Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Sejarah bulu tangkis di Olimpiade: Mengapa Indonesia sulit lahirkan Susy Susanti generasi baru?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
Susy Susanty Getty Images
Susy Susanty dan Alan Budikusuma sama-sama menyumbangkan emas untuk Indonesia di Olimpiade 1992 di Barcelona.

Dengan mata berkaca-kaca, Susy Susanti menatap bendera Merah Putih di arena Olimpiade 1992 di Barcelona, Spanyol.

Sikapnya takzim, sementara kedua tangannya erat memegang karangan bunga.

Baca Juga:

Beberapa menit sebelumnya ia mengalahkan pemain Korea Selatan, Bang Soo-hyun, di babak final tunggal putri, 5-11 11-5 dan 11-3, kemenangan yang mengantarkan Susy meraih medali emas, yang terlihat terkalung di lehernya.

Ini bukan sembarang medali emas. Ini adalah medali emas pertama kontingen Indonesia dalam sejarah keikutsertaan di Olimpiade, pesta olahraga dunia paling akbar.

Susy layak menyabet medali emas. Ia adalah pemain tunggal putri terbaik di eranya.

Baca Juga:

Tiga tahun sebelum Olimpiade Barcelona, ia membawa Indonesia menjuarai turnamen beregu antarnegara, Piala Sudirman.

Secara perorangan ia juga tampil yang terbaik di Piala Dunia di Guangzhou, China.

Setahun setelah Olimpiade, ia menyabet emas di Kejuaraan Dunia di Birmingham Inggris, dan pada 1994 ia berperan besar mengantarkan Indonesia meraih Piala Uber, lambang supremasi kekuatan beregu putri, prestasi yang ia ulangi pada 1996.

Di All England, turnamen bulu tangkis tertua dan salah satu yang paling bergengsi di dunia, Susy tercatat empat kali juara.

Sejak 1980 hingga sekarang, tak ada yang bisa menyamai prestasi Susy di All England.

Mengapa belum ada Susy yang baru

Akane Yamaguchi Getty Images
Pemain Jepang Akane Yamaguchi menempati peringkat tiga dunia. Di 11 besar dunia, ada tiga pemain putri Jepang.

Sayang, setelah Susy gantung raket pada 1998, Indonesia belum menemukan pemain putri sekaliber dirinya.

Mengapa sulit menemukan atau mencetak Susy yang baru?

Ellen Angelinawaty, juara Indonesia Open 2001 yang sekarang menjadi pelatih di klub bulu tangkis PB Djarum Kudus, Jawa Tengah, mengatakan mungkin salah satu penyebabnya adalah "tingkat daya juang anak-anak sekarang yang tak sebesar anak-anak di generasi Susy".

"Daya juang anak-anak sekarang belum terlihat maksimal. Itu salah satu tugas kami sebagai pelatih [untuk mengatasinya]," kata Ellen.

"Setiap hari kami mengingatkan apa yang perlu dipegang dan dikuasai dari latihan hari ini. Itu harus setiap hari diingatkan. Kalau tidak, anak-anak sekarang [akan abai], ah bodo amat," katanya.

"Mereka seperti tak peduli, pokoknya hanya bermain badminton. Tapi badminton seperti apa? Yang menentukan [keberhasilan] itu kemauan si anak. Kalau tak punya kemauan yang tinggi, ya tak bisa [menjadi atlet yang andal]. Harus ada tekad yang benar-benar kuat," kata Ellen.

Bagi Susy sendiri, yang sekarang bertanggung jawab atas bidang pembinaan dan prestasi di Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI), vakumnya pemain putri kelas dunia dari Indonesia tak lepas dari kelengahan melakukan regenerasi setelah ia pensiun pada akhir 1990-an.

"Ada satu masa di mana kita kehilangan satu generasi. Nah ini untuk mengembalikannya perlu proses. Sekarang kita menemukan satu dua pemain, itu pun belum bisa menunjukkan prestasi maksimal, [prestasi] yang tertinggi," kata Susy.

Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Pratama, kata Susy, saat ini mengambil lebih banyak pemain putri dengan harapan bisa dihasilkan juara-juara baru.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Tentunya hasilnya tidak bisa kita petik sekarang. Mungkin dalam beberapa Olimpiade ke depan," kata Susy.

Di tingkat akar rumput, klub-klub bulu tangkis melebarkan pencarian bakat ke lebih banyak kota.

Dengan begitu bisa ditemukan anak-anak yang berpotensi namun selama ini tak bisa ikut audisi karena kendala ekonomi.

"Istilahnya kami yang menjemput bola. Kami bisa ambil anak-anak yang berpotensi bagus [yang selama ini tidak terpantau]," kata Dionysius Hayom Rumbaka, mantan pemain tunggal putra yang sekarang melatih pemain-pemain junior di PB Djarum.

Cari bibit pemain putri susah

Indikator kiprah pemain putri Indonesia yang belum menunjukkan hasil mengesankan adalah final tunggal putri Indonesia Masters 2020 Januari lalu di Istora Jakarta.

Babak final diisi oleh Carolina Marin dari Spanyol dan Ratchanok Intanon dari Thailand.

Tiga tunggal putri Indonesia rontok di putaran pertama.

Gregoria Mariska Tunjung, salah satu pemain tunggal putri Indonesia mengatakan ia dan rekan-rekannya selalu berusaha yang terbaik di setiap turnamen namun sejauh ini belum bisa unjuk gigi melawan pemain-pemain China, India, Denmark, Taiwan dan Jepang, negara yang sekarang mendominasi sektor putri.

"Ya tentu saya ingin seperti Susy Susanti. Ia adalah legenda dan idola saya. Namun untuk sekarang, saya inginnya jangka pendek dulu, juara di turnamen-turnamen tingkat bawah. Harapannya, pemain-pemain lain lebih bisa bersaing juga," kata Gregoria.

Untunglah di babak final Indonesia Masters 2020, ada pasangan ganda putri, Greysia Polii/Apriyani Rahayu, yang di luar dugaan dan secara dramatis mengalahkan pasangan Denmark, Maiken Fruergaard/Sara Thygesen, 18-21, 21-11 dan 23-21, di babak final.

Hal lain yang tak kalah krusial adalah meningkatkan animo untuk menjadi pemain putri.

Ketua PB Djarum, Yoppy Rosimin, mengatakan persediaan calon pemain putri lebih sedikit dibadingkan calon pemain putra.

"Kami kesulitan melakukan kaderisasi untuk putri. Lumayan susah. Ini berbeda dengan putra. Banyak anak laki-laki yang suka [bulu tangkis]," kata Yoppy.

Kesulitan ini antara lain diatasi dengan menarik sebanyak mungkin murid perempuan untuk ikut kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.

"Nggak apa-apa belum bisa main, yang penting suka dulu. Selain itu, kami menambah jumlah juara dalam suatu kegiatan. Selama ini kan juara biasanya satu, dua, tiga, dan empat. Nah kategori juara kami tambah. Intinya adalah menarik minat anak-anak perempuan," katanya.

"Keyakinan kami, kalau kader makin banyak, maka makin gampang untuk mencari bibit," kata Yoppy.

Ketua bidang pembinaan dan prestasi PBSI, Susy Susanti, mengakui susahnya mencari bibit pemain yang berkualitas.

"Harus diakui, bibit putri lebih minim dibandingkan putra. Minat untuk menjadi atlet putri, baik untuk bulu tangkis maupun cabang olahraga lain, juga lebih kecil. Kami sudah punya beberapa pemain muda, namun masih dalam tahap pematangan," kata Susy.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada