Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Covid-19: Sudahkah dunia menang melawan pandemi?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan
People on the beach with facemasks Getty Images

Baru enam bulan yang lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan dunia dalam keadaan darurat karena suatu virus baru.

Pada hari itu, akhir bulan Januari, dilaporkan terdapat hampir 10.000 kasus virus corona dan lebih dari 200 orang meninggal dunia. Tidak ada satu pun dari kasus-kasus itu yang berada di luar China.

Baca Juga:

Sejak saat itu, dunia, juga hidup kita, telah banyak berubah. Jadi, bagaimana kabar umat manusia dalam pertarungan sengit melawan virus corona?

Jika memperhitungkan planet ini secara keseluruhan, kelihatannya tidak bagus.

Area chart showing the number of global cases is fast approaching 20 million BBC

Hingga Senin (01/08) telah ada lebih dari 19 juta kasus terkonfirmasi dan 700.000 kematian. Pada awal pandemi, perlu berminggu-minggu untuk mencapai angka infeksi 100.000, kini tonggak itu dicapai hanya dalam hitungan jam.

Baca Juga:

https://twitter.com/JamesTGallagher/status/1242125268279533571

"Kita masih berada di tengah pandemi yang terakselerasi, intens, dan sangat serius," kata Dr. Margaret Harris dari WHO. "[Virus corona] ada di setiap komunitas di dunia."

Meskipun pandeminya satu, ceritanya bermacam-macam. Dampak Covid-19 berbeda-beda di seluruh dunia, dan mudah untuk mengabaikan realitas di luar negara Anda.

Tapi satu fakta menyatukan semuanya, entah itu di hutan hujan Amazon, gedung pencakar langit Singapura, jalanan Inggris, atau pasar tradisional dan perkantoran di Indonesia: ini adalah virus yang menyebar melalui kontak antar manusia.

Prinsip utama ini menjelaskan situasi di tempat manapun di dunia dan menentukan situasi di masa depan.

Ketika nongkrong-nongkrong pun bisa tertular

covid-19, virus corona Getty Images
India kini memiliki pertambahan kasus harian terbesar di dunia.

Kontak antar manusia mendorong tingginya volume kasus di Amerika Latin - pusat pandemi saat ini - dan lonjakan di India. Hal ini pula yang menjelaskan alasan Hong Kong menahan orang-orang di fasilitas karantina atau otoritas Korea Selatan memantau ponsel dan rekening bank warganya.

Ia menggambarkan kerepotan Eropa dan Australia dalam berusaha menyeimbangkan pelonggaran lockdown dan menekan penyebaran penyakit.

Ini pula yang menjadi alasan kita untuk berusaha menemukan "normal baru" alih-alih kembali pada keseharian lama kita.

"Ini virus yang tersebar di seluruh dunia. Ia memengaruhi semua orang tanpa kecuali. Ia menular dari manusia ke manusia, dan menegaskan bahwa kita semua saling terkait," kata Dr Elisabetta Groppelli, dari St George's, Universitas London.

"Ia menyebar tidak hanya karena aktivitas bepergian, tapi juga berbicara dan nongkrong-nongkrong — hal-hal yang biasa dilakukan manusia."

Bahkan menyanyi bersama bisa menularkan virus, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC).

Virus ini terbukti sangat sulit dilacak, menyebabkan gejala ringan bahkan tanpa gejala bagi banyak orang, tapi cukup mematikan bagi banyak orang lain untuk membuat rumah sakit kewalahan.

"Ini virus pandemi yang sangat pas dengan zaman kita. Kita sekarang hidup di zaman virus corona," kata Dr Harris.

Negara yang berhasil dan kesulitan tangani pandemi

Sejumlah negara sukses melawan melawan virus dengan menghentikan kemampuannya untuk menyebar dari satu orang ke orang lain.

Selandia Baru paling banyak mendapat sorotan. Mereka bertindak lebih cepat, ketika masih ada sedikit kasus di negara itu: mengunci diri, menyegel perbatasan, dan sekarang hampir tidak ada kasus.

Kehidupan di sana sebagian besarnya telah kembali normal.

Melakukan hal-hal mendasar dengan baik juga telah membantu negara-negara yang kurang berada. Mongolia adalah negara yang memiliki perbatasan paling panjang dengan China, tempat pandemi bermula. Negara itu bisa saja terdampak dengan parah. Namun demikian, tidak ada satu pun kasus yang membutuhkan perawatan intensif ditemukan hingga bulan Juli. Hingga saat ini mereka hanya memiliki 293 diagnosis dan tidak ada kematian.

Ulaanbaatar, Mongolia Getty Images
Banyak orang masih tinggal di dalam tenda tradisional - atau gers - di ibu kota Mongolia, Ulaanbaatar, dengan satu keluarga besar berbagi satu ruangan.

"Mongolia telah melakukan pekerjaan bagus dengan sumber daya yang sangat terbatas. Mereka langsung turun ke jalan untuk mengisolasi kasus, mengidentifikasi kontak dan mengisolasi kontak tersebut," kata Prof David Heymann, dari London School of Hygiene and Tropical Medicine.

Mereka juga lekas menutup sekolah, membatasi perjalanan internasional, dan menjadi salah satu negara yang pertama kali mengkampanyekan masker dan cuci tangan.

Di sisi lain, menurut Prof. Heymann, "kurangnya kepemimpinan politik" telah menghambat banyak negara tempat "pemimpin kesehatan masyarakat dan pemimpin politiknya mengalami kesulitan berkomunikasi".

Di dalam iklim seperti itu, virus tersebar dengan mudah.

Presiden Amerika Serikat Donald Trump dan dokter penyakit menular terkemuka di negara itu, Anthony Fauci, sering tidak satu suara selama pandemi ini.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Presiden Brasil, Jair Bolsonaro, bergabung dengan demonstrasi anti-lockdown, menyebut virus corona sebagai "flu ringan" dan mengatakan bahwa pandemi hampir berakhir pada bulan Maret lalu.

Bukannya berakhir, di Brasil saja, 2,8 juta orang telah terinfeksi dan hampir 100.000 orang telah meninggal dunia.

Penggali kubur di Brasil Getty Images
Penggali kubur di Pemakaman Vila Formosa, daerah perbatasan kota Sao Paulo, Brasil.

Namun negara-negara yang telah berhasil mengungguli virus corona – utamanya melalui lockdown yang menyulitkan, bahkan melumpuhkan masyarakat – mendapati bahwa si virus belum hilang, akan menyebar lagi jika kita lengah, dan kenormalan masih sangatlah jauh.

"Mereka mendapati bahwa keluar dari lockdown lebih sulit daripada memasukinya," kata Dr Groppelli. "Mereka belum berpikir tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan dengan virus."

Australia adalah salah satu negara yang berusaha keluar dari lockdown, tapi negara bagian Victoria sekarang berada dalam mode "darurat".

Melbourne kembali memberlakukan karantina wilayah pada awal Juli, namun - karena penularan terus berlanjut - sejak itu telah menerapkan aturan yang lebih ketat. Sekarang ada jam malam dan masyarakat diperbolehkan berolahraga dalam jarak hanya 5 km dari rumah mereka.

Eropa juga mulai membuka lockdown, tapi Spanyol, Prancis, dan Yunani semuanya melaporkan jumlah kasus tertinggi mereka dalam beberapa minggu.

Jerman baru saja melaporkan lebih dari 1.000 kasus dalam sehari untuk pertama kalinya dalam tiga bulan.

Charts show cases in six European countries where cases reported to be rising again BBC

Mengenakan masker, yang dulu adalah sesuatu yang aneh, sekarang menjadi hal biasa di Eropa, bahkan beberapa resor pantai mewajibkannya.

Dan – sebagai peringatan bagi kita semua – kesuksesan masa lalu bukanlah jaminan untuk kesuksesan masa depan. Hong Kong mendapat banyak pujian karena berhasil melawan gelombang pertama virus corona — sekarang bar-bar dan pusat-pusat kebugaran ditutup lagi, sementara resor Disneyland-nya hanya sempat buka selama kurang dari sebulan.

"Meninggalkan lockdown tidak berarti kembali ke cara lama. Ini normal baru. Orang-orang sama sekali tidak menangkap pesan itu," kata Dr. Harris.

Posisi Afrika dalam perang melawan virus corona masih menjadi pertanyaan terbuka. Ada lebih dari satu juta kasus; menyusul awal yang sukses, Afrika Selatan tampaknya berada dalam situasi yang buruk, mencatat sebagian besar kasus di benua itu. Namun tes yang relatif sedikit berarti sulit untuk mendapatkan gambaran jelasnya.

Dan ada pertanyaan tentang angka kematian di Afrika yang jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara lain di dunia. Berikut beberapa kemungkinan alasannya:

  • Populasi yang jauh lebih muda — usia rata-rata (rata-rata) di Afrika adalah 19 dan Covid lebih mematikan di usia tua
  • Jenis virus corona lainnya mungkin lebih umum dan mungkin memberikan semacam perlindungan
  • Masalah kesehatan yang umum terjadi di negara kaya, seperti obesitas dan diabetes tipe 2, yang meningkatkan risiko Covid, lebih jarang terjadi di Afrika

Negara-negara berinovasi untuk menanggapi krisis ini. Rwanda menggunakan drone untuk mengirimkan suplai obat ke rumah sakit dan mensosialisasikan aturan-aturan pembatasan virus corona.

Drone bahkan digunakan untuk menangkap mereka yang melanggar aturan.

Namun seperti yang terjadi di beberapa wilayah di India, Asia Tenggara, dan sekitarnya, akses ke air bersih dan sanitasi menyulitkan langkah pencegahan yang paling sederhana: mencuci tangan.

"Ada orang yang punya air untuk mencuci tangan dan ada yang tidak," kata Dr. Groppelli. "Ini perbedaan yang begitu besar, kita bisa membagi dunia menjadi dua. Dan ada tanda tanya besar tentang bagaimana mereka mengendalikan virus kecuali ada vaksin."

virus corona BBC

GEJALA dan PENANGANAN: Covid-19: Demam dan batuk kering terus menerus

PETA dan INFOGRAFIS: Gambaran pasien yang terinfeksi, meninggal dan sembuh di Indonesia dan dunia

VAKSIN: Seberapa cepat vaksin Covid-19 tersedia?

Laporan khusus BBC terkait Covid-19


Jadi, kapan semua ini akan berakhir?

Sudah ada obat untuk perawatan. Deksametason – jenis steroid murah – terbukti bisa menyelamatkan beberapa pasien yang sakit parah. Tapi ia tidak cukup untuk mencegah semua pasien Covid-19 meninggal dunia atau menghapus kebutuhan untuk pembatasan sosial.

Swedia akan disorot dalam beberapa bulan mendatang untuk melihat apakah strateginya sukses dalam jangka panjang. Negara itu tidak memberlakukan karantina, namun sejauh ini mencatat tingkat kematian yang jauh lebih tinggi daripada negara-negara tetangganya, setelah gagal melindungi orang-orang di panti jompo.

Umumnya, harapan dunia untuk kembali normal bergantung pada vaksin. Mengimunisasi khalayak akan menghambat kemampuan virus untuk menyebar.

Ada enam vaksin yang saat ini telah memasuki uji klinis fase tiga. Ini adalah tahapan kritis di mana kita akan menemukan apakah vaksin yang kelihatannya menjanjikan benar-benar manjur. Ini juga rintangan terakhir yang telah menggugurkan banyak obat. Para pejabat kesehatan mengatakan penekanannya harus tetap pada "jika" kita menemukan vaksin, bukan "ketika".

Dr Margaret Harris, dari WHO, berkata: "Keyakinan orang-orang pada vaksin dipengaruhi Hollywood; mereka percaya bahwa para saintis akan memperbaiki segalanya. Dalam film berdurasi dua jam, akhir cerita datang cukup cepat, tapi saintis bukan Brad Pitt, yang menyuntik diri sendiri dan berkata 'kita semua akan selamat'. "

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada