Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIMA ratus kartu pos bergambar yang termuat dalam buku Scott Merrillees, Faces of Indonesia: 500 Postcards 1900-1945, memang langka-langka. Terbayang bagaimana pensiunan analis PT BNP Paribas Peregrine itu memilih materi untuk bukunya dari ribuan kartu pos yang ia miliki. Tentu kurasinya didasari sikap-sikap tertentu. Terbayang juga bagaimana ia “blusukan” mendapatkan kartu-kartu pos kuno ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tinggal selama lebih dari 20 tahun di Jakarta, Merrillees tertarik pada betapa banyak, sekaligus betapa berbeda, suku di Indonesia. Melalui buku ini, Merrillees tampak ingin menampilkan keberagaman suku di seluruh sudut Nusantara. Salah satu kebanggaannya, yang menurut dia paling mahal di antara koleksinya, adalah kartu pos yang menampilkan foto karya Christiaan Benjamin Nieuwenhuis, musikus anggota kelompok musik militer kerajaan. Ditugasi ke Batavia pada 1884, dia malah tertarik pada fotografi dan belajar di studio Koene & Co. Nieuwenhuis kemudian pindah ke Padang dan membuka studio foto sendiri. Dia menjelajah berbagai wilayah di Sumatera, dari Sabang di utara, Mentawai, hingga Palembang di selatan. Potret-potretnya yang merekam lanskap, arsitektur, dan tradisi suku-suku di Sumatera laris terjual, dimuat dalam artikel perjalanan ataupun ilmiah, juga hadir dalam bentuk kartu pos.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satu kartu pos bergambar karya Nieuwenhuis yang dimiliki Merrillees menampilkan potret para bangsawan dan kesatria Nias dalam kostum tempur terbaik mereka. “Foto ini saya dapatkan dengan harga paling mahal, hampir US$ 500,” tuturnya. Berikut ini perbincangan Merrillees dengan Iwan Kurniawan, Nurdin Kalim, dan Moyang Kasih Dewimerdeka dari Tempo.
Buku-buku Anda sebelumnya berfokus pada sejarah Jakarta atau Batavia. Mengapa kali ini Anda meluaskan topik menjadi tentang Indonesia?
Ya, memang tiga buku saya sebelumnya berfokus pada Jakarta, dari pertengahan abad ke-19 sampai 1980. Terus terang ada yang mengkritik tiga buku pertama itu dengan bertanya: mana orangnya? Sebab, di buku-buku itu saya hanya menampilkan foto gedung, jalan, patung, landmark, atau kantor pemerintahan di Jakarta, tempat saya tinggal selama 25 tahun. Beberapa teman kolektor yang tahu bahwa saya memiliki koleksi banyak kartu pos kemudian menyarankan kepada saya: mengapa tidak membuat buku yang menampilkan keindahan dan keberagaman Indonesia melalui kartu pos lama? Ya, good idea.
Dari mana saja asal koleksi kartu pos Anda?
Saya membeli koleksi ini dari seluruh dunia. Saya berhubungan dengan banyak pedagang kartu pos, dealer kartu pos, dealer buku bekas. Juga di situs seperti eBay dan Delcampe. Di Eropa dan Amerika ada full-time dealer yang berdagang kartu pos. Di Belanda juga banyak penjual kartu pos mengenai Indonesia.
Ada yang dari pedagang Indonesia?
Ada pedagang di Tangerang yang saya kenal. Saya banyak beli kartu pos dari beliau, terutama sewaktu beliau punya kios di Pasar Baru. Di Bandung juga ada Java Auction. Sering juga ke toko buku loak seperti di Kwitang, Jakarta. Tapi yang bikin susah membeli kartu pos di Jakarta adalah kelembapannya. Karena kartu terbuat dari kertas, kadang kondisinya tidak begitu baik.
Berapa kira-kira total nilai kartu pos dalam buku ini?
Saya tidak mau jual, ha-ha-ha…. Tapi kira-kira 500 kali US$ 25. Ada juga yang di atas US$ 100, bahkan US$ 200. Saya kira totalnya US$ 10-20 ribu.
Di antara 500 kartu pos ini, mana yang paling mahal dan mengapa bisa berharga tinggi?
Ada dua kartu pos dengan foto dari Nias oleh fotografer C. B. Nieuwenhuis, Nias Warrior dan Nias Women. Itu di antara yang paling mahal, masing-masing hampir US$ 500. Harganya mahal karena kita tahu siapa fotografernya, tahu sejarah beliau dan kapan beliau ke Nias. Dia juga membuat cerita mengenai Nias. Selain itu, kartu pos berharga lebih mahal kalau ada prangko di depan, prangkonya bagus, dengan cap, dan bisa dibaca. Biasanya prangko kan di belakang.
Selain gambar dan prangko, apakah ada yang menarik dari isi tulisan di dalam kartu-kartu itu?
Terus terang hanya sedikit yang bisa saya baca, karena zaman dulu tulisan tangan sangat kecil dan susah dibaca. Selain itu, banyak bahasa digunakan, Jerman, Belanda, Portugis, Spanyol, dan lain-lain. Kadang ada kartu pos yang ditulis horizontal bercampur vertikal. Susah dibaca.
Ketika menulis buku-buku tentang Batavia, Anda sering melakukan riset di Perpustakaan Nasional. Bagaimana riset untuk buku Faces of Indonesia ini?
Saya lebih banyak melakukan riset di perpustakaan sendiri, dari buku yang saya kumpulkan selama 30 tahun ini. Saya punya koleksi buku travel guide dari 1900-1945. Juga catatan perjalanan dari orang-orang yang mengunjungi pulau-pulau ini pada zaman itu. Sangat menarik. Misalnya, ada buku yang ditulis orang dari Amerika, Inggris, atau Jerman yang mengunjungi Bali, Papua, atau Minahasa, lalu menuliskan kesan-kesan mereka.
Sebagian besar foto dalam buku ini hitam-putih, tapi ada juga yang berwarna walaupun kelihatan seperti diwarnai. Apa yang bisa Anda ceritakan tentang ini?
Betul, ada yang dilukis atau diwarnai pakai tangan sebelum dicetak. Colour photography memang sudah muncul kira-kira pada 1920, tapi sangat mahal. Fotografi warna baru mulai umum dan tidak mahal sekitar 1950-1960. Jadi memang hampir semua foto berwarna di buku ini diwarnai pada zaman itu sebelum dicetak. Bukan saya yang mewarnai.
Sedangkan foto berwarna asli yang pertama ada di buku ini adalah foto di chapter Bali. Pada 1931, ada Paris Colonial Exhibition. Ada empat foto yang dibuat di Paris. Itu pertama kalinya penari Bali ke Eropa dan tampil dalam pameran besar di Paris. Tiap pameran dan pertunjukan yang mereka buat laku sekali. Lalu ada fotografer yang mengambil fotonya dengan proses warna asli.
Koleksi Anda pasti jumlahnya sudah mencapai ribuan. Bagaimana cara Anda mereservasi koleksi itu?
Saya menyimpannya di Melbourne di dalam kontainer kedap udara. Udara di sini cukup kering. Setiap kartu pos disimpan dalam bungkusan acid free, seperti yang dipakai museum. Koleksi paling berharga saya simpan di dalam brankas.
Mana kartu pos yang menjadi favorit Anda?
Ada banyak yang saya suka. Beberapa yang mencolok misalnya kartu pos dengan foto-foto dari fotografer terkenal pada masa itu, Kassian Cephas. Dia tukang foto di Yogyakarta untuk Sultan Hamengku Buwono VII. Ada juga kartu pos yang menarik dari segi lain, misalnya kartu pos yang menampilkan kemiskinan. Sementara kartu pos sekarang menampilkan pemandangan indah, dulu justru ada yang menonjolkan kondisi kurang baik di Jawa pada waktu itu. Penerbit kartu pos punya social concern untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, terutama kaum atas pembeli kartu pos.
Bagaimana peran kartu pos kini menurut Anda?
Kartu pos kurang dihargai peneliti. Saya tidak bermaksud terdengar arogan, tapi buku saya yang kedua masih menjadi buku paling lengkap mengenai gambar Jakarta setengah abad sebelum kemerdekaan dan semua gambar itu dari kartu pos. Kalau kartu pos tidak ada, pengertian kita tentang Jakarta seratus tahun lalu akan jadi sangat miskin. Kita perlu bersyukur dulu orang mengirim dan menyimpan kartu pos yang kini membantu kita memahami sejarah masing-masing. Buku baru dengan 500 kartu pos ini juga semoga bisa meningkatkan pengetahuan tentang sejarah keberagaman di Indonesia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo