Studi terbaru dari badan lingkungan, International Pollutants Elimination Network, IPEN, mengungkap adanya senyawa berbahaya, dioksin, dalam sampel telur ayam di dua desa di Mojokerto, Jawa Timur.
Berdasarkan laporan IPEN - yang dibaca BBC - dioksin berasal dari pembakaran sampah plastik yang sebagian besar berasal dari negara-negara Barat.
Pemerintah Indonesia sendiri gencar mengembalikan sampah plastik ilegal ke sejumlah negara asal, termasuk Australia, Kanada, Italia, Inggris dan Amerika Serikat.
Kandungan dioksin yang ditemukan di sampel telur ayam kampung di desa Bangun dan Tropodo, Mojokerto itu, 70 kali lebih tinggi dari standar keselamatan yang ditetapkan oleh badan keselamatan pangan Eropa, European Food Safety Authority (EFSA).
- Pengurangan kantung kresek 'tak cukup' atasi masalah sampah plastik Jakarta
- Masuk daftar 100 perempuan inspiratif: Swietenia pungut sampah di arus kencang meski taruhannya 'hidup atau mati'
Berdasarkan uji laboratorium, kandungan dioksin di satu telur merupakan kedua yang tertinggi di Asia, di bawah temuan di Vietam yang terpapar bahan senjata kimia, agen oranye. Senyawa ini digunakan oleh Amerika Serikat saat perang Vietnam pada tahun 1960-an.
Jika dikonsumsi dalam jangka panjang, dioksin dapat menyebabkan kanker, merusak sistem kekebalan tubuh dan pertumbuhan.
Program BBC, Victoria Derbyshire, berbicara dengan warga yang mengalami masalah pernafasan akibat asap yang ditimbulkan dari pembakaran sampah plastik, serta merekam pembakaran plastik yang tujuan awalnya adalah dikirim ke Indonesia untuk didaur ulang.
Hasil terparah di Desa Tropodo
Peneliti dari IPEN mengumpulkan telur dari kandang ayam yang dimiliki warga di desa Bangun dan Tropodo di Mojokerto.
Meneliti kandungan telur, menurut para peneliti, merupakan cara terbaik untuk memeriksa apakah bahan kimia yang dikenal dengan persistent organic pollutants (POPs) termasuk dioksin, masuk ke rantai makanan.
Kandungan bahan kimia terparah tercatat di dekat pabrik-pabrik tahu yang membakar plastik untuk bahan bakar di desa Tropodo.
Selain itu, IPEN juga mendapati bahwa telur-telur dari desa tersebut mengandung senyawa kimia beracun lainnya bernama SCCP dan PBDE, yang juga ditemukan dalam plastik.
Seorang warga desa di Tropodo mengatakan tempat tinggal mereka dikenal sebagai "desa asap".
Hadi Sukari, salah seorang warga desa Tropodo, mengaku menderita bronkitis, sementara istrinya mengalami gangguan jantung.
"Kita tidak perlu bilang apa masalah kita ke dokter di rumah sakit….mereka sudah tahu kalau kita dari Tropodo pasti masalah pernafasan," kata Hadi.
Pakar mengatakan mengonsumsi telur terkontaminasi dioksin dalam jangka pendek tidak akan mengganggu kesehatan, namun dalam jangka panjang bisa berbahaya.
Menggantungkan mata pencaharian dari sampah
"Hasil riset kami ini paling mengejutkan dari semua riset yang pernah kita lakukan. Apalagi di Indonesia, kami tidak pernah mendapati hasil riset seperti ini sebelumnya," kata Yuyun Ismawati, aktivis lingkungan IPEN yang mengadakan riset ini.
Sementara itu, Dr Agus Haryono, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuian Teknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan pemerintah harus membangun "infrastruktur yang tepat untuk menguji dan memonitor Polutan Organik Persisten (POP) untuk memerangi "perdagangan plastik lintas perbatasan yang tidak terkendali."
Peneliti IPEN memusatkan studinya di desa-desa yang berada di dekat sebuah pabrik kertas di Mojokerto, yang mengimpor sekitar 40% sampah kertas untuk produksinya.
Kontainer kertas yang dipesan oleh pabrik ini justru mengandung sampah plastik berkualitas rendah.
Sampah plastik ini lalu dijual ke warga di desa seperti Bangun, yang memang menggantungkan mata pencahariannya kepada sampah.
Salah seorang pemilah plastik di Desa Bangun, Supiyati, mengatakan bahwa ia menjual sampah plastik yang masih berkualitas ke pabrik plastik, yang lantas menggunakannya untuk dijadikan produk plastik lainnya.
"Uangnya saya pakai untuk beli tanah ini dan menyekolahkan anak," kata ibu tiga anak ini.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), impor sampah plastik Indonesia naik 141% tahun lalu menjadi 283.000 ton, terutama dari Australia, Kanada, Irlandia, Italia, Selandia Baru, Inggris, dan Amerika Serikat.
Angka impor ini meningkat setelah China menutup negaranya dari impor sampah pada awal tahun 2017.
Barat harus bertanggung jawab
Menurut Peter Dobson, pengamat dari Universitas Oxford di Inggris, negara-negara Barat yang mengekspor sampah juga harus bertanggung jawab atas masalah ini.
"Larangan ekspor sampah akan mendorong banyak negara untuk mengembangkan teknologi daur ulang atau kebijakan lainnya guna mengurangi konsumsi plastik," katanya.
Menurut pengamat, sampah plastik dari Barat hanyalah satu dari sejumlah masalah sampah di Indonesia, yang memang kekurangan prasarana dan dana untuk pengelolaan sampah.
Banyak sampah di Indonesia berakhir di sungai atau dibakar seperti di Mojokerto.
Sementara itu di desa Sindang Jaya, Tangerang, banyak warga yang mengalami masalah pernafasan akibat menghirup asap sampah plastik yang dibakar, menurut ketua RT setempat, Masrur.
Seorang warga bernama Mila Damila mengatakan cucunya dirawat di rumah sakit empat kali akibat alergi asap pembakaran sampah plastik.
Warga Sindang Jaya lainnya, Eli Prima, mengatakan putrinya dibawa ke Unit Gawat Darurat dua kali tahun ini. Ia harus diberi tabung oksigen karena sulit bernafas.
Di desa ini, pembakaran sampah plastik dalam skala besar telah berhenti sejak beberapa bulan lalu lantaran warga "berkelahi" dengan pengepul sampah, yang juga warga setempat.
Sampah impor mulai berkurang
Meskipun demikian, upaya pemerintah dalam menghentikan kedatangan sampah impor ilegal tampaknya mulai membuahkan hasil.
Meskipun sampah di Sindang Jaya masih dibakar, aliran sampah impor baru telah mulai berkurang.
Sepanjang perjalanan ke desa Sindang Jaya, BBC melihat kontainer yang diparkir di depan pabrik plastik yang telah disegel oleh Dirjen Bea dan Cukai, sebuah indikasi bahwa isi kontainer mungkin sampah ilegal.
Meski demikian, masalah sampah impor ini masih panjang.
Riset terbaru grup pemerhati lingkungan Basel Action Network mendapati bahwa sejumlah kontainer yang berisi sampah ilegal yang seharusnya dikembalikan ke negara Barat justru berakhir di negara-negara Asia lainnya.