"INGATLAH dosa Tuan yang membunuh secara kejam dan pengecut peristiwa Sulawesi Selatan dan APRA di Bandung. Kalau Tuan tidak menerima tantangan duel ini, memanglah Tuan pengecut yang tidak tahu malu. Inilah surat saya yang penghabisan dan saya akan tunggu kematian Tuan walaupun menahan waktu bertahun-tahun." ("Tantangan untuk Westerling", surat pembaca di harian Suluh Indonesia 5 Januari 1959, dikirimkan oleh Darwin alias Kancil). Hampir 29 tahun kemudian, di Belanda, di musim gugur, kematian itu memang datang. Kamis dua pekan lalu, 26 November 1987, di Purmerend, kota kecil 20 km dari Amsterdam, orang yang disebut Westerling mengembuskan napas terakhirnya. Bukan karena duel, tapi karena serangan jantung. Lima hari kemudian, Selasa pekan lalu, di musim ketika daun-daun rontok dan pohon cuma dahan dan ranting, ia dikuburkan di timur Amsterdam. Pelayat hampir semuanya mengenakan pakaian seragam, komplet dengan pangkat dan tanda jasa. Bukan, mereka bukan tentara Belanda. Seragam itu adalah seragam KNIL. Jadi, mereka bekas tentara pendudukan Hindia Belanda. Memang, itulah pemakaman Raymond Paul Pierre Westerling, nama yang pantas ditantang duel, agaknya. Seorang yang boleh jadi dipuji sebagai seorang tentara sejati, tapi yang harus menanggung timpaan sumpah serapah sebagai penjagal keji manusia. Dialah yang memimpin pembantaian sekian ribu warga Sulawesi Selatan. Juga orang yang dituduh memprakarsai teror APRA di Bandung dan sekitarnya, Januari 1950. Kematian Westerling, 68 tahun, boleh dikata mendadak. Yakni setelah ia marah-marah saat diwawancarai wartawan Belanda. Marah? Ia sangat kecewa. Hari-hari belakangan ini di Belanda muncul polemik hangat tentang buku Prof. Lou de Jong, seorang sejarawan. Dalam buku yang masih hendak terbit itu, Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog (Kerajaan Belanda dalam Perang Dunia Kedua), De Jong menulis tentang kejahatan perang Belanda, yang disamakannya dengan kejahatan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Dan itu berarti juga menuding Westerling sebagai penjahat perang. Sejumlah tanggapan pun bermunculan. Mulai soal angka korban: 200-kah, 2 atau 3 ribu, hingga 40 ribu? Sampai, apakah yang dilakukan oleh tentara pendudukan itu kejahatan atau bukan. Satu pihak menyebut bahwa tentara hanya melaksanakan perintah atasan. Di pihak lain, seperti Willem Ijzeref, penulis buku De Zuid-Celebes Affairs yang dikutip De Jong untuk bahan bukunya -- setuju dengan pendapat bahwa para tentara itu (terutama Westerling) adalah penjahat perang. "Dari segi perang, itu soal lain. Tapi dari segi hukum, mereka harus dihukum sebagai penjahat perang," katanya. Tapi, siapakah Westerling yang begitu kontroversial? Masa lalunya tak banyak terungkap. Dalam stambuk tentara KNIL, namanya hanya tertera sebagai Kapten Westerling. Masa kecilnya ditutupnya rapat. Ia lahir di Istambul (Turki), 31 Agustus 1919. Ayahnya seorang Belanda, ibunya keturunan Yunani. Mereka pedagang karpet. Dari ibunya ia belajar bahasa Yunani dan Prancis. Sedangkan bahasa Turki dipelajarinya dari pengaruhnya. Ketika ia berusia 5 tahun, kedua orangtuanya meninggalkan Westerling. Anak yang tak bahagia ini lalu hidup di panti asuhan. Tempat itulah mungkin yang membentuk dirinya untuk menjadi orang yang tidak bergantung dan tidak terikat kepada siapa pun. Perang Dunia pecah. Kebetulan, sejak remaja Westerling sudah tertarik pada buku-buku perang. Zaman memberikan kesempatan baginya untuk jadi tentara. Di usia menjelang 22 tahun, Desember 1940, ia datang ke Konsulat Belanda di Istambul. Westerling menawarkan diri menjadi sukarelawan -- dekat sebelum Belanda dikuasai Hitler. Ia diterima. Tapi untuk itu, ia harus bergabung dulu dengan pasukan Australia. Bersama kesatuannya Westerling angkat senjata di Mesir dan Palestina. Dua bulan kemudian ia dikirim ke Inggris dengan kapal. Di sini ke-semaugue-annya mulai muncul. Ia menyelinap menuju Kanada, melaporkan diri ke Tangsi Ratu Juliana, di Sratford, Ontario. Di situlah ia belajar berbahasa Belanda. Westerling lalu dikirim ke Inggris. Ia bergabung dalam Brigade Putri Irene. Di Skotlandia, ia memperoleh baret hijaunya. Ia juga mendapat didikan sebagai pasukan komando. Spesialisasinya adalah sabotase dan peledakan. Ia pun memperoleh baret merah dari SAS (The Special Air Service, pasukan khusus Inggris yang terkenal). Dan yang membanggakannya, ia pernah bekerja di dinas rahasia Belanda di London, pernah menjadi pengawal pribadi Lord Mountbatten, dan menjadi instruktur pasukan Belanda. Yakni untuk latihan bertempur tanpa senjata dan membunuh tanpa bersuara. Tapi ia pun pernah dipekerjakan di dapur sebagai pengupas kentang. Ternyata, hidup di barak membuatnya boyak. Ia ingin mencium bau mesiu dan ramainya pertempuran yang sebenarnya, bukan cuma latihan. Cita-citanya kesampaian pada 1944: Inggris menerjunkannya ke Belgia. Dari situ ia bergerak ke Belanda Selatan. Inilah pertama kalinya ia menginjakkan kaki di tanah leluhur -- benarkah ia merasakannya sebagai tanah leluhur? Menurut buku De Zuid-Celebes Affairs, di Belgia itulah ia kali pertama merasakan perang sesungguhnya. Tapi, menurut Westerling sendiri, dalam Westerling, "De Eenling", perkenalannya pertama dengan perang adalah di hutan-hutan Burma. Gemilang agaknya prestasi militer Westerling. Tapi entah mengapa ia meninggalkan satuannya, pasukan elite Inggris, dan masuk menjadi tentara Belanda (KNIL). Ia lalu terpilih masuk dalam pasukan gabungan Belanda-lnggris di Kolombo. Pada September 1945, bersama beberapa pasukan Westerling diterjunkan ke Medan, Sumatera Utara. Tujuannya, menyerbu kamp konsentrasi Jepang Siringo-ringo di Deli, dan membebaskan pasukan pro-Belanda yang ditawan. Berhasil. Sebulan kemudian tentara Inggris mendarat di Sumatera Utara, dan entah bagaimana Westerling bergabung dengan pasukan ini. Tugasnya, melakukan kontraspionase -- demikian Westerling "De Eenling". Itu makanya di Medan ia mengkoordinasikan orang-orang Cina, membentuk pasukan teror Poh An Tui (PAT). Pertengahan tahun 1946 ia dikirim ke Jakarta. Di KNIL, karier militer Westerling cepat naik. Mulanya, ia hanya seorang instruktur. Tak lama, pada usia 27 tahun, Letnan Satu Westerling diangkat sebagai Komandan 'Depot Speciale Troepen' (DST), Pasukan Para Khusus Belanda. Pasukan inilah yang ditugaskan ke Makassar, untuk membantu Kolonel De Vries mempertahankan kekuasaan Belanda. Pada 5 Desember 1946, ia sampai di Makassar. Belum seminggu di tempat baru, ia sudah membuat teror yang menggemparkan. Kampung dikepung, dihujani mortir. Rumah-rumah dibakar habis. Penduduk dikumpulkan, dibantai. Dan para anggota pergerakan kemerdekaan disiksa, sebelum dihabisi dengan tembakan pistolnya. Empat bulan teror dilangsungkan, perlawanan penduduk memang jadi mereda. Dan rakyat -- mungkin karena takut -- mengelu-elukannya ketika Westerling meninggalkan Makassar, kembali ke Jawa. Konon, seorang simpatisan memberikan kenang-kenangan sebilah badik. Westerling ternyata memang berbakat menjadi jagal manusia. Di Bandung ia nebeng kemelut politik Indonesia, untuk menyalurkan bakatnya membunuh. Lewat APRA (Angkatan Perang Ratu Adil), ia memancing pertumpahan darah. Tapi di Bandung pula ia memasuki hidup berumah tangga, menikah dengan wanita setempat, tapi bernama Ivonne Fournier. Semua itu -- APRA dan perkawinannya -- dilakukannya sebagai orang swasta, setelah jabatannya sebagai Komandan DST dicopot oleh Panglima KNIL Jenderal Simon Spoor, di Batujajar, 21 November 1948. Gagal dengan APRA-nya, Westerling tak juga patah. Ia dan anak buahnya, menurut buku Westerling oleh Supardi, sering mengadakan pertemuan di Nite Club Black Cat di Jalan Segara (Jalan Veteran 1, kini), Jakarta. Mereka menggunakan pabrik besi Nyo Peng Liong sebagai tempat mereparasi senjata. Sedangkan dana ia peroleh dari sejumlah perkebunan di Jawa Barat, bantuan seorang yang bernama Jungschlager (orang ini diduga anggota Nefis, Dinas Intelijen Militer Belanda), dan dari pampasan perang dari Jepang. Pada 23 Februari 1950 pukul 10 pagi Letnan Sanjoto mendapat informasi bahwa Westerling berada di Pelabuhan II Tanjungpriok. Sanjoto lalu menugasi Letnan Kusuma dan Letnan Supardi, penulis buku itu, menangkap Westerling. Pukul 19.00 mereka mengendarai jip Willys, mendatangi Westerling. Rencananya, mereka akan mengajak ngobrol sebentar, lalu Supardi menembak Westerling, dan Kusuma meledakkan granat. Skenario ternyata tak berjalan. Sebelum rencana terlaksana, Westerling malah menghampiri mereka, mengajak minum bir. Mereka rupanya tak kuasa menolak. Tapi tugas tetap dilaksanakan: kedua letnan itu mengatakan kepada Westerling bahwa ia diharap datang ke markas Tanjungpriok sebentar. Mereka berangkat dengan kendaraan masing-masing. Di tengah perjalanan Westerling dan anak buahnya memberondong mobil Kusuma dan Supardi hingga terbalik dan penumpangnya luka. Mayor Brentel Susilo dan Letnan J.C. Princen (kini di Lembaga Hak Asasi Manusia di Jakarta), yang menguntit jejak Westerling, ganti mengejarnya. Terlambat, hari itu juga Westerling terbang ke Singapura dengan pesawat Catalina yang diduga telah dipersiapkan. Di Singapura Westerling sempat ditangkap Inggris. Tapi kemudian ia bisa berangkat ke Belanda, Agustus, tahun itu juga. Nasibnya di luar medan perang bisa dibilang buruk. Ia mencoba bergerak di bidang percetakan, gagal. Pernah juga ia mencoba menjadi penyanyi opera, belajar menyanyi di Jerman, gagal lagi. "Saya jual buku saja," katanya suatu ketika. Dan akhirnya memang ia hidup sebagai pedagang buku bekas. Hampir pula Westerling terjun ke kancah perang lagi. Ia sempat membikin 2 memorandum yang isinya mendorong agar Eropa (juga Belanda) berperan menghadapi Vietkong. Tak ada yang menanggapi. Yang terjadi kemudian malah sebaliknya. Menjelang perebutan Da Nang, Juli 1965, seseorang menghubunginya, menawarinya untuk melatih pasukan Vietkong. Kabarnya, Westerling hampir berangkat bila tidak dicegah pemerintah Belanda. Westerling memang khas tentara bayaran. Ia tampaknya tak pernah berpikir untuk siapa dan untuk apa dia menembak. Hingga saat-saat terakhirnya, sejauh diketahui, belum pernah ia mengaku bersalah atas terornya di Indonesia. Yang dilakukannya, kata dia, adalah melindungi rakyat. Si jagoan Kapten De Turk (julukannya karena dia berdarah Turki) akhirnya "ditaklukkan" bukan di medan perang, tapi di medan ilmu. Sejarawan De Jong dengan bukunya yang akan terbit rupanya membuka kembali masa lalunya, dan membuat jantungnya kambuh. Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini