Pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un, menyerukan kepada warga negaranya untuk bersiap-siap menghadapi krisis "sulit", menyusul peringatan dari kelompok-kelompok hak asasi manusia bahwa negara itu menghadapi kekurangan pangan dan mengalami ketidakstabilan ekonomi.
Dalam pidato konferensi partai pada Kamis (09/04), Kim tampak membandingkan situasi ini dengan bencana kelaparan era 1990-an.
Ia meminta kepada para pejabat untuk "menyiapkan lagi 'Arduous March' (atau Maret yang berat) guna meringankan beban kesulitan rakyat sekalipun "hanya sedikit".
Istilah Arduous March digunakan secara resmi oleh para pejabat Korea Utara (Korut) untuk merujuk pada perjuangan negara itu mengatasi bencana kelaparan berat pada 1990-an.
Periode itu bersamaan dengan keruntuhan Uni Soviet sehingga memutus bantuan vital untuk Korea Utara. Sekitar tiga juta orang diperkirakan meninggal dunia selama masa tersebut.
"Bukan hal luar biasa bagi Kim Jong-un untuk membicarakan kesulitan dan penderitaan tetapi kali ini nada bahasanya cukup keras dan itu berbeda," jelas Colin Zwirko, analis masalah Korea Utara di NK News, kepada BBC.
"Sebagai contoh Oktober lalu, ia menyampaikan pidato yang di dalamnya berisi pengakuan bahwa ia sendiri gagal mewujudkan perubahan yang cukup memadai. Tetapi ia belum pernah menyebut secara jelas seperti sekarang bahwa ia memutuskan untuk menyiapkan Arduous March yang baru."
Korea Utara telah menutup seluruh perbatasannya selama pandemi virus corona. Kondisi ini menyebabkan perdagangan dengan China, yang merupakan tali pertolongan bagi perekonomiannya, terhenti.
Masalah ini belum termasuk sanksi-sanksi ekonomi yang diterapkan oleh negara-negara lain sehubungan dengan program nuklir Korea Utara.
Wartawan BBC, Laura Bicker, yang melaporkan dari Seoul, ibu kota Korea Selatan, mengatakan ada alasan penting mengapa pemimpin Korut mengeluarkan peringatan secara terbuka.
"Kim Jong-un menggalang dukungan dari dalam partainya ketika masa-masa sulit tiba. Ia memastikan semua peringatan datang dari dirinya langsung - terlebih ketika situasi memburuk, sehingga ia mungkin bisa menyalahkan para pejabatnya karena gagal menindaklanjuti perintahnya," katanya.
Seberapa buruk situasi Korut?
Selama berbulan-bulan terakhir muncul peringatan bahwa rakyat Korea Utara sedang mengalami kesulitan.
Laporan-laporan tentang masalah itu tampak berasal dari kota-kota yang khususnya terletak di dekat perbatasan dengan wilayah China. Bagi banyak warga, penyelundupan manusia menyumbangkan pendapatan besar di wilayah perbatasan itu.
- Rakyat Korea Utara 'terkepung siklus korupsi'
- Kekeringan terburuk selama hampir 40 tahun melanda Korea Utara
- Pesenam Korea Utara berhasil membelot ke Korea Selatan karena sekrup longgar
Harga jagung, makanan pokok bagi sebagian besar penduduk pedesaan, dilaporkan mengalami fluktuasi secara drastis dan bahkan harga satu kilogram jagung kadang-kadang lebih besar dari upah satu bulan.
Lina Yoon, peneliti Human Rights Watch, mengatakan dalam laporan terbaru berdasarkan keterangan narasumber di Korut yang namanya tidak disebutkan bahwa "hampir tidak ada pasok pangan masuk ke negara itu dari China selama hampir dua bulan terakhir".
"Ada begitu banyak pengemis, sebagian orang meninggal karena kelaparan di wilayah perbatasan, dan tidak ada sabun, pasta gigi, atau baterai."
Pelapor khusus PBB untuk masalah HAM Korea Utara, Tomás Ojea Quintana, bulan lalu memperingatkan dalam laporan tentang "krisis pangan parah" telah menyebabkan kelaparan dan malnutrisi.
"Kematian akibat kelaparan sudah dilaporkan terjadi, demikian juga dengan peningkatan jumlah anak dan warga lansia yang terpaksa meminta-minta karena keluarga mereka tak mampu membantu."
Hingga kini belum jelas apakah ada bantuan pangan yang masuk ke Korut.
Mengapa Korea Utara mengalami kesulitan?
Dikendalikan secara ketat oleh pemerintah, perekonomian Korea Utara tercatat sebagai salah satu yang paling tidak bebas di dunia dan dilaporkan sangat tidak efisien.
Pengeluaran besar untuk menopang militer dan struktur keamanan menyisakan hanya sedikit dana untuk rakyat biasa.
Sanksi ekonomi internasional yang diberlakukan untuk menekan Korea Utara meninggalkan program nuklir memperburuk situasi di sana. Demikian juga dengan penutupan perbatasan guna mencegah penyebaran virus corona.
Perdagangan bilateral dengan China berhenti sejak awal tahun 2020, memutus tali pertolongan vital bagi pasokan resmi maupun pasokan gelap ke Korut.
Sekarang muncul indikasi bahwa Pyongyang merasa perlu membuka kembali perbatasan meskipun belum seluruhnya, menurut analis masalah Korea Utara, Colin Zwirko.
"Korea Utara telah menunjukkan tanda-tanda ingin meningkatkan perdagangan dengan China lagi. Mereka mengesahkan undang-undang beberapa bulan lalu untuk memfasilitasi perdagangan di wilayah perbatasan," katanya.
"Namun pada pokoknya, Korea Utara tetap sangat paranoid terhadap virus. Mereka benar-benar harus berubah dan percaya pada kemampuan untuk membasmi kuman pada barang-barang yang masuk."
Korea Utara mengklaim kebijakan penutupan perbatasan telah membuat negara itu bebas dari Covid-19, meskipun para pengamat meragukannya.