Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Vaksin asal China Sinopharm dapat izin WHO, bagaimana dengan Sinovac yang sudah dipakai luas di Indonesia?

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memberikan persetujuan darurat bagi vaksin Covid Sinopharm buatan perusahaan pemerintah China.

Ini kali pertama vaksin produksi negara non-Barat yang mendapat persetujuan WHO.

Baca Juga:

Vaksin ini sudah diberikan kepada jutaan orang di China dan tempat-tempat lain.

WHO sebelumnya hanya menyetujui vaksin buatan Pfizer, AstraZeneca, Johnson & Johnson dan Moderna.

Namun pihak regulator sejumlah negara - terutama di Afrika, Amerika Latin dan Asia - telah lebih dulu menyetujui vaksin-vaksin buatan China untuk penggunaan darurat.

Baca Juga:

Dengan sedikitnya data yang dirilis secara internasional sejak awal, efektivitas vaksin-vaksin asal China belum dipastikan.

Namun WHO pada Jumat (07/05) menyatakan bahwa pihaknya telah mengesahkan "keamanan, kemanjuran, dan kualitas" vaksin Sinopharm.

Bagi WHO, penambahan vaksin itu "berpotensi mempercepat akses vaksin Covid-19 bagi negara-negara yang berupaya melindungi para tenaga kesehatan dan populasi yang berisiko"

Organisasi Kesehatan Dunia itu merekomendasikan vaksin tersebut diberikan dalam dua dosis kepada orang berusia 18 tahun ke atas.

Keputusan atas vaksin China lainnya, yaitu Sinovac, akan muncul beberapa hari mendatang, sementara vaksin Sputnik buatan Rusia masih dalam penilaian.

Mengapa dukungan WHO ini penting?

Lampu hijau dari organisasi itu merupakan panduan bagi pihak regulator di mancanegara untuk memastikan vaksin yang dimaksud aman dan efektif.

Direktur-Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengatakan bahwa pihaknya akan mempercayakan negara-negara "untuk mempercepat persetujuan yang telah mereka buat."

Ini juga berarti bahwa vaksin itu bisa digunakan dalam program global, Covax, yang didirikan tahun lalu untuk menjamin akses vaksin yang berkeadilan di kalangan negara-negara maju dan miskin.

Keputusan untuk memasukkan vaksin China itu dalam daftar penggunaan darurat diharapkan memberi percepatan yang signifikan atas skema Covax, yang selama ini kesulitan dengan masalah pasokan.

Sebelum dapat persetujuan dari WHO, vaksin Sinopharm sudah dipakai secara luas, yaitu sekitar 65 juta dosis, menurut sejumlah laporan.

Selain China, Uni Emirat Arab, Pakistan, dan Hungaria adalah negara-negara lain yang sudah memakai Sinopharm.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

Keputusan menyetujui Sinopharm bagi penggunaan darurat itu dikeluarkan oleh kelompok penasihat teknis WHO, yang mengkaji data klinis terbaru dan praktik pembuatan vaksinnya.

Dikatakan tingkat kemanjuran vaksin untuk kasus Covid-19 yang bergejala dan rawat inap diperkirakan 79%.

WHO mencatat bahwa sedikit orang dewasa di atas usia 60 tahun yang dilibatkan dalam uji klinis, sehingga tingkat efikasinya belum dapat dipastikan untuk kelompok usia tersebut.

Tetapi WHO menyebut tidak ada alasan untuk mengira bahwa vaksin itu akan memiliki efek berbeda bagi penerima yang berusia lanjut.

Sampai berita ini diturunkan WHO belum memberi putusan atas vaksin asal China lainnya, Sinovac. Para pakar Jumat lalu mengaku masih menunggu informasi tambahan sebelum memberi rekomendasi.

Namun jutaan dosis vaksin Sinovac sudah dikirim ke sejumlah negara dan mendapat izin penggunaan darurat oleh pihak berwenang setempat.

Salah satu kelebihan vaksin-vaksin asal China itu adalah mereka bisa disimpan di lemari pendingin dengan suhu 2-8 derajat celcius, seperti vaksin AstraZeneca.

Menurut WHO, penyimpanan yang mudah itu membuat vaksin Sinopharm "sangat cocok di lingkungan dengan sumber yang terbatas."

Bagaimana cara kerja vaksin asal China?

Dua vaksin asal China itu berbeda dengan yang lain, terutama Pfizer dan Moderna.

Dikembangkan dengan cara yang lebih tradisional, suntikan itu menggunakan virus yang tidak aktif, yang berarti menggunakan partikel virus yang dimatikan untuk mengekspos sistem kekebalan tubuh tanpa mengambil risiko respons penyakit yang serius.

Graphic BBC

Sebagai perbandingan, BioNtech/Pfizer dan Moderna merupakan tipe vaksin mRNA. Ini berarti bagian dari kode genetik virus corona disuntikkan ke tubuh, melatih sistem kekebalan untuk meresponsnya.

Sedangkan AstraZeneca asal Inggris merupakan tipe vaksin yang berbeda, yaitu versi virus flu biasa dari simpanse dimodifikasi untuk mengandung materi genetik yang sama dengan virus corona. Setelah disuntikkan, vaksin itu mengajarkan sistem kekebalan tubuh bagaimana melawan virus yang sebenarnya.

BioNTech/Pfizer and Moderna memiliki tingkat efikasi sekitar 90% atau lebih, sedangkan AstraZeneca sekitar 76%.

April lalu, seorang pejabat pengendalian penyakit di China sempat mengatakan tingkat efikasi vaksin buatan negaranya rendah, walau akhirnya dia mengatakan bahwa komentarnya itu disalahrtikan.

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada