Para suporter sepak bola beraksi di tribun di bagian atas stadion sepak bola di Riyadh. Mereka juga menanggalkan sebagian pakaian dan mengibar-ibarkannya di atas kepala mereka.
Di stadion juga hadir para penonton perempuan Arab Saudi yang menikmati saat-saat menggembirakan, sebagaimana dilaporkan oleh editor BBC untuk masalah dunia Arab, Sebastian Usher dari Riyadh.
Dalam pertandingan persahabatan antara Brasil dan Argentina di Riyadh pada pertengahan November lalu, perempuan diizinkan menonton padahal selama puluhan tahun, stadion di Arab Saudi steril dari perempuan.
Ketika itu stadion hanya diisi oleh pria Arab Saudi yang mengenakan keffiyeh atau penutup kepala bercorak merah putih dan jubah Arab berwarna putih.
- Mengapa Arab Saudi dituduh 'manfaatkan olahraga untuk tutupi catatan buruk HAM'?
- Sebut feminisme sebagai bentuk ekstremisme, Arab Saudi meminta maaf
- Dua mantan pegawai Twitter dituduh 'menjadi mata-mata' untuk pemerintah Arab Saudi
Riyadh beberapa dekade tahun lalu merupakan kota yang tertutup, tidak ramah pada pendatang, dan sedikit saja lampu penerangan yang dipancarkan dari pusat-pusat perbelanjaan.
Para ekspatriat, lapor Usher, sering kali melakukan tiarap selama bertahun-tahun ketika bekerja di Riyadh, hanya kadang-kadang saja mereka muncul ke permukaan dengan mengonsumsi alkohol, berlibur atau menjalin perselingkuhan.
Setiap kali berbelanja ke toko, orang selalu terburu-buru karena waktu salat tiba dan toko-toko ditutup. Pelayan toko merasa takut ditindak oleh polisi agam yang aktif melakukan patroli dan menangkapi orang-orang yang melanggar aturan.
Riyadh sekarang
Bagi generasi muda Arab Saudi, dunia mereka terkungkung di dalam tembok tinggi yang membentengi rumah mereka. Perumahan penduduk tersebut dari tahun ke tahun bertambah luas.
Mereka hanya bersosialisasi dari satu rumah ke rumah lainnya, mengunjungi sanak keluarga dan teman-teman terdekat saja.
Namun gambaran kota Riyadh seperti itu sekarang sudah tidak berlaku.
Pembukaan tempat-tempat umum telah mengubah kota, dan juga menghilangnya polisi agama dari kehidupan sehari-hari.
Seorang perempuan muda campuran Arab, kepada Sebastian Usher, mengaku Riyadh sebelumnya merupakan kota yang sangat membelenggu bagi perempuan yang dikenal sebagai perancang busana dan influencer itu.
Kini dengan perubahan yang begitu cepat, ia merasa lebih konservatif ketika kembali ke Riyadh dibandingkan dengan teman-temannya yang tinggal di Arab Saudi sepanjang hidup mereka.
Dikatakannya pencabutan larangan mengemudi bagi perempuan tahun lalu merupakan tonggak penting, meskipun ia sendiri belum mengantongi surat izin mengemudi.
Teman-temannya orang Arab Saudi, menurut perempuan itu, sekarang mempunyai tempat tinggal sendiri yang membuat mereka sejajar dengan laki-laki.
Akan tetapi perlu diingat terdapat empat aktivis perempuan Saudi yang dipenjara dan tujuh lainnya dibebaskan dengan jaminan.
Selama bertahun-tahun, mereka memperjuangkan hak-hak perempuan dan diperkarakan di pengadilan atas dakwaan membahayakan keamanan negara itu. Di media setempat mereka dikecam sebagai pengkhianat.
Perlakuan yang mereka alami adalah luka di dalam tatanan kehidupan Arab Saudi baru, tetapi bukan berarti belum ada perubahan nyata sejauh ini.
Ini adalah paradoks, sebagian dari apa yang terjadi dapat dianggap sebagai roti dan sirkus untuk membuat orang senang atau mengalihkan perhatian dari masalah.
Ulama dipenjara
Di kota Riyadh juga digelar acara-acara hiburan selama dua bulan, termasuk bioskop terbuka dan konser pop.
Dalam salah satu acara hiburan, seorang penyanyi rap Amerika Serikat mengacung-acungkan beha yang dilemparkan oleh penonton dan aksi itu direkam dalam video yang kemudian viral.
Ada juga taman musim dingin Winter Wonderland, yang biasanya diadakan untuk menyambut Natal, walaupun taman itu tidak dilengkapi dengan Sintar Klaus.
Satu kawasan di pinggiran kota yang dikenal dengan nama Riyadh Boulevard menarik ribuan orang setiap malam.
Para penyanyi Arab terkenal berbondong-bondong menuju jalan utama, sementara perempuan muda bercadar mencoba menghentikan pejalan kaki untuk mencoba berbagai parfum.
Di sana terdapat puluhan restoran, pengunjung laki-laki dan perempuan berbaur tanpa ada pemisahan seperti sebelumnya. Mereka dapat menyaksikan atraksi lampu di danau buatan setiap jam.
Hanya sekitar empat tahun lalu, semua yang terjadi seperti itu sudah barang tentu akan dikecam oleh ulama Saudi, yang mempunyai kekuasaan besar meskipun sekarang berkurang.
Kini, banyak dari mereka berada penjara setelah gagal mendukung perubahan-perubahan besar yang digelindingkan oleh Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
"Ratusan laki-laki Saudi memenuhi salah satu masjid terbesar di Riyadh ketika saya berada di sana untuk melayat salah seorang ulama- kematiannya, menurut kelompok hak asasi manusia Saudi, disebabkan oleh perlakuan buruk yang dialaminya di penjara, meskipun tuduhan itu belum dikonfirmasi," lapor Sebastian Usher dari Riyadh.
Beberapa hari kemudian, suasana pesta di Riyadh diguncang oleh insiden penusukan dalam suatu pertunjukan yang mengakibatkan beberapa artis asing luka-luka.
Para asisten dan penasihat Putra Mahkota Mohammed bin Salman berpendapat hal itulah yang seharusnya membuat dunia mendukung sang Pangeran karena kekuatan reaksi dapat membalikkan arah reformasi.
"Satu tahun lalu, saya berada di Riyadh untuk meliput pembunuhan wartawan Jamal Khashoggi oleh agen-agen Saudi di Konsulat Saudi di Istanbul - seorang redaktur Saudi sepakat bahwa berita itu merupakan berita yang paling jarang yang setiap kekejian dan detailnya terungkap benar.
Sekarang, kasus pembunuhan tersebut tidak begitu menjadi bayang-bayang karena tamu-tamu asing tidak merasa malu berada di Saudi Arabia lagi.