Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Komunal Primitif Percussion menyatukan anak muda yang sehobi di bidang musik, terutama perkusi.
Ethnic Creative Base aktif melakukan kegiatan untuk menghidupkan dan mendukung musik etnik.
Pasar musik etnik di Indonesia masih tersegmentasi, sehingga perlu memperbanyak pertunjukan.
Sekelompok anak muda menabuh berbagai alat musik perkusi tradisional dari Sumatera Utara. Ada yang memainkan gendang Pakpak, taganing, dan gordang sambilan. Penampilan itu mereka suguhkan dalam audisi Indonesia's Got Talent beberapa waktu lalu. Para juri pun terpukau dan meloloskan Komunal Primitif Percussion, grup musik perkusi asal Medan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Road Manager Komunal Primitif Percussion, Sintong Brifo Markus Pasaribu alias Kin, mengatakan bahwa mereka lahir dan hidup di lingkungan kampus Universitas Sumatera Utara. Kelompok itu didirikan salah satu alumnusnya, Freddy Purba. Komunitasnya mengulik wilayah musik pada delapan kelompok etnis di Sumatera Utara, seperti irama dari Batak Toba, Simalungun, Karo, Pakpak, Mandailing, Melayu, dan Nias. "Tapi kami juga belajar rhythm di dunia, ada dari Afrika dan Latin. Itulah yang menjadi sumber inspirasi kami untuk membangun satu materi musik," ujar Kin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemuda berusia 27 tahun itu menjelaskan, Komunal Primitif Percussion bertujuan menyatukan anak muda yang sehobi di bidang musik, terutama perkusi. Mereka berfokus pada musik etnik karena anggotanya mayoritas datang dari mahasiswa yang kuliah di jurusan etnomusikologi.
Selain membawakan musik etnik dengan alat tradisional, komunitasnya mengkolaborasikan dengan komposisi musik kontemporer. Mereka memadukan musik etnik dengan musik modern. Sebab, penikmatnya jauh lebih banyak ketimbang memainkan musik tradisional murni, yang biasanya hadir dalam upacara adat atau ritual.
Di luar menciptakan karya musik, Komunal Primitif Percussion juga melestarikan musik etnik. Mereka mendirikan bengkel instrumen untuk mereparasi alat musik perkusi tradisional yang rusak atau bermasalah. Mereka juga rutin berkolaborasi dengan komunitas lain, seperti Rumah Karya Indonesia, dalam mengadakan pertunjukan.
Kin bersama anggota lainnya belakangan juga rutin mengunjungi daerah yang eksistensi musik etniknya mulai terkikis. Salah satunya Pakpak. Di sana, mereka merevitalisasi alat-alat musik tradisional sekaligus mengedukasi bahwa alat musik tersebut bisa dimainkan di luar konteks upacara adat dan ritual.
Berbagai komunitas yang mendedikasikan diri untuk menghidupkan dan menggelorakan musik etnik terus bermunculan. Di Jawa Barat, ada Ethnic Creative Base (ECB). Pendirinya adalah para musikus etnik, yaitu Erlan Suwardana, Muhamad Iman Firmansyah alias Ipo, dan Aji Firmansyah, pada 2017. Tujuan awalnya adalah membantu mahasiswa junior di jurusan seni karawitan Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung untuk berkarya dan tampil di luar kampus. “Kalau sebelumnya ada kelompok Samba Sunda dan Seratuspersen yang secara mandiri bergerilya,” kata Erlan, 42 tahun, Rabu, 21 Juni 2023.
Grup musik Ethnic Creative Base memainkan sejumlah lagu di kafe Musmob Music Shelter, Bandung, Jawa Barat, 21 Juni 2023. TEMPO/Prima mulia
Mereka kemudian merancang program pertunjukan musik etnik sebagai wadah apresiasi dan ekspresi. Sound of Archipelago Music Festival mereka gelar pada 28 November 2020. Acara yang semula dirancang luring di Bandung itu terpaksa dialihkan menjadi daring karena pandemi. Mereka menggaet kelompok musik etnik yang tersebar di berbagai penjuru negeri. Dari sembilan wilayah, muncul sepuluh grup yang siap dengan video penampilan terbarunya. Ada kelompok musik Timur Jauh dari Ternate, kelompok Bunyi Zaman (Makassar), dan kelompok musik Olah Gubang Kutai Kartanegara (Kalimantan Timur).
Kemudian ada Ayu Laksmi bersama Svara Semesta (Bali), kelompok Tukang Tabuh (Jakarta), kelompok musik Biramanata (Bandung), KaGaNga Art Musik (Bengkulu), kelompok musik Bellacoustic (Palangkaraya), kelompok Riau Rhythm (Pekanbaru), dan kelompok musik SUN (Bandung). Penampilan grup musik itu diselingi dengan perbincangan tentang musik etnik. “Nilai kelokalan itu banyak yang harus digali dan diangkat ke wilayah nasional dan internasional,” tutur Erlan.
ECB juga menjalin kolaborasi bertajuk "Napak Jagat Pasundan Ethnotic" yang menghasilkan 13 episode tayangan video. Program itu meracik tampilan grup musik etnik dan sanggar seni yang menampilkan pencak silat, tari, dan musik. Kerja sama lain dilakukan bersama Music Mobile yang disingkat Musmob Radio Streaming di Bandung untuk membuat album kompilasi karya delapan grup musik etnik Kota Kembang dalam bentuk compact disc sebanyak 500 keping. Berjudul Don’t be Afraid, grup pengisinya yaitu Sun dengan lagu berjudul Rajah, kemudian Biramanata (Hujan), Lakonan (Pungaringa), Big Cola Bala Bala (Nisjawa), Pertapan (I’m Falling in Love), PMJDM (Sugan Ieu), Ethnoprogressive (Rayak-rayak), dan Disco Ethnic (Titik).
Selain itu, tiap Jumat mereka menyiapkan siaran khusus untuk memutar aneka musik etnik. Menurut Erlan, pasar musik etnik di Indonesia masih tersegmentasi. “Karena itu, perlu diperbanyak pertunjukan musik etnik. ”Khususnya di kalangan anak muda, ECB tengah mengincar peluang untuk menggelar lomba musik etnik di kalangan pelajar sekolah menengah atas sederajat. Kompetisi itu sejauh ini telah berjalan, tapi masih terbatas di wilayah internal sekolah.
Meskipun bibit musikus dan musik etnik berkembang di kalangan anak muda dari pelajar hingga mahasiswa, tantangannya, menurut Erlan, adalah ketika mereka lulus sekolah atau kuliah. Dari segi peralatan dan sarana latihan, misalnya, mereka sebelumnya memanfaatkan fasilitas dari sekolah atau kampus. “Setelah lulus, mereka harus putar otak bagaimana bisa terus bermusik tanpa dukungan dari sekolah atau kampus,” ujarnya. Untuk regenerasi grup musik etnik secara mandiri seperti Samba Sunda atau Seratuspersen, khususnya di Bandung, menurut Erlan, sejauh ini belum muncul.
FRISKI RIANA | ANWAR SISWADI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo