pasal-pasal yang dipermasalahkan masih bercokol di RKUHP. Di antaranya tentang penghinaan terhadap presiden, pasal larangan penyebaran komunisme dan ideologi lainnya, serta berbagai klausul yang membelenggu kebebasan berekspresi.
Melalui laman resmi Direktorat Perancangan Peraturan Perundang-undangan, pemerintah getol mengabarkan proses pembahasan RKUHP. Pada 26 Oktober 2021, misalnya, pemerintah melakukan kosinyering bersama Harkristuti Harkrisnowo membahas 14 isu krusial dalam RKUHP. Kemudian, pada 28 November 2022, mereka juga menggelar rapat dengan Aliansi Nasional Reformasi KUHP untuk membahas usulan-usulan masyarakat sipil. Rapat tersebut dipimpin oleh Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan, Cahyani Suryandari.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai RKUHP sengaja dipaksakan untuk disahkan pada tahun ini dengan masuknya sejumlah pasal bermasalah. “Memang ada perubahan redaksi beberapa pasal. Tapi pasal-pasal lain yang melanggar nilai-nilai konstitusional kan enggak berubah,” kata Feri. “Kemerdekaan orang menyampaikan pendapat tetap terbelenggu.”
Feri juga mempermasalahkan adanya pasal yang bersifat lese-majeste atau ancaman pidana terhadap penyerangan harkat dan martabat kepala negara. Pasal tersebut seolah-olah menempatkan presiden dan wakil presiden sebagai raja di negara otoritarianisme. “Hukum pidana digunakan untuk menghambat hak-hak konstitusional orang dan ini berbeda dengan semangat reformasi.”
AVIT HIDAYAT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo