Lupa Kata Sandi? Klik di Sini

atau Masuk melalui

Belum Memiliki Akun Daftar di Sini


atau Daftar melalui

Sudah Memiliki Akun Masuk di Sini

Konfirmasi Email

Kami telah mengirimkan link aktivasi melalui email ke rudihamdani@gmail.com.

Klik link aktivasi dan dapatkan akses membaca 2 artikel gratis non Laput di koran dan Majalah Tempo

Jika Anda tidak menerima email,
Kirimkan Lagi Sekarang

Logo BBC

Korindo: Lisensi keberlanjutan perusahaan sawit raksasa asal Korsel dicabut lembaga sertifikasi hutan FSC

Reporter

Editor

BBC

image-gnews
Iklan

Forest Stewardship Council, FSC, lembaga sertifikasi hutan mengumumkan langkah mencabut lisensi merek dagang perusahaan sawit Korea Selatan Korindo untuk sementara.

'FSC menghentikan lisensi merek dagang Korindo dengan FSC dan penghentian ini akan mulai berlaku mulai 16 Oktober 2021,' demikian pengumuman FSC Kamis (15/07).

Cap FSC, yang bergambar pohon, ditempel pada produk-produk kertas dan barang berbahan kayu, sebagai pengesahan bahwa produk tersebut bisa dipasarkan di Inggris dan Eropa, dan mempromosikan bahwa produk tersebut berasal dari proses produksi berkelanjutan.

Sebelumnya, pada akhir tahun lalu, laporan investigasi BBC menunjukkan perusahaan itu diduga 'secara sengaja' menggunakan api untuk membuka lahan di Papua.

Investigasi yang dilakukan oleh Forensic Architecture dan Greenpeace yang diterbitkan pada November lalu bersama dengan BBC, menemukan bukti bahwa Korindo telah melakukan pembakaran lahan untuk membuka perkebunan kelapa sawitnya selama periode 2011-2016.

Dalam surat kepada BBC Indonesia, Korindo menulis, 'Tuduhan terhadap Korindo Group atas isu pembakaran lahan adalah tidak benar. Hal ini telah dikuatkan dengan hasil investigasi Forest Stewardship Council (FSC) pada 2019.'

Kasus yang membuat Korindo dicabut lisensi merek dagang ini bermula pada 2017 - menurut FSC - ketika Mighty Earth mengajukan keluhan kepada FSC terkait dugaan deforestasi Korindo dan juga pelanggaran hak asasi serta hancurnya nilai-nilai konservasi dalam operasi hutan di Indonesia

Lebih lanjut, Korindo menyatakan, 'Keputusan FSC kali ini tidak memiliki keterkaitan dengan tuntutan dari Forensic Architecture terkait kebakaran lahan di Papua.

'Poin penting yang perlu dipahami adalah tidak ada masalah yang serius dalam pengambilan keputusan FSC,' kata Korindo. 'Hanya terjadi perbedaan prosedur dalam proses pemilihan verifikator independen dan netral yang kemudian menyebabkan penundaan dalam proses asosiasi.'

Dalam wawancara pada Kamis (15/07) dengan BBC, Direktur Jendral FSC, Kim Carstensen menyatakan, 'Penyelidikan kami menemukan bahwa Korindo bersalah melanggar melanggar peraturan tertentu kami.

'Tidak diragukan lagi bahwa mereka melakukan konversi dan itu tidak diizinkan dalam FSC. Tidak diragukan lagi, terjadi kerusakan konservasi dengan yang bernilai tinggi. Dan tidak ada keraguan bahwa mereka tidak menghormati aturan kami untuk kebebasan mencari persetujuan untuk penduduk di Kalimantan dan Papua,' kata Carstensen.

Tetapi dia mengatakan FSC 'tidak menemukan bukti mereka secara sengaja menggunakan api untuk membuka lahan.'

'Kami tak temukan itu. Anda [BBC] yang menemukan itu, tetapi buktinya tidak cukup berdasarkan peraturan kami untuk mengatakan mereka juga bersalah terkait hal itu dalam aturan kami,' kata Carstensen.

'Jadi mereka melakukan tiga pelanggaran kebijakan asosiasi kami, yang telah kami ketahui. Namun yang keempat, yaitu membakar secara sengaja dengan api - kami tak punya cukup bukti untuk itu.'

'Terkejut atas keputusan FSC'

Saat BBC menerbitkan hasil investigasi terkait pembakaran lahan di Papua pada November 2020, FSC berkata mereka tidak akan mengeluarkan Korindo dari keanggotaan dan akan bekerja bersama Korindo yang berkomitmen untuk melakukan 'perbaikan, yang dirasa lebih penting ketimbang memberikan hukuman'.

Tapi kini, FSC menyatakan 'kondisi ini tak dapat dipertahankan lagi' dan mengakhiri penggunaan lisensi merek dagang FSC untuk sementara.

Dikonfirmasi pada Rabu (14/07), Korindo mengatakan 'terkejut atas keputusan FSC'.

Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer di Korindo Group, melalui keterangan tertulis kepada BBC Indonesia, mengatakan Korindo 'telah menjalankan setiap langkah pada roadmap yang telah disepakati bersama dalam beberapa tahun terakhir' dan menegaskan bahwa 'tidak ada masalah yang serius' dalam proses reasosiasi dengan FSC.

Wawancara dengan Dirjen FSC, Kim Carstensen - 'Perlu lebih banyak kawasan hutan bersertifikasi di Indonesia'

Dirjen FSC, Kim Carstensen mengatakan persyaratan sosial dan lingkungan yang ditetapkan FSC untuk kembali bergabung dengan FSC dapat ditetapkan dalam 'peta jalan yang akan dikembangkan pada 2022.'

'Langkah ini akan ditetapkan berdasarkan perundingan dengan penduduk lokal dan kelompok lingkungan di Indonesia, berbagai pihak terkait (stakeholders) di Indonesia dan negara lain untuk menjamin ada kesepakatan untuk memahami perbaikan apa yang perlu dilakukan Korindo.'

Proses ini, menurut Carstensen, akan dilakukan secara terbuka dan transparan.

Terkait dengan hutan bersertifikasi, Carstensen mengatakan pihaknya berharap semakin luas lahan hutan yang masuk dalam kategori berkelanjutan.

'Kami berharap konsesi bersertifikasi FSC dapat menjadi bagian dari gambaran yang lebih luas yang perlu dilakukan di hutan di Papua. Dan itu tentu saja, bukan keputusan kami, tetapi pemerintah Indonesia bersama dengan pemerintah daerah Papua... Namun kami ingin berkontribusi dalam diskusi itu,' katanya.

'Kami memiliki 228 juta hektare sertifikasi di berbagai negara di dunia... Indonesia termasuk salah satu negara yang memiliki banyak kawasan tersertifikasi. Lebih dari tiga juta hektare, namun lebih banyak lagi yang diperlukan... dan saya rasa itu penting.'

Kawasan hutan Indonesia mencapai kawasan sekitar 98 juta hektare.

Carstensen mengatakan, 'Upaya dengan Korindo dapat menghasilkan sekitar 600.000 hektare tambahan hutan tersertifikasi... dan kami rasa itu merupakan kontribusi yang sangat penting.'

Selain Korindo, FSC juga telah menghentikan lisensi dengan dua perusahaan besar Indonesia, APP dan April group.

Ia mengatakan proses perusahaan-perusahaan ini untuk dapat kembali menggunakan logo FSC dapat memakan waktu setidaknya setahun.

Ia mengatakan 'tata kelola lemah di banyak negara tropis, dan secara legalitas hal itu membuat lebih rumit untuk menangani masalah.'

Secara bisnis - menurut Carstensen - sertifikasi FSC diperlukan di banyak pasaran di seluruh dunia. Namun banyak negara di Asia tidak menggunakannya.

'Jadi bagi perusahaan-perusahaan dengan pasaran utama, mungkin di Asia, misalnya, di mana tak ada persyaratan sertifikasi FSC, bisa saja beroperasi tanpa sertifikasi.'

'Contohnya, saya rasa Korindo tidak menggunakan sertifikasi FSC di pasar tempat mereka beroperasi. Sepengetahuan saya, belum mereka lakukan. Jadi, impilikasi bisnis terkait dengan asosiasi ini tidak akan sangat besar. Bagi pihak lain, mungkin berbeda.'

'Lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali'

Dalam keterangan tertulis yang dipublikasikan oleh FSC pada Kamis (15/07), tertulis: 'Menyusul keputusan Dewan direksi, Korindo telah 'berupaya meningkatkan kemajuan dari sisi sosial dan lingkungan seperti yang ditetapkan dalam persyaratan FSC pada 2019.

'Dewan meminta untuk mendapatkan laporan kemajuan untuk memastikan adanya proses yang kredibel, terikat waktu, dan diverifikasi secara independen, dan untuk memastikan terjadinya kemajuan terkait komitmen.

'Namun FSC dan Korindo tidak dapat menyepakati terjadinya proses verifikasi yang independen sehingga menyebabkan penundaan langkah FSC untuk memverifikasi dan melaporkan kemajuan Korindo terkait persyaratan yang ada.

'Kondisi ini tak bisa dipertahankan lagi bagi FSC untuk memverifikasi kemajuan terkait kinerja Korindo dalam bidang sosial dan lingkungan berdasarkan persyaratan awal.

Itulah sebabnya Dewan memutuskan untuk 'memisahkan diri [dari Korindo],' kata Kim Carstensen, Direktur Jendral FSC.

'Kami percaya langkah ini dapat memberikan kami kepastian dan angin segar sementara Korindo melanjutkan upaya meningkatkan kinerja dalam bidang sosial dan lingkungan hidup,' tambahnya.

Sementara itu, dalam keterangan tertulis yang diterima BBC Indonesia, Korindo menyatakan terkejut atas keputusan FSC dan telah menjalankan langkah yang disepakati dalam peta jalan yang dibuat untuk reasosiasi.

'Hal penting yang perlu dipahami bahwa tidak ada masalah yang serius, hanya terjadi perbedaan prosedur dalam proses pemilihan verifikator independen dan netral yang kemudian menyebabkan penundaan dalam proses asosiasi,' tulis Kwangyul Peck, Chief Sustainability Officer Korindo Group.

Seo Jeongsik, Vice President Korindo Group mengatakan: 'Berdasarkan komitmen Korindo yang jelas terhadap ESG [Environmental, Social, and Corporate Governance] dan Keberlanjutan, kami ingin menekankan komitmen bersama antara FSC dan Korindo Group untuk kembali memasuki proses asosiasi sesegera mungkin.

'Tujuan kami tetap untuk menjadi anggota FSC sepenuhnya dan kami akan terus melanjutkan pemenuhan roadmap seperti yang telah ditentukan.'

Greenpeace, yang juga terlibat dalam investigasi bersama BBC, mengatakan keputusan FSC ini tepat.

'Dewan FSC akhirnya sadar dan memutuskan hubungan dengan Korindo - lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali,' ujar Kiki Taufik, kepala kampanye bidang kehutanan Greenpeace Asia Tenggara.

'Meski begitu, pemerintah Indonesia terus memberikan hutan di negara tersebut untuk perusahaan-perusahaan seperti Korindo dan mengizinkan mereka melanggar hak asasi Masyarakat Adat dan komunitas di sekitar lahan operasional tanpa hukuman.

'Sangat penting untuk konsumen dan badan sertifikasi tidak terus membantu mereka menciptakan topeng keberlanjutan dan transparansi,' lanjut Kiki.

BBC tengah mengontak Kementerian Kehutanan untuk menanyakan respons pemerintah Indonesia atas pencabutan lisensi keberlanjutan Korindo ini.

Kunjungan BBC ke pedalaman Merauke

Saat laporan investigasi diterbitkan November tahun lalu, Grup Korindo membantah seluruh hasil investigasi, yang mencakup penelitian visual oleh Greenpeace dan Forensic Architecture - di Goldsmith University, Inggris - yang meneliti menggunakan analisis spasial dan arsitektural, serta teknik pemodelan dan penelitian canggih untuk menyelidiki perusakan lingkungan.

Tahun lalu, BBC mengunjungi hutan di pedalaman Merauke, area yang menjadi perkebunan kelapa sawit dan bertemu dengan sejumlah warga Suku Mandobo dan Malind.

Mereka mengatakan secara perlahan mereka kehilangan hutan adat yang menjadi tempat mereka bernaung.

'Saya menangis, saya sedih kenapa saya punya hutan, alam Papua yang begini indah, yang tete nenek moyang wariskan untuk kami anak cucu, kami jaga hutan ini dengan baik,' tutur Elisabeth Ndiwaen, perempuan Suku Malind yang hutan adatnya di pedalaman Merauke kini telah menjadi perkebunan kelapa sawit.

'Kami tidak pernah bongkar hutan, tapi orang dari luar bongkar itu. Buat saya itu luka,' ujarnya kepada wartawan BBC Ayomi Amindoni yang berkunjung ke sana.

Sementara, Petrus Kinggo, ketua marga Kinggo dari Suku Mandobo berkukuh mempertahankan hutan adatnya di Distrik Jair, Boven Digoel, agar tidak dijadikan kebun kelapa sawit.

Dalam kunjungan itu, menurut pengamatan BBC, sejauh mata memandang, pohon kelapa sawit berjajar teratur di area konsesi anak usaha perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua.

Konglomerasi perusahaan sawit Korindo menguasai lebih banyak lahan di Papua daripada konglomerasi lainnya.

Perusahaan ini telah membuka hutan Papua lebih dari 57.000 hektare, atau hampir seluas Seoul, ibu kota Korea Selatan.

FSC mengatakan mengakui komitmen Korindo tahun lalu dalam memenuhi persyaratan awal yang ditetapkan FSC demi keberlangsungan hutan dan masyarakat yang tinggal di sekitar lahan konsesi.

FSC juga mengatakan mereka menghargai adanya indikasi bahwa Korindo masih memiliki komitmen untuk menunjukkan kemajuan di kemudian hari dan bahwa FSC akan 'bekerja dengan Korindo untuk memasuki kembali proses formal bergabung kembali dan mengakhiri langkah pemisahan ini.'

'Proses ini dapat dimulai pada 2022 berdasarkan persyaratan yang ditetapkan dalam kebijakan FSC untuk prosedur bergabung kembali, yang saat ini tengah dikembangkan.'

FSC merupakan lembaga sertifikasi hutan untuk memastikan keberlangsungan hutan, dan sejauh ini mencakup lebih dari 200 juta hektar hutan di seluruh dunia telah bersertifikasi berdasarkan standard FSC.

Catatan redaksi:

Artikel diperbarui berdasarkan surat 'hak jawab dan 'hak koreksi' Korindo terkait artikel dengan yang diterbi tkan pada 15 Juli berjudul 'Lisensi perusahaan sawit Korsel dicabut lembaga sertifikasi, FSC menyusul investigasi yang ungkap Korindo 'sengaja' membakar lahan di Papua'

Iklan

Berita Selanjutnya

1 Januari 1970


Artikel Terkait

    Berita terkait tidak ada



Rekomendasi Artikel

Konten sponsor pada widget ini merupakan konten yang dibuat dan ditampilkan pihak ketiga, bukan redaksi Tempo. Tidak ada aktivitas jurnalistik dalam pembuatan konten ini.

 

Video Pilihan


Berita terkait tidak ada