Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Parahita menggunakan wastra untuk bekerja dan ke bioskop.
Ary pernah mengenakan wastra ketika dinas ke Belanda.
Gerak Samudra memperkirakan wastra menjadi tren fashion berjalan pada tahun depan.
Lembaran kain beraneka warna dan corak terlipat rapi memenuhi salah satu bagian lemari tiga pintu milik Parahita Satiti. Dari sekian koleksi wastra atau kain tradisional itu, yang paling banyak adalah batik lasem, sogan, dan endek Bali. Khusus batik sogan, perempuan 40 tahun itu mendapatkannya dari warisan sang nenek.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Parahita memperkirakan jumlah wastra yang ia koleksi sejak 2007 itu mencapai 130-150 lembar. "Satu pintu ini khusus kain-kain jarik," kata Parahita kepada Tempo, Rabu, 27 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kain-kain tersebut tentu tak hanya berdiam di lemari atau dipakai saat acara formal. Parahita justru menggunakannya sebagai busana sehari-hari, seperti untuk bekerja dan menonton film di bioskop. Ia mulai berkain pada 2012. Ketika masih jadi pekerja kantoran, ia mengenakan kain sebulan sekali tiap Jumat. Tapi, begitu mulai les menari di salah satu sanggar di Jakarta Selatan, ia mulai rutin menggunakan kain.
Awalnya, Parahita mengenakan kain hanya untuk latihan dan pentas. Karena malas membawa baju ganti, kain itu terus ia kenakan sepulang dari sanggar, bahkan ketika pergi ke bioskop. Kebiasaan ini pun akhirnya terbawa dalam keseharian. "Sekarang kan aku kerja dari rumah, walaupun lewat Zoom, kalau enggak pakai baju, akhirnya pakai kebaya dan kain," ujar perempuan yang kini berprofesi sebagai pekerja lepas itu.
Pekerja lepas, Parahita Satiti, mengenakan wastra nusantara berkunjung ke Pusat Kebudayaan Belanda Erasmus Huis di Kuningan Timur, Jakarta. Dok. Pribadi
Karena banyak teman di sekitarnya juga berkain, Parahita pun merasa mengenakan wastra bukan hal istimewa. Hal ini berbeda ketika ia masih bekerja di kantor. Saat itu belum banyak yang mengenakan kain sebagai busana kantoran. Karena itu, gaya berpakaian Parahita pun disebut ribet dan jalannya dinilai lebih lambat oleh teman kerjanya. "Padahal aku merasa jalan biasa saja. Kain enggak menambah kerepotan," ucapnya.
Menurut Parahita, kain tradisional justru menjadi busana yang sesuai dengan iklim di Indonesia. Dibanding baju pada umumnya, wastra yang rata-rata berbahan katun akan lebih cepat menyerap keringat. "Kalau jins, aku gerah pakainya. Kain tuh enggak," ujarnya. Selain itu, memakai kain saat pergi ke tempat ibadah masih tergolong sopan.
Ecka Paramita juga sudah dua tahun belakangan ini rutin berkain. Wartawan di salah satu perusahaan media di Jakarta itu tak ragu mengenakan kain ketika liputan hingga kegiatan santai di luar ruangan, seperti menghadiri klub baca hingga kondangan. Model kainnya pun cukup ringkas. Ia hanya menggunakan teknik lilit.
Ketika berkain, Ecka merasa bangga, anggun, dan mendapat kesan etnik. "Lebih seperti vibe perempuan era 40-60-an," kata Ecka. Teman-temannya juga kerap memuji penampilannya, terlebih ketika mengenakan batik lasem 3 negeri yang ia beli di Cirebon. "Banyak yang bilang kainnya bagus. Kekhasan si lasem 3 negeri itu ada banyak warna, tapi basic-nya warna gelap," ucapnya.
Karyawan swasta, Ecka Paramita, mengenakan wastra nusantara saat menghadiri acara. Dok. Pribadi
Ecka mengaku koleksi wastranya sekitar 30 lembar. Kebanyakan jenis batik. Sedangkan yang tenun sudah dalam bentuk pakaian jadi, seperti vest dan blazer. Karena harga wastra yang cenderung mahal, Ecka biasa membelinya di pameran karena lebih terjangkau.
Pengguna kain Indonesia lainnya adalah Ary Ogam. Dalam mencari wastra, Ary teringat pesan seniman batik Dudung Alie Syahbana: "Batiklah yang menemukan kita. Maka pantaskanlah diri kalian untuk mengenakan batik." Nasihat itu menjadi pedoman bagi Ary ketika mengoleksi wastra. Ia merasa "relate" dengan ucapan tersebut.
Pengajar tari di sanggar Omah Wulangreh ini menuturkan ada orang yang sekadar membeli tanpa tahu nilai dan cara memakainya. Ada pula yang membeli batik sederhana, tapi ketika dipakai malah terlihat bagus. "Ini hal yang enggak bisa digambarkan dengan baik. Orang yang paham batik bisa ngerti dari kejauhan. 'Oh, ini batik tulis.' Nah, itu yang saya rasakan."
Ary mengaku biasa membeli batik langsung dari penadah atau ke daerah asalnya agar lebih autentik. Ada juga yang ia beli secara online atau dari kenalan-kenalannya. Harganya variatif, dari Rp 150 ribu sampai Rp 3 juta.
Pria 33 tahun itu juga sering menggunakan koleksi kainnya untuk bekerja. Bahkan, ketika dinas ke Belanda, ia mengenakan bawahan berupa kain batik sogan motif enggang yang didesain sendiri. "Daripada pakai celana ke mana-mana, saya memilih berkain karena saya merasa punya koleksi. Jadi kenapa enggak dipakai?"
Karyawan swasta, Ary Ogam, berpose di Setiabudi, Jakarta. TEMPO/ Nita Dian
Ary mengenal batik sejak 2012 saat masih kuliah. Ia mengikuti beasiswa seni-budaya Indonesia dari Kementerian Luar Negeri dan mendapat penempatan di Solo. Di sana, ia mempelajari budaya setempat, termasuk industri kriya, salah satunya membatik. Harga batik yang cukup mahal tidak sesuai dengan kantong Ary yang berstatus mahasiswa. Tapi, sejak kunjungannya ke Solo, ia pun bertekad menyisihkan uang jajannya untuk belanja kain.
Kecintaannya pada kain batik kian mendalam setelah bertemu dengan seorang guru yang merupakan ahli batik. Pria 33 tahun itu makin tertarik pada nilai filosofi dan makna tiap motif wastra. "Diajarkan kapan pakainya, teknik-teknik memakai wastra itu sendiri," ujar pegawai swasta di Jakarta itu.
Bagi Ary, berkain merupakan bentuk "pamer". Ketika memakai kain, secara tidak langsung ia bisa memamerkan penampilannya karena menjadi pusat perhatian. Tak sedikit pula ada orang yang mendekatinya untuk bertanya-tanya. Dalam kesempatan itulah, Ary memberikan edukasi soal wastra.
Wastra atau kain tradisional sebagai busana memang kian diminati masyarakat. Bahkan, pada tahun ini saja, wastra sudah menjadi tren fashion. Desainer senior Athan Siahaan mengatakan fenomena ini merupakan sebuah kemajuan serta bagian dari perjuangan para desainer yang selama ini selalu mempromosikan wastra.
Selain itu, Athan melihat hampir semua acara peragaan busana membawakan ragam wastra. Salah satunya adalah fashion show bertajuk "Colorfull Indonesia" di Yogyakarta pada November lalu.
Athan selaku President of Indonesia Fashion Parade menyelenggarakan peragaan busana yang mengangkat keberagaman warna dan busana Indonesia melalui wastra Nusantara sebagai kekuatan utama. Acara ini sekaligus mengajak masyarakat kembali mencintai dan mengenakan busana karya anak bangsa.
Desainer dan President of Indonesia Fashion Parade, Athan Siahaan. Dok. Pribadi
Jakarta Fashion Week 2024 juga tak luput menampilkan ragam koleksi karya desainer yang menggunakan kain wastra sebagai inspirasi utama.
Menurut Athan, kehadiran wastra di panggung-panggung fashion menandakan bahwa masyarakat kini mulai sadar akan kearifan lokal sehingga mau mengenakan kain tradisional. Meski banyak yang sudah berkain, desainer asal Balige, Sumatera Utara, itu melihat masih ada juga yang kurang yakin pada wastra. "Mungkin karena perkembangan motif," katanya.
Athan menuturkan motif wastra kini sudah banyak yang sesuai dengan selera anak muda. Pasalnya, ia melihat para desainer berani keluar dari zona nyaman dan membuat desain yang kekinian untuk menjangkau generasi muda. Wastra tersebut juga memiliki nilai jual dan pakai, serta daya saing yang tinggi.
Pegiat wastra Gerak Samudra mengatakan, pada tahun depan atau 2024, wastra menjadi tren fashion berjalan. Dosen praktisi di salah satu kampus fashion di Surabaya ini memperkirakan orang-orang akan lebih memperhatikan busana yang dikenakannya seiring dengan aktivitas normal pasca-pandemi.
Tren berikutnya adalah quiet luxury atau gaya berbusana yang mewah. Tren ini, menurut Gee, bisa dikombinasikan dengan wastra warisan orang tua atau nenek. Misalnya, kain batik yang usianya sudah puluhan tahun bisa memiliki nilai jual yang tinggi.
Di samping itu, dengan makin banyaknya anak muda yang peduli pada isu lingkungan, Gee melihat berkain bisa mendukung gerakan slow fashion. Pasalnya, limbah tekstil dari fast fashion kini menjadi penyumbang sampah terbanyak. Sementara itu, kain tradisional dibuat dengan proses yang tidak sebentar sehingga tergolong slow fashion.
FRISKI RIANA | ANTARA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo