Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Dari 'lontang lantung', jadi preman, kondektur angkutan kota sampai menjadi petani panutan

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Panas terik tak menghalangi pemuda itu melakukan aktivitas yang dilakoninya setiap hari.

Tangan kanannya yang dihiasi tato sibuk memetik cabai yang sudah layak panen, satu per satu di lahan pertanian di Teluk Naga, tak jauh dari Bandara Sukarno-Hatta, Tangerang.

Baca Juga:

Ini adalah tahun ke delapan Mudzakir, nama pemuda itu, bekerja sebagai petani di ladang, yang menghasilkan sayur dan buah yang dijual di sejumlah pasar dan supermarket besar di seputar Jakarta.

Lahan seluas 26 hektar ini diolah Bagas Suratman, pemuda asal Klaten, Jawa Tengah, dalam lebih 10 tahun terakhir, langkah yang membawanya ditetapkan sebagai petani panutan oleh Kementerian Pertanian.

"Awal mulanya saya pengangguran, terus diajak teman ke sini, terus ketemu Pak Bagas, terus saya kerja di sini. Pengen jadi petani aja saya, karena sekolah saya kan nggak tinggi, cuma SD doang, ya udah saya memutuskan menjadi petani," kata Dakir menyebut jasa Bagas.

Baca Juga:

"Ternyata jadi petani asyik juga sebenarnya," cetusnya.

Dengan logat Jawa kental, pemuda asal Tegal ini menuturkan awal mula dirinya mulai bertani setelah lama menganggur.

Terbatasnya lapangan pekerjaan untuk jebolan sekolah dasar di kampung halaman membuat Dakir terpaksa menganggur.

Apalagi, dia tak memiliki keahlian apa pun. Setiap hari hanya dia habiskan dengan nongkrong bersama teman-teman dan menggantungkan hidupnya kepada kedua orang tuanya.

Namun, dia akhirnya memutuskan hijrah ke ibu kota dan bekerja sebagai petani, meskipun dia buta sama sekali tentang dunia pertanian. Dia mengungkapkan alasannya.

"Saya ingin membahagiakan orang tua. Itu sih maunya saya sendiri," kata Dakir.

Kini, delapan tahun kemudian, Dakir sudah paham cara bercocok tanam. Uang yang dihasilkan dari bercocok tanam, dia kumpulkan untuk dikirm ke kampung halaman untuk membantu orang tua dan menyekolahkan kedua adiknya.

"Saya pengen beliin rumah untuk orang tua, yang lebih layak, terus pengen nyekolahin adik yang tinggi," ujar dia.

Dakir adalah salah satu dari belasan petani muda yang dibina Bagas untuk mengerjakan lahan di Tangerang itu.

Pengalaman pribadi yang sama membuat Bagas tergerak untuk merangkul pemuda-pemuda ini.

"Saya berpikir pengalaman pribadi, lontang-lantung, mabuk, itu kan yang saya alami dan saya merasa, bagaimana ya cara untuk mendekati mereka, jangan sampai mereka meminta-minta lagi," ujar Bagas

Lahan di seputar bandara ini, sebelumnya disewanya dari beberapa perusahaan.

Saat ini, lahan pertanian kota ini sering didatangi dinas-dinas pertanian dari daerah lain setelah Bagas ditetapkan sebagai panutan oleh Kementerian Pertanian untuk membina petani lain.

Titik balik setelah terpuruk

Ia mengatakan perjalanan hidupnya panjang dan "pahit", pernah menjadi preman, gemar berjudi, kondektur angkutan umum, porter bandara, serta penjual buah dan sayur.

Setelah menuntaskan sekolahnya di sekolah tinggi kejuruan di Klaten, Jawa Tengah, dia sempat bekerja sebagai kuli bangunan. Tak lama kemudian, dia menyusul orang tuanya yang tinggal di Jakarta.

"Pahit, pokoknya," ujarnya sambil tertawa, mengingat masa lalunya.

Kemudian, dia memutuskan untuk membantu ibunya berjualan sayur di pasar dan mulai berjualan buah dengan modal yang diberi orang tuanya.

"Sukses, [jual] buah di Kebayoran, [Pasar] Induk Kramatjati siapa yang nggak kenal Bagas dulu," selorohnya.

"Kita bawa sayurannya yang bagus-bagus, yang super-super. Orang pasar nafsu tuh," kata dia.

"Pokoknya dulu terkenal, Bagas itu barang kalau nggak super nggak mau, baru lah kita booming, orang Pasar Minggu, orang Ciputat pada minta ke saya," imbuhnya.

Dengan semakin larisnya dagangan, dia pun menukarkan motor yang biasa dia pakai untuk mendistribusikan sayuran dan buah dengan mobil yang dibelinya dengan meminjam uang ke rentenir.

Mobil bak itu hingga kini tetap disimpannya sebagai kenang-kenangan atas perjuangannya di masa lalu.

Merintis bisnis

Melihat potensi keuntungan yang lebih besar, pada 2004 Bagas akhirnya memutuskan untuk berkebun dan menanam sayuran dan buah dengan pengetahuan berkebun dia pelajari secara otodidak.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"3.000 meter persegi waktu itu. Abis itu permintaan banyak, jadi selama delapan tahun itu saya nggak mikirin hasil, dalam arti armada kita banyakin, yang jelas lahan kita banyakin, rekrutmen pekerjaan orang-orang yang bekerja kita tarik semua, akhirnya seperti ini," tutur Bagas.

Bagas kemudian mengajak anak-anak muda untuk mengolah kebunnya.

"Petani sekarang kan umurnya 50 sampai 60 tahun, mereka sebentar lagi mungkin pensiun. Jadi, siapa lagi yang akan meneruskan pertanian di Indonesia?."

"Anak-anak muda ini harus kita kasih pengetahuan atau skill untuk menggantikan para petani yang sudah tua," jelas Bagas.

Tak hanya para pemuda yang ikut mengolah lahan, para ibu yang tinggal di sekitar juga ikut pada masa produksi dan paskaproduksi. Lisda adalah salah satunya.

"Namanya sebagai ibu rumah tangga, anak saya masih sekolah saya butuh biaya, ya terpaksalah saya kerja di sini, ikat kemangi sembari becanda sama teman. Kalau di rumah kan saya istilahnya jenuh lah," kata dia.

Uang yang dihasilkan tiap hari tergantung pada seberapa banyak jumlah ikatan yang dia hasilkan. Namun menurutnya, lumayan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Saya kadang-kadang dapatnya Rp35.000, kadang-kadang Rp 25.000, tergantung pendapatan saya. Kan saya belum rapi ngiket kemangi, namanya baru belajar," jelas perempuan berusia 54 tahun ini.

Lisda yang sudah dua tahun membantu Bagas dalam proses paska-panen, mengaku betah dengan kerjaan sambilannya ini.

"Suka banget saya bekerja begini, lebih senang daripada saya di rumah bengang-bengong nggak karuan ya lebih baik saya ikut kerja begini, iketin kemangi."

Tak cuma itu, pemuda pesantren yang belum memiliki pekerjaan pula dirangkulnya.

Ketua kelompok pemuda santri, Abdul, menuturkan, Bagas mengajak mereka untuk mengelola lahan sejak tahun lalu. Setidaknya, sepuluh santri kini menjadi petani.

"Bos Bagas ini bisa merangkul, mengajak bahkan menolong pemuda-pemuda sini yang pengangguran lah, istilah kata, jadi sekarang bisa bercocok tanam di sini dan membantu perekonomian keluarga," kata Abdul.

"Untuk organisasi ini ada kegiatan, jadi dampaknya sangat baik sekali lah bagi kami semua sebagai pemuda,"imbuhnya.

Sejak awal, Bagas mengatakan ia mengurusi sendiri pemasaran produknya, tanpa perantara tengkulak.

"Jadi marginnya lebih gede, mungkin 40%-50% pasti ada selisih harga."

Apa yang mereka capai saat ini, menurutnya, tidak lepas dari kedisiplinan yang dia tanamkan kepada para petani muda.

"Petani yang bagus itu jangan asal nanam, kita harus rawat juga itu tanaman. Jadi kualitas yang kita utamakan, terus kuantitasnya harus berani," tegasnya.

Kontinuitas kualitas dan kuantitas produk, juga menjadi prioritas. Demi menjaga kontinuitas kuliatas dan kuantitas panen, dia pun tak menerapkan hari libur bagi para petaninya.

"Petani nggak ada hari liburnya. Kalau capek, ya istirahat. Begitu aja."

"Karena kita sudah kesepakatan sama perusahaan, kita sudah berjanji bahwa H+2 kita harus bisa nyuplai sayuran ke mereka," kata dia.

Ia menyatakan senang melihat para petani muda yang dibinanya bisa mendapatkan penghasilan secara teratur.

"Biasa yang kita didik untuk bertani alhamduillah ada yang bisa punya motor, ada yang beli ternak kambing, dan membantu orang tuanya untuk bercocok tanam lagi," kata Bagas.

"Untuk ibu-ibu masyarakat di sini alhamdulillah bisa untuk tambah-tambah beli lauk."

"Kalau untuk saya sendiri, intinya supaya bisa nyekolahin anak," imbuhnya.

Menjadi petani, lanjut Bagas, dibutuhkan mental kuat, "harus berani kotor, berani kepanasan, berani bau."

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada