Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Sejumlah badan usaha milik negara (BUMN) di bidang konstruksi menanggung tambahan utang yang signifikan. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan hampir semua "BUMN Karya" menjadi bantalan pemerintah dalam mewujudkan target pembangunan infrastruktur, sehingga sebagian besar perusahaan tersebut mesti berutang untuk membiayai proyeknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tahapnya sudah membahayakan jika utang terus naik tanpa dibarengi produktivitas. Kewajiban pembayaran utang, terutama utang jangka pendek, bisa menggerus pendapatan mereka," kata dia, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bhima mengingatkan bahwa risiko utang yang semakin besar karena BUMN Karya dibebani penugasan atau proyek baru pada masa kepemimpinan kedua Presiden Joko Widodo. Menurut dia, pemerintah sudah diingatkan untuk mencari skema pendanaan yang aman untuk menekan risiko utang BUMN.
Bhima pun merujuk pada kajian Standard and Poor’s (S&P) Global pada 2018, yang menyebutkan lonjakan rasio utang terhadap laba sebelum bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi (Debt to EBITDA ratio) pada 20 BUMN kian melambung dari satu kali pada 2011 menjadi 4,5 kali pada 2017. Dengan demikian, tingkat peminjaman untuk investasi (leverage) menanjak beberapa kali lipat dan bisa mempengaruhi kemampuan perusahaan untuk melunasinya.
Dalam riset tersebut, S&P Global menyebutkan pemerintah hanya mendanai sebagian kecil investasi infrastruktur 2014-2019, sehingga BUMN Karya harus mencari pinjaman untuk modal kerja. Ironisnya, upaya itu tidak diimbangi dengan pertumbuhan kas yang baik. "Proyek yang digarap sifatnya jangka panjang, sementara mayoritas pembayaran bunga dan utang jatuh tempo hanya 5-6 tahun," kata Bhima.
S&P Global menyoroti empat BUMN Karya, yaitu PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk atau PT PP, serta PT Adhi Karya (Persero) Tbk. Pada 2018, Waskita Karya mencatat utang tertinggi sebesar Rp 95,5 triliun dan Wijaya Karya di posisi kedua, yakni Rp 42 triliun. Waskita mencatatkan rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER) 3,31 kali pada 2018, sementara DER Wijaya Karya 2,44 kali.
Kepala Riset Koneksi Kapital Indonesia, Alfred Nainggolan, mencatat utang BUMN Karya ada yang mencapai 5 kali dari nilai ekuitasnya. Namun, kata dia, kondisi setiap perusahaan ini tak seragam karena dibebani penugasan yang berbeda. "Sumber untuk menambah ekuitas hanya dari sisa laba atau setoran modal, dan laba pun belum tentu bisa menutupi batas (rasio utang terhadap ekuitas) yang aman."
Deputi Usaha Konstruksi, Sarana, dan Prasarana Perhubungan Kementerian BUMN, Ahmad Bambang, mengatakan tingginya rasio utang terhadap ekuitas BUMN konstruksi disebabkan belum cairnya dana talangan proyek dari pemerintah. "Target kami, DER BUMN Karya tidak melebihi 3,0 kali," ujarnya.
Menurut Bambang, BUMN Karya bisa mengurangi beban lewat sejumlah skema, salah satunya divestasi atau pelepasan aset. "Itu memberikan return bagus, seperti yang dilakukan Waskita pada jalan tol yang sudah beroperasi."
Komisaris Waskita Karya, Danis Hidayat Sumadilaga, mengatakan manajemen harus mencari alternatif pembiayaan yang tak membebani negara. "Direktur pengembangan pasti mencari strategi yang terukur," kata dia. Sekretaris Perusahaan PT Waskita Toll Road (WTR), Alex Siwu, mengatakan divestasi menjadi cara mencari dana segar untuk berinvestasi pada proyek lain. Dia memberi contoh proses penjualan dua dari 18 jalan tol yang dikelola perseroan, yakni jalan tol Solo-Ngawi dan Ngawi-Kertosono, sudah memasuki tahap akhir. "Kami upayakan beres bulan depan."
Perusahaan lain yang membukukan utang jumbo ialah PT Hutama Karya (Persero). Dalam laporan tahunan 2017, Hutama Karya mencatatkan kenaikan utang jangka pendek Rp 1,42 triliun, meningkat 3.029 persen dari 2016 yang mencapai Rp 45 miliar. Melambungnya utang berkaitan dengan dana talangan pembebasan lahan jalan tol Trans Sumatera.
Sekretaris Perusahaan Hutama Karya, Muhammad Fauzan, mengatakan perseroan memang tengah mengejar target perampungan jalan tol Trans Sumatera sepanjang 2.765 kilometer. Proyek tersebut menelan biaya besar, yakni Rp 476 triliun. "Namun, dari sisi solvability, rasio utang berbunga terhadap ekuitas kami pada kuartal pertama 2019 mencapai 0,54 kali, itu di bawah batas maksimum 2,25 kali, sehingga masih terdapat ruang untuk pinjaman." YOHANES PASKALIS PAE DALE
Menyerempet Batas Aman
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo