Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEBING berceruk dan bermotif yang terbentuk dari kikisan aliran sungai menjadi pemandangan yang memikat di ngarai sepanjang 1,5 kilometer itu. Di bagian atas tebing setinggi sekitar 15-20 meter, pepohonan membuat suasana terasa adem. Akar-akar pohon yang merambat di dinding tebing dan menjuntai menjadikan suasana lebih alami. Saat sungai surut, ceruk bebatuan terisi air sungai, memerangkap ikan dan udang berukuran kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selasa lalu, Tempo menyusuri ngarai yang terletak di Desa Guwang, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali, itu. Sudah tiga tahun terakhir ngarai yang populer dengan nama Hidden Canyon (ngarai tersembunyi) Beji Guwang itu jadi destinasi wisata populer di Bali. "Dahulu Hidden Canyon disebut batu kelet, artinya bebatuan yang berdesak, berjejal-jejalan," kata pengelola Beji Guwang, Ketut Muda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum terkenal, Beji Guwang yang berarti mata air (beji dalam bahasa Bali) di Desa Guwang itu biasa digunakan warga untuk menikmati waktu luang. "Mandi, memancing, dan menangkap udang," tuturnya. Setelah puluhan tahun berlalu, kini ia tak menyangka Desa Guwang dikenal sebagai tujuan wisata karena pemandangan tebing.
Beji Guwang menjadi terkenal berkat seorang turis asal Prancis yang menjelajahi tempat itu dan mengunggah foto-foto pemandangan tebing di Internet. Pengalaman yang diabadikan turis Prancis itu menyedot perhatian warganet untuk berkunjung. Dari pengalaman turis itu, disematkan nama Hidden Canyon, karena keheningan suasana alam di antara tebing.
Antusiasme pengunjung yang terus meningkat membuat pihak Desa Guwang berinisiatif mengembangkan area tebing itu sebagai tempat wisata. Sejak April lalu, Hidden Canyon Beji Guwang dikelola secara profesional melalui badan usaha milik desa (BUMDes) Garuda Wisnu Prabawa, yang dikelola sembilan karyawan. "Kalau pemandu, ada 50 orang yang bekerja bergantian," kata Ketut.
Pada 2015, wisatawan yang ingin menjelajahi Hidden Canyon Beji Guwang cukup memberikan donasi bagi warga setempat yang memandu perjalanan. Karena jumlah kunjungan yang terus meningkat pada 2016, mulai diberlakukan tiket seharga Rp 15 ribu per orang sebagai tiket masuk. Kemudian ditambah Rp 100 ribu untuk biaya pemandu. Namun, pada 1 April 2018, tiket yang ditawarkan berubah menjadi sistem paket.
Paket untuk satu orang seharga Rp 125 ribu. Sedangkan untuk dua orang Rp 150 ribu. Adapun pengunjung yang berjumlah 3-4 orang mendapat harga paket Rp 200 ribu. Untuk pengunjung yang berjumlah 5-9 orang, harga paketnya Rp 425 ribu. Adapun harga paket untuk 10-14 orang sebesar Rp 650 ribu, dan harga yang ditawarkan untuk 15-19 orang adalah Rp 975 ribu.
Semua harga paket itu termasuk pendampingan pemandu. "Satu orang pemandu untuk mendampingi empat tamu pengunjung (grup)," ujar Ketut. Fasilitas yang didapatkan pengunjung adalah handuk, minuman, loker, ruang ganti, pancuran bilas, dan Wi-Fi. Adapun harga yang ditawarkan sejak sistem tiket berlaku tidak membedakan untuk wisatawan domestik ataupun mancanegara.
Ketut menjelaskan, pada 2017 rata-rata pemasukan yang didapatkan sekitar Rp 37 juta per bulan. Adapun sejak April 2018, nilai pemasukan yang didapatkan sudah mencapai Rp 85 juta per bulan. "Karena harga tiket dan jumlah kunjungan yang semakin meningkat," tuturnya. Menurut Ketut, pada 2017, rata-rata jumlah kunjungan per hari mencapai 120 atau 150 orang. Adapun pada April 2018, jumlah kunjungan meningkat, paling ramai 300 orang per hari.
Kepala Desa Guwang, Cokorda Rai, menceritakan pada 2015 pemasukan sesuai dengan donasi pengunjung jumlahnya beragam. "Ada yang berdonasi Rp 50 ribu, ada juga yang cuma Rp 10 ribu," katanya. Cokorda menjelaskan, saat pertama kali merintis Hidden Canyon Beji Guwang sebagai tempat wisata, pihaknya menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Menurut dia, keberadaan Beji Guwang berimbas baik bagi warga setempat, karena bisa memberikan penghasilan tambahan. "Ada lapangan kerja baru bagi warga."
Kesuksesan pengelolaan obyek wisata oleh warga juga terlihat di Umbul Ponggok, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Satu windu silam, Umbul Ponggok hanyalah sebuah pemandian umum yang tidak berpagar alias gratis. Kolam yang digunakan merupakan bekas penampungan air untuk kegiatan operasional pabrik gula pada masa kolonial Belanda. Tak disangka, setelah dikelola secara profesional, obyek wisata ini menghasilkan pendapatan sebesar Rp 8,5 miliar pada 2017.
"Pada 2010, Umbul Ponggok tidak laku dilelang meski harganya murah," kata Kepala Desa Ponggok, Junaedi Mulyono, pada Rabu, 6 Juni lalu. Selain masih terkesan kumuh, kolam dengan sumber mata air alami seluas 40 x 70 meter dan berkedalaman sekitar 1,5 sampai 2,5 meter itu hanya ramai saat padusan (tradisi mandi bersama pada satu hari sebelum Ramadan).
Sadar akan besarnya potensi pariwisata dari Umbul Ponggok jika dikelola secara serius, pada 2011 badan usaha milik desa (BUMDes) Tirta Mandiri Desa Ponggok mulai giat berdiskusi dengan pemuda setempat. BUMDes yang baru didirikan pada 15 Desember 2009 itu menggandeng Sentral Selam Jogja, sebuah industri wisata selam asal Kabupaten Sleman, Yogyakarta.
Kepada para penyelam dari Sentral Selam Jogja, BUMDes Tirta Mandiri mengajak mengambil sampel foto bawah air (underwater) di Umbul Ponggok. Hasilnya di luar perkiraan. "Ternyata jarak pandang dalam fotounderwaterdi Umbul Ponggok lebih jauh dan terang dibanding foto yang biasa mereka ambil di dasar laut. Selain airnya lebih jernih, Umbul Ponggok jauh lebih dangkal," kata Junaedi.
Sejak 2014, BUMDes Tirta Mandiri rajin mengunggah foto dan video bawah air via YouTube, Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain. Melalui media "gratisan" itulah UmbulPonggokmeraih popularitasnya.Berkat kreativitas BUMDes Tirta Mandiri yang melibatkan para pemuda setempat, UmbulPonggokmenjadi lebih berwarna dengan ditambahkannya ribuan ikan air tawar berwarna-warni serta sejumlah properti yang bervariasi untuk berswafoto di bawah air.
Rata-rata tingkat kunjungan wisatawan di Umbul Ponggok mencapai 30 ribu orang per bulan. Tanpa bantuan dari pemerintah, baik daerah maupun pusat, BUMDes Umbul Ponggok kini justru rutin menyumbang untuk pendapatan pemerintah dari sektor pajak sekitar Rp 300 juta per tahun. "Total pajak yang kami bayarkan sekitar Rp 300 juta per tahun. Macam-macam pajaknya, mulai dari pajak air tanah, pajak hiburan, PPN, PPH, dan lain-lain," kata Direktur BUMDes Tirta Mandiri, Joko Winarno.
Pengelola juga terus berinovasi agar obyek wisata tidak lekas ditinggalkan pelanggannya. Sejak awal 2018, Umbul Ponggok dilengkapiwahana baru bernama Ponggok Adventure Warrior. Wahana menyerupai arenagame showBenteng Takeshi ini didatangkan langsung dari Cina, melengkapi wahana sebelumnya, yaknisnorkeling(selam dangkal) dan swafoto di bawah air.
Wahana Ponggok Adventure Warrior baru yang terdiri atas beberapa jenis permainan halang rintang dan terangkai jadi satu dengan luas area sekitar 20 x 30 meter itu ditempatkan di Umbul Ponggok sisi barat. "Wahana seperti ini baru ada di Ancol, Jakarta. Jadi, bisa dibilang Ponggok yang kedua di Indonesia," kata Direktur Utama BUMDes Tirta Mandiri, Joko Winarno.
Salah satu pengunjung, Aditya Wibowo, mengaku lebih senang berkunjung ke Umbul Ponggok pada hari biasa. "Kalau pas hari libur, terlalu padat pengunjungnya. Karena sekarang masih bulan puasa, pengunjungnya jauh berkurang dibanding hari-hari biasa," kata pria 33 tahun asal Kecamatan Delanggu, Klaten, itu. BRAM SETIAWAN (GIANYAR) | DINDA LEO LISTY (KLATEN) | PRAGA UTAMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo