Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Film You and I: 'Dialog dua generasi' antara sineas muda dan dua perempuan eks tapol 65

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

"Jas merah," ucap Kaminah singkat kepada Kusdalini kala menyaksikan tayangan televisi yang memperlihatkan apa yang dia anggap sebagai orang-orang yang dibantai dalam Peristiwa 1965.

"Jas merah piye? (Jas merah gimana?)" jawab Kusdalini dengan nada bingung.

Baca Juga:

Sudah beberapa tahun belakangan ia mengalami demensia hingga banyak hal yang ia lupa.

Dengan sabar, Kaminah yang lebih muda dari Kusdalini membalas, "Jas merah, jangan melupakan sejarah."

"Jangan...," ujar Kusdalini dengan terbata-bata, masih dengan nada bingung.

Baca Juga:

"Jangan melupakan sejarah. Kok wis lali kabeh to mbah (Kok sudah lupa semua sih mbah)", ujar Kaminah, sambil mengelus dahi Kusdalini dengan lembut.

Di usia senja mereka, Kaminah terus menolak lupa atas sejarah kelam yang mereka lalui bersama, sementara memori Kusdalini perlahan-lahan memudar.

Baca juga:

Itu adalah cuplikan dari film dokumenter You and I yang mengisahkan kehidupan Kaminah dan Kusdalini, dua sahabat yang bertemu di penjara 50 tahun lalu karena dituding terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Mereka dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan. Kusdalini menghabiskan dua tahun masa mudanya di penjara, sementara Kaminah harus hidup di penjara lebih lama lagi.

Film yang dibuat pada 2016 dan dirilis tahun lalu ini menyoroti persahabatan kedua eks tapol perempuan ini di usia senja - setengah abad setelah pertemuan mereka di penjara - dengan trauma dan stigma yang melingkupi keseharian mereka.

Karena stigma pula, Kaminah ditolak keluarganya selepas menghabiskan tujuh tahun di balik jeruji besi, hingga Kusdalini mengajaknya tinggal bersama.

Di tengah upaya menyembuhkan luka, keduanya berikrar saling menjaga dan saling mengisi kekosongan dalam hidup masing-masing.

'Ironi sebuah pertemuan'

Pertemuan dan persahabatan kedua perempuan yang tak lekang oleh waktu ini yang menginspirasi Fanny Chotimah untuk mengabadikannya lewat film dokumenter besutannya.

"Yang paling menginspirasi, pertemuan mereka sendiri ini sebuah ironi," kata Fanny kepada BBC News Indonesia.

"Mereka bertemu di penjara untuk pertama kalinya, seperti kita bertemu dengan soulmate kita di situasi yang sungguh tidak menyenangkan," ujarnya kemudian.

Kemalangan yang menimpa mereka tak usai sampai di situ, lanjut Fanny.

Lepas dari penjara, mereka harus menjalani apa yang disebutnya "masa depan yang suram".

Selain trauma akibat perlakuan yang mereka terima selama ditahan, mereka harus hidup dengan stigma eks tapol yang melekat dalam diri mereka.

Fanny menuturkan, itu membuat mereka kehilangan banyak kesempatan untuk mencari penghidupan lebih baik, termasuk memutuskan tidak menikah hingga akhir hayat mereka.

"Bahkan pernah ada statement dari Mbah Kam, 'Ini risiko perjuangan, bahwa kami tidak menikah' karena sangat trauma untuk memasukkan orang lain dalam kehidupan mereka," katanya.

Ketakutan akan terulangnya tragedi yang mereka alami membuat mereka selalu was-was jika suatu saat mereka ditangkap kembali.

Bahkan, keduanya selalu mengingatkan Fanny untuk tidak datang ke rumah yang mereka tinggali di Solo, Jawa Tengah, setiap pembahasan tentang Peristiwa 65 memanas di bulan September.

Merespons karya foto

Menurut Fanny, film dokumenter perdananya ini merupakan respons atas potret Kaminah dan Kusdalini dalam buku foto karya fotografer Adrian Mulya dan penulis Lilis HS bertajuk Sang Pemenang Kehidupan, yang memotret profil 25 perempuan penyintas Peristiwa 1965.

Dari situlah ia kemudian berkenalan dan bertemu secara intens dengan dua perempuan yang ia sapa Mbah Kam dan Mbah Kus, yang tinggal tak jauh dari rumahnya.

"Mereka melihat kehadiranku juga tidak mencurigai apapun, karena memang aku datang bukan sebagai filmmaker, saat itu hanya sebagai anak muda, sebagai teman yang ingin mendengarkan kisah-kisah mereka aja, atau makan bareng atau hang out aja sama mereka," jelas Fanny.

Namun, setelah mengenal lebih dekat dengan Mbah Kam dan Mbah Kus, ia tergerak untuk membuat film dokumenter tentang mereka. Sebab, menurutnya, "dunia perlu tahu keberadaan mereka, dunia perlu tahu suara mereka".

Fanny mengatakan butuh waktu empat tahun untuk memproduksi film dokumenter pertamanya ini.

Tahun pertama ia habiskan untuk riset. Sambil mendengarkan kisah Mbah Kam dan Mbah Kus, ia mulai memperkenalkan alat-alat syuting yang ia gunakan bersama timnya.

"Kita bawa tapi nggak kita rekam. Jadi mereka biasa saja dengan kehadiran alat-alat itu karena memang kadang intimidatif gitu ya, mic yang besar dan kamera, jadi mereka tidak nyaman.

"Mungkin karena ada proses pengenalan dulu dan juga sudah mengenal aku dan timku yang perempuan juga jadi mereka lebih nyaman, lebih senang," katanya.

Di dua tahun pertama proyek film ini, ia dibantu oleh camera person dan sound recordist yang keduanya perempuan.

Hal itu ia pilih demi membuat Kaminah dan Kusdalini merasa nyaman dengan keberadaan mereka selama proses pembuatan film.

"Kadang kita punya bahasa sendiri sesama perempuan. Jika mereka tidak nyaman atau ada hal sensitif, pasti aku sebagai perempuan tidak mau ditanyakan itu atau diambil [gambar] dengan cara begitu. Jadi pertimbangannya pasti itu," ujar Fanny.

Sosok nenek yang tak pernah dikenal

Perkenalan dan proses pembuatan film yang memakan waktu lama membuat hubungan Fanny dan kedua subjek filmnya tersebut kian dekat. Bahkan, ia menganggap keduanya seperti neneknya sendiri.

"Aku punya pengalaman tidak dekat dengan nenekku. Jadi setiap melihat sosok nenek itu selalu pengen tahu karena aku nggak pernah punya sosok nenek yang dekat," akunya.

"Saat aku bertemu dengan Mbah Kam dan Mbak Kus kaya mengingatkan akan nenekku yang tidak pernah aku kenal," katanya.

Sayangnya, di tengah proses pembuatan film, tanpa diduga Kusdalini meninggal dunia setelah dirawat beberapa kali di rumah sakit.

Fanny yang tak siap dengan kabar duka itu merasa kehilangan. Begitu juga dengan Kaminah yang langsung kehilangan semangat hidup setelah kepergian teman sehidup sematinya tersebut.

Setahun kemudian, ia menyusul Kusdalini.

Fanny tak pernah menyangka bahwa filmnya akan menjadi dokumentasi terakhir kehidupan Mbah Kam dan Mbah Kus, namun kematian keduanya jusru menjadi lecutan untuk menuntaskan filmnya.

Pendekatan observasional

Film You and I yang dirilis pada September 2020 berhasil menyabet sejumlah penghargaan, baik di luar maupun dalam negeri.

Terbaru, film ini menyabet penghargaan di CPH: DOX 2021, festival film dokumenter Kopenhagen, Denmark, untuk kategori pendatang baru terbaik pada awal Mei 2021.

Para juri menilai Fanny sebagai sutradara, berhasil "memadukan untaian sejarah dan pengamatan" serta "membawa pemirsa ke momen katarsis yang kuat".

Sebelumnya, film berdurasi 72 menit yang menguras air mata penontonnya ini sempat memenangi penghargaan Asian Perspective Award dalam ajang festival film DMZ International.

You and I juga mendapat Official Selection di Asian Vision dalam Singapore International Film Festival 2020.

Di dalam negeri, film ini memenangi kategori film dokumenter panjang terbaik dalam Festival Film Indonesia 2020.

Ketika ditanya tentang gaya penyutradarannya, Fanny mengaku bahwa awal mulanya ia tak pernah "mengambil pusing" dengan teknik penyutradaraan film You and I yang ia sebut "eksperimental" ini.

Yang ia lakukan, katanya, hanya mengamati dan merekam interaksi Kaminah dan Kusdalini dengan tetap menjaga jarak dengan keduanya.

Iklan
Scroll Untuk Melanjutkan

"Karena dengan karakter-karakter yang kuat itu sepertinya sudah cukup mewakili visiku sebagai sutradara atau mewakili sosok mereka, nggak perlu ditambahin ini-itu lagi," jelas Fanny.

Baca juga:

Betapapun, kondisi Kusdalini dengan demensianya, membawa tantangan tersendiri, kata Fanny.

Namun di situlah ia jadi lebih bisa bereskperimen dengan filmnya.

"Kadang Mbah Kam pengenngobrol, ya udah aku rekam, terus tiba-tiba Mbah Kus lalu datang, ya udah aku tetap rolling (merekam) aja gitu. Karena aku pikir saat itu aku belajar, jadi semua hal rekam aja. Meskipun nggak tahu nanti hasilnya seperti apa pokoknya rekam aja," akunya.

Kritikus film, Hikmat Darmawan, memandang film ini "penting" karena menggunakan gaya obsevasional - salah satu metode dalam film dokumenter yang memerlukan pendekatan yang sangat intim dengan para subjek - sehingga mereka "sampai pada tahap tak sadar kamera".

Pendekatan ini, kata Hikmat, membuat pemirsa merasa "duduk bersama" dan "mengamati" para subjek dalam film itu.

"Sehingga walaupun ditaruh di belakang - Peristiwa 65 - kita merasakan betul bahwa dampaknya panjang sampai sekarang dan belum selesai," katanya.

"Walaupun dia tidak menawarkan wacana, sejarah, wawancara, pendidikan, tapi justru kita bisa merasakan benar tragedi tuh kaya apa sih."

Pergeseran narasi sejarah

Lebih jauh Hikmat mengatakan, You & I adalah salah satu dari segelintir film dokumenter bertema Peristiwa 65.

Ia menuturkan film bertema 65 mengalami "perubahan penting" pada 2000-an, ketika sutradara Garin Nugroho membuat film Puisi Tak Terkuburkan.

Dari film itulah, kata Hikmat, terjadi perubahan narasi dalam film bertema 65. Tak lagi menggunakan sudut pandang penguasa seperti masa Orde Baru (Orba), namun dari sudut pandang korban.

Sejak saat itu, bermunculan film-film bertema 65, baik film fiksi maupun dokementer. Setidaknya, ada sekitar 200 film bertema 65 hingga saat ini.

Di tengah naiknya minat terhadap persoalan 65 sebagai tema film, Hikmat memandang dua film dokumenter karya sutradara Joshua Oppenheimer, Jagal dan Senyap, adalah "dua narasi yang sangat kuat menggugat" narasi sebelumnya tentang Peristiwa 65.

Pictured: Safit Pardede, Anwar Congo, Adi Zulkadry, Joshua Oppenheimer Final Cut For Real
Sutradara Joshua Oppenheimer (kanan) berfoto bersama para pelaku pembantaian pada 1965

"Kita bisa lihat bahwa ini adalah sebuah pengungkapan lewat media audio visual - yang secara sinematik juga layak - untuk mempertanyakan ulang seluruh pijakan masa Orba tentang apa itu Peristiwa 1965. Itu sangat kuat dua itu," tutur Hikmat.

Lebih jauh, Hikmat mengungkapkan, yang membedakan You and I dengan film-film dokumenter bertema 65 terdahulu adalah meski berpijak pada kemanusiaan, film-film seperti Senyap dan Jagal berfokus pada inti persoalan dengan perspektif para pelaku.

Sementara dalam film You and I, kata Hikmat, pijakan humanis itu didekati secara observasional atau pengamatan intim.

"Kamera itu menjadi wahana bagi kita untuk berada di sisi para korban."

'Setiap generasi menulis sejarahnya sendiri'

Perubahan narasi ini dipahami betul oleh sejarawan Bonnie Triyana, yang menekankan adanya adagium bahwa "setiap generasi menulis sejarahnya sendiri".

Bonnie menjelaskan setelah 1998 terjadi "arus balik ingatan sejarah" sekaligus "pertarungan ingatan" tentang Peristiwa 65.

Sebelum 1998, selama 30 tahun pada masa Orde Baru narasi yang disebarluaskan pemerintah adalah narasi penguasa yang tak memberikan tempat bagi narasi lain. Akibatnya, narasi itu menempel di alam bawah sadar warga Indonesia.

Baca juga:

Namun setelah runtuhnya Orde Baru pada 1998 dan diikuti oleh Reformasi, banyak generasi muda yang mulai mempertanyakan sejarah 65. Periode ini ia sebut sebagai "transisi demokrasi".

"Mereka mulai mempertanyakan, mereka mulai ingin mempersoalkan itu dan kemudian ujung-ujungnya ada semacam rekonsiliasi atau semacam klarifikasi terhadap sejarah itu sendiri.

Film You and I, menurut Bonnie, adalah bagian dari adagium bahwa setiap generasi akan menulis sejarahnya sendiri dengan menawarkan narasi lain dari Peristiwa 65 dan yang terjadi sesudahnya.

"Sekarang dengan perkembangan teknologi informasi yang sedemikian hebatnya cara-cara menampilkan versi sejarah alternatif yang mengkontestasi narasi penguasa itu makin kreatif dan mengena," katanya.

Melalui dua sosok dalam film itu dengan kisah yang menyentuh rasa kemanusiaan, lanjut Bonnie, kita bisa memahami ada yang salah dengan masa lalu kita.

"Dan penampilan mereka di dalam film dokumenter ini menunjukkan bahwa mereka ini cuma puncak gunung es, di bawahnya ada banyak persoalan," katanya.

"Tidak hanya soal Tapol perempuan, bagaimana dengan anak-anak yang bapaknya nggak ada, yang ibunya ditahan. Bagaimana mereka menjalani kehidupannya, ada yang beruntung, ada yang sukses ada terpuruk."

Lebih jauh, Bonnie menuturkan bahwa film ini menampilkan "realita historis" yang menjadi beban generasi saat ini, yaitu stigma terhadap mereka yang dituding terlibat dan penegakkan keadilan terhadap para penyintas.

"Kondisinya adalah mereka yang dulu dikalahkan setelah penguasa Orde Baru jatuh, lengser, mereka tetap pada posisi yang dikalahkan, karena stigma itu kuat."

Melawan stigma yang sudah terlanjur menempel selama puluhan tahun bukanlah perkara mudah, kata Bonnie.

Mengutip sastrawan Milan Kundera, ia mengatakan bahwa "perjuangan melawan kekuasaan adalah perjuangan melawan lupa".

"Jadi caranya kita banjiri domain publik di media sosial dengan narasi-narasi yang kreatif tentang peristiwa ini, dari berbagai sudut pandang, dari berbagai angle, dari berbagai perspektif, salah satunya ya film You & I ini."

Peristiwa 1965 Getty Images
Sejarah mengusulkan perlunya diskusi terbuka untuk mengupas versi sejarah seperti yang digambarkan di film Pengkhianatan G30S/PKI.

'Dialog dua generasi' dan 'berkejaran dengan waktu'

Sementara itu, pegiat hak perempuan sekaligus komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, mendeskripsikan film You and I sebagai "dialog dua generasi antara penyintas 65 dan perempuan generasi saat ini".

"Dan memang dalam konteks ini, menurut saya film ini bisa menjadi semacam upaya untuk memahami apa yang sebenarnya terjadi tahun 65, yang diwakili oleh dua tokoh ini," katanya.

Pada 2007, Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap 112 perempuan penyintas 65.

Dari kesaksian mereka, Komnas Perempuan mengkategorikan Peristiwa 65 dan keberlanjutannya adalah apa yang disebut sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan". Misalnya, kekerasan berbasis gender.

Baca juga:

"Walaupun di dalam film ini tidak dinarasikan demikian (kekerasan berbasis gender), tapi seperti dimunculkan bahwa 'Ini perempuan-perempuan yang karena Peristiwa 65 mereka ditahan, dipenjara tanpa pengadilan, kemudian mendapat persekusi dan stigma berkelanjutan dan di masa tuanya menjadi miskin [dan] marginal dan ibaratnya tidak ada upaya untuk pengembalian hak-hak mereka'," jelas Ami.

Kesaksian para perempuan penyintas 65, kata Ami, penting untuk diketahui generasi perempuan saat ini "agar tidak semata-mata mendapat informasi yang belum teruji atau tidak imbang".

"Sementara, kita berpacu dengan waktu karena para penyintas ini semakin sepuh, satu per satu semakin lupa akan apa yang terjadi dan kemudian meninggal."

"Sementara upaya-upaya untuk keadilan, kebenaran dan pemulihan, maupun rekonsiliasi itu belum dilakukan," katanya.

Generasi saat ini yang berkejaran dengan waktu dalam meriwayatkan para penyintas 65, disadari betul oleh Fanny, yang tanpa sengaja mendokumentasikan momen-momen terakhir kehidupan Kaminah dan Kusdalini.

"Penyintas ini sudah sepuh, kita berkejaran dengan waktu sebetulnya karena kupikir setiap penyintas punya kisah berharga untuk didokumentasikan."

"Dan ini pun sudah semakin berguguran".

Betapapun, film ini menjadi arsip bagi semua kalangan, baik tua maupun muda, agar tidak mengabaikan sejarah, seperti salah satu dialog yang disampaikan Kaminah: "Jasmerah, jangan melupakan sejarah".

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada