BBC berbicara dengan pekerja migran yang mengaku bekerja berlebihan dengan bayaran kurang untuk membuat pakaian dengan merk internasional yang terkenal.
Mereka berada di bawah skema imigrasi pemerintah, yang kini mendapat sorotan karena besarnya laporan eksploitasi yang dilakukan perusahaan Jepang berdasar skema ini.
Zhang berumur 51 tahun, ia jauh lebih tua ketimbang para pekerja magang lainnya. Rambutnya abu-abu diikat ke belakang. Ia seorang penjahit berpengalaman, datang ke Jepang beberapa tahun lalu.
- Kisah pilu buruh migran: ‘Saya harus menyantap makanan anjing untuk bertahan hidup’
- Buruh migran Indonesia 'rentan' terkena paham radikal
- Buruh migran tepis laporan TKW di Hong Kong 'rentan' terjerat ISIS
Niatnya untuk mencari uang buat pernikahan anaknya dan mengumpulkan uang untuk membeli rumah.
Ketika pemerintah Jepang membuka kesempatan program magang untuk pekerja yang lebih tua, Zhang mendaftarkan diri dengan gembira.
Tahun 2015 ia mendapat pekerjaan menjahit di sebuah perusahaan kecil, tapi pekerjaannya sangat berat.
"Saya bekerja sangat keras, sampai kepala saya sakit dan kaki saya bengkak," katanya. "Malam hari saya menangis karena sakit kepala."
Zhang mengaku mulai bekerja jam 6.30 pagi dan selesai lepas tengah malam. Di enam bulan pertama ia mengaku tak boleh cuti barang sehari.
"Majikan saya berkata, lebih banyak saya produksi, lebih besar uang saya dapat. Maka saya pun kerja sangat keras."
Sekitar setahun setengah, ia baru sadar bahwa lemburnya tak pernah dibayar. Menurutnya, majikannya mengambil gajinya tiap bulan, dan berjanji akan memberinya suatu hari.
Dua perempuan lain yang bekerja di perusahaan yang sama membuat pengakuan serupa. Majikan mereka mengambil gaji mereka tiap bulan, dan mereka akui belum dibayar.
Mereka juga mengaku bekerja dan tinggal di gedung yang sama, dan tidak boleh keluar selama berminggu-minggu.
Perusahaan membantah pengakuan ini. Kata mereka, Zhang dibayar dengan tepat termasuk lemburnya, dan tak ada gajinya yang diambil. Mereka juga bilang, "tak mungkin kami menawari hanya sehari libur dalam sebulan."
Mereka menyatakan, pengakuan bahwa pegawai tak boleh keluar gedung tak beralasan, dan mengirim foto staf mereka, termasuk Zhang, yang sedang duduk di gerai makanan di sebuah pusat perbelanjaan.
Di foto itu, Zhang tersenyum dan makan es krim.
Dalam sebuah laporan tahun 2017, pemerintah Jepang mengakui adanya penyalahgunaan wewenang dalam program magang. Laporan ini menyatakan 70% dari 6.000 perusahaan telah melanggar peraturan tenaga kerja terkait lembur ilegal atau tak membayar lembur.
Pegiat di bidang pekerja migran menyatakan masalah ini banyak terjadi di industri pakaian.
- Perempuan Indonesia 'dikirim ke China' dalam 'perdagangan manusia dengan 'modus perjodohan'
- Perdagangan manusia terbesar terungkap: 'Saya dijual ke Irak, diperkosa, dipenjara'
- Buruh migran: Beri saya kesempatan menjadi ibu sebenarnya
Perusahaan yang mempekerjakan Zhang berkata mereka telah diperiksa oleh biro tenaga kerja dan dinyatakan tak melanggar apa-apa.
Pada tahun ketiga, Zhang bertemu pengacara pembela hak pekerja migran yang menyarankannya mulai mencatat jam kerjanya.
Catatannya berupa bundel buku catatan anak-anak, terisi sepenuhnya dengan aksara China. Ia mengaku ia punya piutang lembur yang belum dibayar senilai US$50.000.
"Saya merinding memikirkan jumlah ini," katanya. "Tiga tahu terakhir saya mengacaukan kesehatan saya."
Sekali lagi, majikannya menyatakan mereka telah mematuhi peraturan ketenagakerjaan di Jepang, termasuk pembayaran upah minimum dan lembur.
Zhag memperlihatkan label pakaian yang ia jahit: label desainer internasional: Barneys New York dan Comme des Garcons.
Pakaian mereka sulit untuk dibuat, kata Zhang, dan ia mengaku sebagai salah satu yang dipercaya untuk menjahitnya.
Kami ke Barneys New York dan Comme des Garcons dengan temuan kami. Barneys mengatakan tak mengontrak perusahaan ini, dan kemudian menyelidiki hal ini kepada pemasok mereka.
Comme des Garcons juga menarik jarak. Sesudah penyelidikan internal, mereka memberi tahu BBC bahwa perusahaan Zhang itu bukan pemasok yang mereka setujui, tapi diberi subkontrak oleh pemasok mereka.
"Kami punya syarat ketat terkait kondisi kerja staf, kesehatan dan keselamatan," kata mereka seraya mengaku tak mengetahui perihal subkontrak itu.
Mereka bilang, pemasok mereka menjamin hal ini tak akan terjadi lagi.
Sejak tahun lalu, skema magang ini mendapat perhatian besar media Jepang yang memberi tekanan kepada pemerintah untuk melakukan sesuatu terkait hal itu.
Sebuah badan pengawas dibentuk untuk skema ini, tapi para pegiat mengatakan ini hanya langkah basa-basi.
Ippei Torii, serikat pekerja yang mewakili pekerja migran lebih dari 20 tahun, bertemu dengan para pemagang yang mengalami perlakuan buruk terkait skema ini.
Masalahnya menurut mereka ada dalam struktur masyarakat Jepang. "Para pemagang tidak boleh bicara mengenai masalah mereka, atau memperjuangkan nasib," kata mereka.
Masalah lain: pekerja migran datang dengan utang besar ketika mengurus visa di negara asal mereka.
Akhir tahun lalu Perdana Menteri Shinzo Abe dengan berat hati mengumumkan bahwa mereka perlu mengimpor tenaga kerja asing dan akan menerima 345.000 pekerja migran berketrampilan rendah dalam lima tahun ke depan.
Laporan tambahan oleh Natalia Zuo.