Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke [email protected].

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Satu tahun Tragedi Itaewon: Kisah para penyintas yang terus dihantui pesta Halloween mematikan di Korsel

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Lee Ju-hyun penyintas Tragedi Itaewon BBC
Lee Ju-hyun rutin kembali ke gang tempat dia hampir tewas. Dia tidak ingin melupakan peristiwa itu.

Satu tahun setelah 160 anak muda tewas dalam tragedi kerumunan pesta Halloween di Itaewon, Seoul, Korea Selatan, Lee Ju-hyun kembali ke gang tempat dia hampir tewas.

Ju-hyun rutin berkunjung ke tempat itu. Dia bertekad menjaga ingatannya tentang malam mengerikan itu "sampai keadilan ditegakkan".

Baca juga:

Tragedi tahun lalu itu terjadi pada sebuah akhir pekan di hari-hari perayaan Halloween. Lebih dari 100 ribu orang berkumpul di kawasan Itaewon, yang secara arsitektural berbentuk seperti labirin.

Itaewon adalah sebuah distrik di Seoul yang populer karena ingar bingar kehidupan malamnya. Ini adalah tempat untuk berpesta.

Kerumunan orang yang mengikuti perayaan Halloween itu mengalir ke lorong yang sempit dan curam dari tiga arah.

Baca juga:

Pada satu titik, lorong tersebut menjadi sangat padat sehingga orang tidak dapat bergerak. Sebagian orang akhirnya tidak bisa bernapas. Banyak yang kemudian meninggal.

Meskipun terdapat banyak kegagalan dan kesalahan otoritas yang terdokumentasi dengan baik, setelah satu tahun tidak ada seorang pun yang dinyatakan bertanggung jawab.

Para penyintas dan orang-orang yang kehilangan kerabat lantas harus berjuang sendirian untuk pulih.

Ju-hyun dapat menemukan dengan tepat tempat ketika malam itu dia tersandung, jatuh ke lantai, dan tertimpa tumpukan orang. Tekanan tumpukan orang itu begitu besar sehingga otot-otot di kakinya pecah dan lumpuh.

Malam itu dia kehilangan kesadaran. Saat dia kembali terbangun karena suara kekacauan, dia masih terjebak.

Baca juga:

"Ada teriakan di mana-mana. Mereka yang berada di kerumunan berteriak 'tolong bantu saya, saya tidak ingin mati', sementara orang-orang di klub yang bisa melihat apa yang terjadi berteriak 'tolong jangan mati; tolong jangan mati.'"

Lambat laun jeritan dan doa yang dipanjatkan orang-orang di kerumunan itu surut.

Sekarang sebagian besar gang di Itaewon itu ditutup. Beberapa bar di sana tidak pernah dibuka kembali sejak kejadian itu.

Ribuan orang terus dihantui peristiwa tersebut, entah karena kengerian yang dipicu pengalaman secara langsung atau karena mereka kehilangan orang-orang terkasih.

Itaewon alley BBC
Hampir 160 anak muda tewas di gang Itaewon ini pada 29 Oktober 2022.

Park Jin-sung kini adalah penyintas sekaligus orang yang kehilangan kerabat dalam tragedi itu.

Jin-sung ketika itu tengah mengunjungi Seoul bersama ibu dan adik perempuannya. Penasaran dengan pesta Halloween di Itaewon, mereka memutuskan untuk datang ke kawasan tersebut.

Saat mereka tiba, gang-gang di sana sudah ramai. Jin-sung mendesak adiknya untuk keluar dari kerumunan, sementara dia tetap bertahan untuk menjaga ibu mereka.

Jin-sung memeluk ibunya yang kesulitan bernapas. Dia menciptakan ruang kecil di antara mereka agar ibunya bisa memasukkan udara ke paru-parunya. Ketika paramedis tiba, Jin-sung menarik ibunya keluar melalui celah kerumunan.

Jin-sung lalu berlarian di jalan-jalan Itaewon dan menghampiri banyak rumah sakit. Otot-ototnya di tubuhnya lelah, tapi dia terus mencari saudara perempuannya, sampai akhirnya polisi memanggilnya dari kamar mayat.

"Saat itulah dunia runtuh menimpa saya", kata Jin-sung.

"Awalnya, saya tidak bisa keluar rumah. Saya sangat ketakutan di malam hari. Suara kecil dari peristiwa itu melumpuhkan saya," ucapnya.

Jin-sung dan ibunya memutuskan berhenti dari pekerjaan mereka. Selang setahun kemudian, Jin-sung kembali bekerja. Ketakutan serta kesedihannya yang dulu merundungnya kini berubah menjadi kemarahan.

Banyak penyintas dan keluarga korban menyatakan mereka masih belum mendapatkan jawaban yang memadai mengenai apa dan siapa yang keliru dan bersalah pada malam itu.

Investigasi awal menyimpulkan bahwa sejumlah pejabat pemerintah daerah gagal merencanakan dan menerapkan langkah-langkah pengendalian massa.

Laporan itu juga menemukan bahwa polisi mengabaikan laporan dari sejumlah orang dalam kerumuman untuk mengantisipasi tragedi. Layanan darurat, konsekuensinya, gagal membawa paramedis ke Itaewon tepat waktu.

Namun hingga kini hanya ada sedikit penjelasan mengapa kesalahan tersebut terjadi, terutama karena pihak berwenang telah mengantisipasi adanya kerumunan besar dan telah memperkirakan serta mendokumentasikan potensi bahaya.

Lee Jae-hyun BBC
Lee Jae-hyun yang berusia enam belas tahun bunuh diri 43 hari setelah menyaksikan teman dan pacarnya meninggal dalam Tragedi Itaewon.

Setidaknya 23 polisi dan pejabat pemerintah telah didakwa melakukan pelanggaran pidana, termasuk pembunuhan tidak disengaja dan kelalaian.

Banyak dari mereka kini masih tetap memegang jabatan mereka, meskipun persidangan dan investigasi terhadap mereka masih berlangsung.

Politikus dan pejabat senior lainnya, termasuk Menteri Dalam Negeri, Wali Kota Seoul, dan Kepala Badan Kepolisian Nasional telah dibebaskan dari tuduhan melakukan kesalahan.

Bagi Park Jin-sung, ini adalah bukti bahwa tragedi tersebut belum diselidiki dengan baik. Dia dan keluarga lainnya mendorong penyelidikan baru yang independen, yang dan saat ini menunggu persetujuan parlemen.

"Mereka belum mengadakan satu pertemuan pun untuk menjelaskan apa yang terjadi dan berkata, 'lihat, kami benar-benar minta maaf'.

"Itu saja sudah cukup untuk meringankan rasa sakit," ujarnya.

Song Hae-jin BBC
Putra Song Hae-jin bunuh diri setelah teman dan kekasihnya meninggal dalam tragedi itu. Dia terus merasa bersalah karena tidak bisa melindungi putranya
Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Usai tragedi itu, pemerintah mendirikan pusat trauma untuk memberikan layanan psikologi kepada para penyintas. Jin-sung menerima pesan singkat seminggu sekali yang menawarkan dukungan, tapi dia belum pernah memberi jawaban.

"Itu dijalankan oleh pemerintah, dan saya tidak terlalu percaya pada pemerintah, jadi saya tidak nyaman pergi ke sana," ujarnya.

Bagi seorang penyintas bernama Lee Jae-hyun (16 tahun), trauma tersebut terbukti terlalu berat untuk ditanggung. Dia terjepit di tengah kerumunan bersama sahabat dan pacarnya, tak berdaya menyaksikannya kehilangan kesadaran, sebelum dia juga berhenti bernapas.

Dari ranjang rumah sakit, malam itu dia mengetahui bahwa kekasih dan temannya telah meninggal. Keduanya adalah korban termuda dalam kejadian tersebut.

Setelah 43 hari, Jae-hyun bunuh diri, menjadikannya korban nomor 159.

Jika Anda, sahabat, atau kerabat memiliki kecenderungan bunuh diri, segera hubungi dokter kesehatan jiwa di Puskesmas, Rumah Sakit terdekat, atau Halo Kemenkes dengan nomor telepon 1500567, SMS 081281562620, dan alamat email [email protected]

"Dia benar-benar anak yang berbeda setelah tragedi itu", kata ibunya, Song Hae-jin.

"Sebelumnya dia adalah anak yang ceria dan banyak bicara. Setelah itu, dia hampir tidak pernah berbicara. Dia duduk sendirian di kamarnya, tidak bisa tidur," ujar Hae-jin.

Tidak ada peringatan resmi untuk para korban Tragedi Itaewon. Keluarga mereka bergiliran menjaga altar yang dihiasi foto-foto korban. Mereka mencegah otoritas memindahkan altar setelah sebelumnya mengeluarkan ancaman resmi.

Makeshift memorial BBC
Banyak keluarga berjaga di Tembok Peringatan Tragedi Itaewon karena mereka cemas pihak berwenang akan menghapusnya.

Hae-jin menyebut hubungan antara keluarga dan pihak berwenang bermasalah. Setelah kejadian tersebut, dia mengeklaim dikucilkan karena berbagai pihak berwenang berusaha menghindari tanggung jawab.

Tak lama setelah Tragedi Itaewon, beberapa kalangan bahkan menuding para penyintas dan korbanlah yang harus disalahkan. Hae-jin teringat betapa hal ini membuat putranya kesal.

"Pada akhirnya pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang gagal menjalankan tugasnya untuk melindungi nyawa masyarakat. Tidak ada pertanggungjawaban sama sekali," tuturnya.

"Untuk menyembuhkannya, mereka perlu memperjelas mengapa ini terjadi dan siapa yang bertanggung jawab," kata dia.

Hae-jin berkata, dia akan terus merasa bersalah sampai hari kematiannya karena gagal melindungi putranya.

Psikiater Paik Jong-woo, dari Pusat Medis Universitas Kyung Hee, berpendapat bahwa politisasi tragedi dan kurangnya akuntabilitas telah mempersulit para penyintas dan orang yang berduka untuk pulih.

Jong-woo membentuk kelompok dukungan psikologis untuk para penyintas karena menyadari sangat sedikit yang menerima bantuan.

"Sebagai masyarakat kita perlu merawat para korban dan menunjukkan kepada mereka bagaimana kita berencana mencegah hal ini terjadi lagi," ujarnya.

"Dengan begitulah para penyintas dan keluarga korban mereka dapat merasa tersembuhkan dan yakin bahwa nyawa kerabat mereka tidak hilang sia-sia, tapi sebaliknya telah membuat masyarakat kita lebih aman," kata Jong-woo.

Pemerintah pusat Korsel, Dewan Kota Seoul, dan otoritas kepolisian menolak permintaan wawancara BBC, terkait tentang pelajaran apa yang telah mereka dapat dari Tragedi Itaewon dan bagaimana mereka berencana menjaga keselamatan masyarakat pada peringatan Halloween tahun ini.

Mereka mengatakan kepada kami bahwa ini bukan saat yang tepat untuk mengeluarkan pernyataan.

Dalam sebuah pernyataan, Pemerintah Pusat Korsel sebelumnya menyatakan "sangat sedih atas tragedi tersebut dan telah menyampaikan permintaan maaf serta simpati kepada para korban dan keluarga mereka di setiap kesempatan".

Lee Insook BBC
Lee Insook adalah salah satu dari ribuan warga penduduk Seoul yang berbondong-bondong ke Balai Kota, beberapa hari setelah Tragedi Itaewon untuk memberi penghormatan kepada korban.

Pihak berwenang memang merinci beberapa langkah keamanan baru yang telah mereka terapkan. Sekarang, ketika kepolisian menerima tiga telepon dari radius 50 meter, panggilan itu secara otomatis ditandai dan layanan darurat dipaksa untuk bekerja sama jika diminta.

Kepolisian menyatakan tidak bisa lagi menolak aduan warga, seperti yang terjadi di menit-menit awal Tragedi Itaewon. Sementara itu, sistem kamera pengawas baru sedang dipasang di seluruh Seoul untuk memantau kepadatan kerumunan.

Namun otoritas distrik di Itaewon, yang dikritik karena tidak menerapkan langkah-langkah keselamatan menjelang peringatan Halloween tahun lalu, menolak menjawab pertanyaan kami tentang perubahan apa, jika ada, yang telah mereka lakukan.

Perayaan Halloween tahun ini di Itaewon diperkirakan akan berlangsung jauh lebih tenang. Beberapa bar dan klub telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan mengadakan pesta. Lee Ju-hyun, bagaimanapun, berencana untuk hadir.

"Saya ingin menunjukkan kepada orang-orang bahwa bukan salah kami datang ke sini untuk bersenang-senang," katanya.

Setelah menghabiskan dua bulan di rumah sakit, sebagian besar kakinya kini telah pulih, kecuali rasa sakit di sisi kanannya ketika dia berdiri terlalu lama. Trauma awalnya juga telah mereda.

Namun saat dia berhenti untuk membaca catatan belasungkawa yang berwarna-warni, yang tertempel di salah satu dinding gang Itaewon, air mata tetap menetes di pipinya.

"Saya turut berduka cita bagi mereka yang meninggal dan mereka yang ditinggalkan," ujarnya.

"Saya selalu berhenti di sini untuk bertanya kepada mereka, 'apa yang perlu kami lakukan untuk Anda, para penyintas?" kata Ju-hyun.

---

Hosu Lee dan Lee Hyun-choi turut berkontribusi untuk liputan ini.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada